"Kalau kalian berantem terus, lama-lama nikah lho..." goda Rossie, Calvin, Revan, dan Silvi.
"Amit-amit nggak mau!" seru Albert dan Julia kompak.
Bukannya gentar, enam sahabat lainnya justru tertawa. Menolak saja pun mereka kompak. Pertanda jodoh.
"Albert Julia, Anton Calisa, trus Revan sama siapa?" Silvi tak tahan untuk menggoda sepupu pirangnya.
Revan melirik Rossie. "Sama dia."
Mendengar itu, wajah Rossie merona merah. Nyaris saja ia memuntahkan kembali susu coklatnya.
"Iya, kalian cocok. Satu dosen sekaligus direktur kemahasiswaan, satunya lagi guru TK. Serasi tuh. Nanti anaknya pasti pintar. Kan diajar langsung sama orang tuanya." timpal Julia.
Calvin memberi Revan tatapan penuh arti. Sama seperti yang lain, ia mendukung pilihan Revan. Lama mengenal Revan membuat Calvin paham satu hal: selera Revan tinggi. Pria berambut pirang berjas Bottega Venetta itu tak pernah menyukai perempuan Pribumi. Sebaliknya, ia selalu menargetkan punya pasangan seorang wanita Non-Pribumi. Yang Pribumi sama sekali tak menarik baginya. Selera tinggi Revan ini sama persis dengan selera enam sahabat lainnya. Prinsip mereka: jika ingin menikah, nikahilah Non-Pribumi. Demi menjaga keturunan dan gen baik. Darah campuran lebih rupawan, kata mereka.
"Iyalah, ngerti. Yang maunya married sama blasteran Biar menjaga keturunan. Syukur-syukur nanti anak kamu punya mata biru juga ya, kayak kita." komentar Silvi. Dua sepupu bermata biru pucat itu bertoast.
"Kalaupun nggak sama Rossie, yang penting sama Non-native. Kan darah campuran lebih rupawan. Gen bisa terjaga." Revan berkata meyakinkan.
Dari luar, mungkin mereka terlihat sombong. Angkuh dan hanya mau berkumpul dengan sesamanya. Tapi percayalah, sesungguhnya mereka sangat cinta Indonesia. Mereka punya cara sendiri untuk mencintai tanah kelahiran. Buktinya, mereka tetap berkarier di republik yang kebanyakan berpolitik tanpa peduli rakyat ini. Meski tawaran dari negeri leluhur kedua mereka sangat prospektif. Toh mereka tetap di sini, membangun kesuksesan di sini, menjalin kebersamaan di sini.