Zonasi tidak boleh hanya menjadi kebijakan yang terlihat baik di atas kertas; ia harus diimplementasikan dengan memperhatikan realitas di lapangan, termasuk realitas ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat Indonesia.Â
Keadilan dalam pendidikan hanya akan tercapai jika setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, mendapatkan akses yang setara ke fasilitas pendidikan yang layak dan berkualitas.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu mendengarkan suara-suara dari lapangan dan segera bertindak untuk memperbaiki sistem yang sudah terlanjur rusak ini.Â
Tanpa tindakan nyata, zonasi hanya akan terus memperburuk ketimpangan yang ada, merampas harapan anak-anak miskin untuk mengubah nasib mereka melalui pendidikan.
Kurangnya Sosialisasi: Kegagalan Komunikasi yang Fatal
Salah satu aspek krusial yang kerap diabaikan dalam penerapan kebijakan zonasi sekolah di Indonesia adalah sosialisasi yang memadai kepada masyarakat.Â
Meski sistem zonasi bertujuan mulia untuk menciptakan keadilan pendidikan, kenyataannya banyak masyarakat yang masih bingung dengan peraturan yang diterapkan.
 Kompleksitas peraturan yang melibatkan berbagai jalur seperti zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan orang tua, tidak dijelaskan dengan baik kepada orang tua, guru, dan tokoh masyarakat.Â
Hasilnya? Kebingungan, interpretasi yang salah, dan pemahaman yang keliru terhadap esensi dari kebijakan ini.
Saya sering kali mendengar cerita dari orang tua yang merasa tersesat dengan aturan-aturan zonasi yang terus berubah-ubah.Â
Pada dasarnya, mereka hanya ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, namun ketidakpahaman mengenai peraturan membuat banyak orang tua mengambil jalan pintas yang merugikan sistem.Â
Mereka tidak memahami dengan baik bagaimana jalur zonasi bekerja, mengapa jalur afirmasi disediakan untuk siswa dari keluarga kurang mampu, atau bagaimana jalur prestasi bisa dimanfaatkan. Kebijakan yang seharusnya bersifat inklusif ini, justru menjadi labirin yang rumit bagi masyarakat awam.