Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pemilik Wajah Rupawan Mencintai Indonesia

17 Agustus 2018   05:58 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:30 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkahnya ringan menyusuri pelataran bandara, seringan hatinya. Calvvin tak bisa berhenti mengekspresikan rasa bahagia. Akhirnya ia kembali, kembali ke negara yang dicintainya.

Koper yang dibawanya tak lagi terasa berat. Ia ingin cepat sampai di tempat pertama itu. Tempat pertama yang sudah dijanjikannya akan ia datangi setiba di Indonesia. Sudah terbetik janji, saatnya janji itu terealisasi.

Ponsel pintar berlogo apel tergigit ia aktifkan. Sesaat terpana mendapati ratusan notifikasi berebutan masuk. Menggerakkan trackpad, Calvin mencari sebuah nama. Time to video call, pikirnya antusias.

"Calvin...!"

Suara-suara jernih memanggil namanya. Wajah-wajah ceria menyeruak di layar. Mereka bertujuh tersenyum bahagia. Melambaikan tangan ke arahnya.

"Revan, Anton, Albert..." Calvin menyebut nama sahabat-sahabatnya.

"Julia...Calisa...Rossie..."

Tenggorokannya tercekat ketika akan menyebut nama terakhir. Oh tidak, demi Allah, ternyata gadis itu masih ada. Gadis bergaun biru pucat yang duduk dengan anggun di samping Revan.

"Sil...vi." kata Calvin terbata, haru dan bahagia mengacak-acak perasaannya.

"Cie cie...terjebak nostalgia nih?" goda Rossie, wanita cantik blasteran Sunda-Jerman itu.

"Yeee itu sih lagunya Raisa tauuuu." Anton, pria berdarah Jawa-Belanda itu, mengingatkan. Disambuti tawa renyah Rossie.

Damai rasanya mendengar keceriaan mereka. Beban berat di hati Calvin perlahan terurai.

"Calvin, kamu sudah di airport ya? Aduh, coba aja kamu bolehin kami jemput kamu di sana. Kita kan lebih cepat ketemu." Calisa sedikit merajuk. Perempuan gorgeous keturunan Sunda-Minang-Inggris itu mengeluarkan puppy eyes-nya.

"Aku akan segera ke sana, Calisa. Wait..." balas Calvin sabar.

"Ok. Kami tetap tunggu kok. Sampai kamu datang." Kali ini pria bertubuh langsing dengan dagu lancip yang menyahuti. Albert namanya. Pria setengah bule, karena dalam darahnya mengalir campuran darah Jawa-Jerman-Skotlandia.

"Take care, Calvin." Julia-gadis yang juga blasteran Sunda, Jawa, Belanda di samping Albert-berkata penuh perhatian.

Sepasang sepupu bermata biru pucat itu sejak tadi lebih banyak diam. Lebih banyak memperhatikan sambil tersenyum. Namun, justru merekalah yang paling dirindukan Calvin.

**    

Alphard hitam itu meluncur cepat menuruni lereng bukit. Sebelum menemui sahabat-sahabatnya, ada beberapa hal yang harus dia lakukan. Ia ingin bertemu tujuh sahabatnya dengan hati tenang.

Kemacetan menyambutnya di bawah bukit. Ah, ini membosankan. Hanya menghambat perjalanannya. Mengetukkan jari ke dashboard, pria tampan berjas hitam itu berpikir. Semenit. Tiga menit. Lima menit. Ia teringat sesuatu. Bukankah ini Hari Jumat? Saatnya berbagi, tak boleh dilewatkan.

Ia memutuskan putar balik. Kalau ingin berbagi, bukan di sini tempatnya. Ada jalan alternatif.

Calvin menepikan mobilnya di sebuah resto. Dibelinya dua puluh porsi makanan dan minuman. Ia membagi-bagikan makanan itu untuk penyapu jalan, penarik becak, penjaga rumah ibadah, tunawisma, dan beberapa anak jalanan. Langsung saja aksi Calvin menarik perhatian banyak orang. Pria berwajah oriental yang sangat tampan, memakai jas mahal, berbagi makanan di jalan raya. Sebuah aksi memesona yang mencuri hati banyak orang.

"Ya, Allah, semoga aku tidak riya'. Sungguh, aku tidak bermaksud tebar pesona." Calvin berbisik dalam hati. Berjalan resah menyusuri trotoar, kembali ke halaman resto.

Buru-buru ia masuk mobil. Melajukan kendaraan mewah itu ke pinggir kota. Kali ini ke sebuah panti asuhan.

Batinnya menghangat. Tempat itu masih sama. Plang namanya, pagar putihnya, halamannya, ayunan dan perosotannya, semuanya tak berubah. Staf-stafnya menjaga kepercayaannya dengan baik.

Turun dari mobil, Calvin disambut pelukan hangat dari anak-anak panti. Beberapa anak memeluk pinggangnya, beberapa lagi mengungkapkan rindu padanya.

Calvin membalas pelukan mereka dengan penuh kasih. Sejurus kemudian, dia membuka bagasi mobil. Menurunkan beberapa kotak berisi makanan, pakaian baru, mainan, dan buku bacaan. Beberapa anak lelaki yang lebih besar membantunya tanpa diminta.

Setengah jam lamanya Calvin menghabiskan waktu di panti asuhan. Melepas rindu dengan anak-anak. Bertemu pengurus panti. Memastikan panti asuhan miliknya baik-baik saja, dan semua anak terurus. Belum dua jam tiba di Indonesia, Calvin sudah menebar kasih pada banyak orang.

Finish, bisik hati kecilnya. Sekarang, tiba saatnya.

**    

Pintu jati berpernis mengilap mengayun terbuka. Hawa sejuk pendingin ruangan menyerbu lengan, tangan, dan kaki. Tujuh wajah rupawan, tujuh pasang mata, tujuh pasang kaki, menyambutnya.

"Calvin, we miss you!" seru mereka bertujuh kompak.

Begitulah mereka. Tipikal sahabat-sahabat yang ekspresif, ceria, dan punya semangat hidup tinggi. Tujuh pria dan wanita berwajah bule yang sangat rupawan. Mereka memiliki daya tarik dan pesonanya sendiri.

Calvin tersenyum bahagia. Balon-balon erinduan pecah di hatinya. Rindu itu, perlahan tertebus.

"Akhirnya kamu datang juga. Pasti kamu berbagi dulu." tukas Revan, pria berdarah campuran Minahasa-Portugis-Turki. Ia sepupu Silvi. Staf-stafnya di kampus sering menjulukinya Bos Bermata Hati, karena feelingnya kuat sekali. Mata batinnya tajam.

"Apa itu yang kamu bawa?" tunjuk Rossie ke arah dua tas kertas berukuran besar di tangan Calvin.

Sebagai jawaban, Calvin membukanya. Mengeluarkan isinya. Ditingkahi seruan "wow" dan ucapan terima kasih. Bukan Calvin Wan namanya kalau pulang dari luar negeri dengan tangan kosong. Tak pernah ia lupakan sahabat-sahabatnya. Kini ia datang membawakan teh bata untuk Anton, boneka panda untuk Julia dan Calisa, syal sutera untuk Rossie, sepatu Neiliansheng untuk Albert, Cloisonn untuk Revan, dan gelang bertatahkan giok untuk Silvi.

"Wow Calvin, thank you. Suka banget deh sama pandanya." Calisa memeluk boneka panda raksasanya erat.

"Aku tahu kamu pasti suka. Biar kamarmu jadi toko boneka."

Murah hati dan penyayang, sangat khas Calvin. Ia bergerak mendekati Silvi. Pandangan mereka bertemu. Silvi tersenyum tipis, memandangi gelang cantik yang dipegangnya.

"Mau kupasangkan?" tanya Calvin lembut.

Silvi mengangguk. Bibirnya terkatup rapat. Tak tahukah Calvin jika Silvi selalu merasa kehabisan kata tiap kali di dekatnya?

Dengan lembut, Calvin memasangkan gelang itu ke tangan Silvi. Sesaat tangan mereka bersentuhan. Aliran listrik ratusan volt serasa menyerbu jemari Silvi saat Calvin menyentuhnya. Partikel-partikel dalam darahnya berdesir.

Tangan Calvin bergetar. Degup jantungnya bertambah cepat. Ya, Allah yang Maha Cinta, sudah lama ia tak bertemu Silvi. Mengapa rasanya seperti ini?

"Dor! Ayo ketahuan, lagi modus sama Silvi ya?"

Tepukan keras mendarat di punggungnya. Calvin tersentak, lalu berpaling. Albert tersenyum nakal.

"Ku terjebak di ruang nostalgia..." senandung Calisa, mengedip cantik ke arah Calvin. Lalu merapat-rapatkan tubuhnya pada Anton.

"Kamu ini aneh ya, Calisa. Yang digoda Calvin, yang didekati malah aku." komentar Anton seraya mencubit hidung Calisa.

Calisa terkikik. Lalu menyandarkan kepalanya di pundak mantan peragawan yang kini menjadi barista dan pemilik resto itu.

Sejatinya, mereka berdelapan adalah mantan model. Perkenalan mereka berawal dari ajang pageants yang mereka ikuti. Lalu berlanjut ketika mereka bergabung ke agency yang sama. Mendapat kontrak eksklusif, jasa mereka dipakai banyak desainer ternama, sering fashion show, pemotretan, membintangi video clip, dan menjadi model iklan nyaris selalu bersama-sama. Kemana-mana tak terpisahkan. Delapan sahabat beda etnis itu sangat solid. Bahkan kini setelah tak jadi model lagi, persahabatan mereka makin erat. Mereka merasa terikat nasib yang sama, walaupun berbeda darah. Toh mereka berdelapan sama-sama berdarah campuran juga, kan?

Tak tahan duduk diam berlama-lama, Julia melangkah anggun ke depan grand piano. Diam-diam Albert mengikutinya. Julia menekan tuts piano, memainkan nada indah.

"You are my first romance, and I'm willing..."

"Eits, Nona Cantik...di hari lahir Indonesia malah nyanyi lagu Barat. Cintailah musik Indonesia." sela Albert jengkel. Menampar pelan tangan owner Julia Florist itu.

"Aaaah dokter bule! Ngapain sih ganggu-ganggu aku? Terus aku harus nyanyi apa dong?" gertak Julia kesal.

Keenam sahabat yang lain bertukar pandang. Tersenyum simpul. Susah payah menahan tawa. Nona cantik dan dokter bule, begitulah Albert dan Julia saling menjuluki.

"Kalau kalian berantem terus, lama-lama nikah lho..." goda Rossie, Calvin, Revan, dan Silvi.

"Amit-amit nggak mau!" seru Albert dan Julia kompak.

Bukannya gentar, enam sahabat lainnya justru tertawa. Menolak saja pun mereka kompak. Pertanda jodoh.

"Albert Julia, Anton Calisa, trus Revan sama siapa?" Silvi tak tahan untuk menggoda sepupu pirangnya.

Revan melirik Rossie. "Sama dia."

Mendengar itu, wajah Rossie merona merah. Nyaris saja ia memuntahkan kembali susu coklatnya.

"Iya, kalian cocok. Satu dosen sekaligus direktur kemahasiswaan, satunya lagi guru TK. Serasi tuh. Nanti anaknya pasti pintar. Kan diajar langsung sama orang tuanya." timpal Julia.

Calvin memberi Revan tatapan penuh arti. Sama seperti yang lain, ia mendukung pilihan Revan. Lama mengenal Revan membuat Calvin paham satu hal: selera Revan tinggi. Pria berambut pirang berjas Bottega Venetta itu tak pernah menyukai perempuan Pribumi. Sebaliknya, ia selalu menargetkan punya pasangan seorang wanita Non-Pribumi. Yang Pribumi sama sekali tak menarik baginya. Selera tinggi Revan ini sama persis dengan selera enam sahabat lainnya. Prinsip mereka: jika ingin menikah, nikahilah Non-Pribumi. Demi menjaga keturunan dan gen baik. Darah campuran lebih rupawan, kata mereka.

"Iyalah, ngerti. Yang maunya married sama blasteran Biar menjaga keturunan. Syukur-syukur nanti anak kamu punya mata biru juga ya, kayak kita." komentar Silvi. Dua sepupu bermata biru pucat itu bertoast.

"Kalaupun nggak sama Rossie, yang penting sama Non-native. Kan darah campuran lebih rupawan. Gen bisa terjaga." Revan berkata meyakinkan.

Dari luar, mungkin mereka terlihat sombong. Angkuh dan hanya mau berkumpul dengan sesamanya. Tapi percayalah, sesungguhnya mereka sangat cinta Indonesia. Mereka punya cara sendiri untuk mencintai tanah kelahiran. Buktinya, mereka tetap berkarier di republik yang kebanyakan berpolitik tanpa peduli rakyat ini. Meski tawaran dari negeri leluhur kedua mereka sangat prospektif. Toh mereka tetap di sini, membangun kesuksesan di sini, menjalin kebersamaan di sini.

Kedelapan sahabat itu berkumpul bersama. Duduk bersisian di sofa empuk. Saling bertukar cerita. Julia menceritakan kemajuan toko bunganya. Calisa mengungkapkan rencana ekspansi cabang cake shopnya. Silvi tanpa ragu mengisahkan progres butiknya. Selama ketujuh sahabat bercerita, Calvin hanya mendengarkan. Memutuskan tak ingin bercerita apa pun. Satu-satunya pria Tionghoa dalam lingkaran persahabatan itu lebih memilih menutup diri dan menutup hati. Enggan berbagi kisah hidup pada sesiapa.

"Eits, dari tadi malah kita yang cerita-cerita. Kita tanya dong sama yang baru pulang dari luar negeri." Anton mengangkat tangannya, mengisyaratkan yang lain diam.

"Oh iya. Gimana ekspansi perusahaan kamu, Calvin? Berhasil? Dan..."

Belum sempat Rossie menyelesaikan pertanyaannya, terdengar suara benda berat jatuh di karpet. Ternyata soft case milik Calvin. MacBook, iPad, iPhone, dan tabung-tabung obat berhamburan.

"Oh my God...sorry sorry." gumam Julia, memunguti barang-barang itu. Tak sengaja tangannya menyentuh dan menjatuhkan tas berharga itu.

Mengambil kesempatan dalam kesempitan, Albert kembali membuat julia kesal. Ia menyalahkan Nona cantik itu, bahkan sengaja menggunakan bahasa Jawa dan Jerman untuk mengejeknya. Anton menengahi. Sesaat kedua pria yang punya sedikit kesamaan darah itu saling lempar tatapan kesal. Albert dan Anton memang punya darah campuran Jawa, tapi keduanya sangat berbeda. Bila Albert fasih berbahasa Jawa dan sangat mencintai budaya Indonesia, Anton tak bisa berbahasa Jawa sama sekali. Dia lebih lancar berbahasa Belanda.

"Calvin, ini apa?" tanya Julia polos, menunjukkan tabung-tabung obat.

"Kamu...kamu belum sembuh?" Anton tergeragap.

Di luar kesadarannya, Calvin merebut obat di tangan Julia. Sukses membuat kening wanita berambut bergelombang itu berkerut.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Calvin menenangkan.

Saat itulah Revan memandangnya lekat. Refleks Calvin membuang muka, menghindari tatapan sahabat blondenya. Benang konklusi ditarik Revan: Calvin menyembunyikan sesuatu.

Seakan tak terjadi apa-apa, situasi kembali normal. Mereka terus melewatkan kebersamaan. Melemparkan canda dan cerita. Private room di resto yang dikelola Anton ini dipenuhi atmosfer kehangatan.

Lama-kelamaan Revan makin yakin pada dugaannya. Silvi pun tak kalah cemas. Sejauh mereka perhatikan, Calvin lebih sering berdeham dari biasanya. Frekuensi yang berlebihan menurut mereka. Tak hanya itu. Calvin juga kesulitan menelan makanan dan minumannya. Beberapa kali ia terlihat kesakitan. Wajah tampannya sangat pucat.

Kekhawatiran menyergap hati Silvi. Ia tekan dalam-dalam perasaannya. Masih terekam nasihat Calvin. Tak perlu khawatir, begitu selalu katanya. Calvin tak suka Silvi terlalu mengkhawatirkannya.

Silvi hanya takut, Calvin menyembunyikan rasa sakit. Mungkinkah penyakit itu masih ada? Mungkinkah Calvin tak pernah sembuh sepenuhnya?

**    

"Biarkan mereka menyelesaikannya." Revan berkata bijak.

Calvin meraih lembut tangan Silvi. Tergetar hati wanita itu. Mengapa tangan Calvin terasa dingin?

"Kalau urusan kita, kapan?" Rossie mengedip nakal, menjentikkan jarinya di depan wajah Revan.

Hening. Calvin dan Silvi bergandengan tangan ke balkon. Dihadiahi tatapan optimis sahabat-sahabat lainnya.

Penyakit iseng Albert kambuh. Ia merampas biola di pangkuan Julia.

"Aduuuh kau ini apa-apaan sih dokter bule? Kalau mau pinjam, bilang yang benar dong!" protes Julia.

"Alah, sama sahabat sendiri kok. Cuma bentar..."

Dilangkahkannya kaki ke dekat balkon. Beberapa meter dari teras indah berhias ornamen kayu dan pot-pot cantik itu, Albert memainkan biola. Lalu bernyanyi. Alunan biola dan nyanyian Albert membuat para sahabat lainnya tergerak untuk ikut bernyanyi.

Hari telah berganti

Tak bisa kuhindari

Tibalah saat ini bertemu dengannya

Jantungku berdegup cepat

Kaki bergetar hebat

Akankah kuulangi merusak harinya

Oh Tuhan untuk kali ini saja

Beri aku kekuatan tuk menatap matanya

Oh Tuhan

Untuk kali ini saja

Lancarkanlah hariku

Hariku bersamanya

Hariku bersamanya

Kautahu betapa aku lemah di hadapannya

Kautahu berapa lama aku mendambanya

Oh Tuhan

Untuk kali ini saja

Beri aku kekuatan tuk menatap matanya

Oh Tuhan

Untuk kali ini saja

Lancarkanlah hariku

Hariku bersamanya

Hariku bersamanya

Tuhan tolonglah

Tuhan tolonglah

Oh Tuhan

Untuk kali ini saja

Beri aku kekuatan tuk menatap matanya

Oh Tuhan untuk kali ini saja

Lancarkanlah hariku

Hariku bersamanya

Hariku bersamanya (Sheila on 7-Hari Bersamanya).

Delapan mantan model itu memang tak hanya berbakat di catwalk. Mereka pun memiliki suara bagus. Nilai plus untuk mereka. Paket lengkap. Lagu itu mereka bawakan dengan suara indah mereka. Suara bass Calvin yang empuk. Suara barithon Albert, Anton, dan Revan yang merdu. Suara alto Julia yang dalam dam menenangkan. Suara mezosopran Rossie dengan vibrasinya yang menguatkan. Suara sopran Calisa dan Silvi yang lembut.

"Kita jadi ikutan nyanyi ya,"

"Padahal kan sebenarnya Albert lagi ganggu kita."

Calvin dan Silvi berpandangan, lalu tertawa. Lagu itu melukiskan suasana hati mereka berdua.

"Aku senang kamu sudah kembali ke Indonesia," desah Silvi. Menatap Calvin tulus.

"Aku tak bisa menemukan kata untuk mengungkap bahagiaku sesampai di sini." Calvin menyahuti.

Keduanya tak lagi berhadapan. Perlahan tapi pasti, Calvin memutus jarak di antara mereka. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. Hati wanita itu meleleh seketika. Bola matanya mengguratkan pelangi bahagia.

Menikmati ketampanan Calvin dari dekat, jantung Silvi nyaris berhenti berdetak. Ia terhipnotis pesona Calvin. Walau pucat, pria satu ini tetap memikat.

"Jangan sembunyikan apa-apa lagi, Calvin. Aku tahu...kau tidak sembuh lagi, kan?"

Pertanyaan Silvi disambuti anggukan Calvin. Sulit bersembunyi dari tajamnya penglihatan mata batin Silvi dan sepupunya.

"Aku lahir di Indonesia. Aku pun ingin meninggal di sini." ujar Calvin.

"Tidak bisakah kau berhenti mengucap kata itu?"

"Bagaimana kalau kenyataannya memang begitu?"

Setelah mengatakan itu, Calvin mengecup singkat kening Silvi. Ia melingkarkan lengan, memeluk wanita yang begitu cantik dalam balutan gaun mahalnya. Pria tampan dengan jas Versace. Wanita cantik mengenakan gaun Dolce and Gabbana. Serasi sekali.

"Baik, aku mengerti jalan pikiranmu. Kita selibat. Mencintai tidak harus berakhir dalam pernikahan. Bila kau pergi, aku pun akan tetap selibat."

"Terima kasih, Silvi."

"Sama-sama, malaikat tampan bermata sipitku."

Wajah-wajah rupawan menyeruak dari balik vitrage. Entah harus tersenyum, entah harus menangis. Satu hal yang pasti: pemilik wajah-wajah rupawan itu saling mencintai. Dan mereka sangat mencintai Indonesia, walau di dalam darah mereka terkandung darah campuran. Darah yang membuat paras mereka lebih rupawan dari kebanyakan orang Indonesia lainnya. Darah yang membuat kulit mereka lebih putih, dan beberapa di antara mereka memiliki warna mata berbeda. Bukankah kulit putih lebih rupawan? Bukankah yang rupawan justru sangat mencintai negara ini?

"Silvi, besok pagi temani aku ke San Diego Hills." pinta Calvin lembut, satu tangannya membelai rambut Silvi.

"Untuk apa kau ke sana, Calvin?"

Pertanyaan Silvi tak terjawab. Tubuh Calvin limbung, nyaris jatuh. Darah segar mengalir dari hidungnya.

**    

https://www.youtube.com/watch?v=WNUyRIZA450

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun