Begitu sulitnya Sofia mempercayai orang lain. Sampai ia membuang surat Calvin. Satu kebiasaan yang sudah lama tak dilakukannya.
Calvin kira, mudah untuk membuka hati? Sama sekali tidak. Butuh proses sangat panjang. Bisa sukses, bisa saja gagal. Sofia enggan melakukannya. Ia lebih senang menikmati kesedihan dan kesepiannya. Terlebih Sofia sudah memisahkan cinta dengan urusan lain. Kendati kehidupan cintanya berantakan, karier dan kehidupan sosial Sofia sangat bagus. Target-targetnya satu per satu tercapai. Sejak kecil sampai sekarang, prestasi hidupnya selalu memuaskan.
Jangan tanyakan masalah cinta. Sofia terjebak pada kegagalan yang membawanya pada kepedihan tak berujung.
Hatinya begitu sedih. Mendengar dan menyaksikan potongan video di depannya. Saat Sofia merobek-robek suratnya dan melemparnya ke tempat sampah. Pria tampan itu mengerti, sangat mengerti. Cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Calvin...don't be sad." Suster Ghea memeluknya. Ia tak bisa melihat sepupunya bersedih.
Segera saja Calvin menguasai diri. Panjangnya kesabaran untuk mencintai mengalahkan kesedihan.
"No problem, Ghea. Sofia butuh waktu...dia pasti akan mendapat kebahagiaan sejati. Dan aku akan tetap mencintainya." ujar Calvin lembut.
"Tiga kali Sofia merobek suratmu, itu pertanda penolakan. Dia menolakmu berkali-kali, Calvin." lirih Suster Ghea.
Sungguh, ia tak menyangka. Pria sebaik Calvin ditolak cintanya. Wanita yang terpilih untuk dicintai Calvin itu benar-benar tidak bersyukur. Ditolak berkali-kali oleh wanita yang dicintainya, Calvin tetap sabar. Tetap lembut. Tetap tulus.
"Cinta tidak bisa dipaksakan. Untuk menjalani sebuah hubungan, diperlukan komitmen dan kesadaran dari dua belah pihak." kata Calvin bijak.
"Calvin, bagaimana kalau kamu katakan yang sebenarnya? Aku...aku tidak rela sepupuku yang tampan dan baik diperlakukan seperti itu." usul Suster Ghea.