Percayakah kalian pada ungkapan "love at the first sight"? Calvin mempercayainya. Pagi ini, ia merasakannya sendiri.
Koridor panjang bercat putih itu bagai jalan menuju akhirat. Putih, ia benci warna itu. Sudah lama ia terpenjara di dalam bangunan serbaputih ini. Melewatkan waktu berjam-jam di ruangan besar penuh berisi tabung oksigen, infus, elektrokardiograf, dan alat-alat penunjang kehidupan lain entah apa namanya itu. Menelan puluhan butir obat setiap hari. Menyandarkan harapan hidup pada obat dan peralatan medis.
Setidaknya ada Suster Ghea, sepupunya, yang selalu ada untuknya. Suster Ghea mengerti kondisi fisik dan psikologis Calvin. Setengah jam sekali, ia selalu menyempatkan diri melihat keadaan sepupu tercintanya.
"Kamu ingin jalan-jalan?" tanya Suster Ghea lembut.
"Boleh, kan?" Ada nada membujuk dalam suara Calvin.
"Sesekali saja...ayolah."
Sejenak berpikir, Suster Ghea mengangguk. Menggandeng tangan Calvin meninggalkan paviliun rumah sakit.
Di sinilah kini ia berada. Menyusuri koridor panjang bercat putih bersama Suster Ghea. Melewati sal demi sal. Mendengar berbagai macam suara, mulai dari rintih kesakitan, tangis kesedihan, dan suara seseorang yang sedang bercanda atau tertawa dari balik pintu-pintu ruangan yang dilewati. Unit kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 mereka lewati.
"Ghea, berada di paviliun itu membuatku kesepian. Merasa tersisihkan dari orang lain." ungkap Calvin.
"Seharusnya kamu bersyukur, Calvin. Tidak semua pasien mampu membayar biaya paviliun. Lebih banyak yang kesulitan membiayai perawatan di sini." Suster Ghea mengoreksi, lembut dan sabar.
"Jujur kukatakan, aku kasihan pada pasien-pasien yang berobat di sini. Tidakkah rumah sakit ini lebih memprioritaskan segi komersial dibanding pelayanan?"