Mulai dari ruang kelas yang rusak, minimnya fasilitas penunjang seperti laboratorium, perpustakaan, dan ruang olahraga, hingga akses internet yang terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.Â
Di sisi lain, sekolah-sekolah di perkotaan sering kali dilengkapi dengan fasilitas modern, guru berkualitas, dan dukungan teknologi yang jauh lebih baik.
 Ini jelas menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana mungkin kebijakan zonasi bisa berlaku adil di tengah kondisi infrastruktur yang timpang?
Menurut data terakhir yang diungkap oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lebih dari 50% ruang kelas di Indonesia berada dalam kondisi rusak.Â
Angka ini adalah gambaran yang menyedihkan dan jelas-jelas menggambarkan betapa sulitnya mencapai pemerataan pendidikan dengan fasilitas yang serba tidak layak.Â
Sekolah-sekolah di pedesaan, terutama di wilayah timur Indonesia, masih kekurangan ruang kelas yang layak pakai. Beberapa di antaranya bahkan harus memanfaatkan ruang kelas yang setengah runtuh atau tidak memiliki fasilitas penunjang sama sekali.
Lebih jauh, ketimpangan tidak hanya terjadi pada infrastruktur bangunan, tetapi juga dalam distribusi guru berkualitas.Â
Guru-guru terbaik masih terpusat di daerah perkotaan, meninggalkan banyak sekolah di daerah terpencil tanpa tenaga pendidik yang memadai.Â
Menurut Kemendikbud, sekolah-sekolah di daerah pinggiran sering kali hanya memiliki guru-guru yang tidak terlatih dengan baik, atau bahkan kekurangan tenaga pengajar, yang tentunya berimplikasi buruk pada kualitas pendidikan di wilayah-wilayah tersebut.
Sistem zonasi ini pada dasarnya memaksa siswa untuk menerima kondisi sekolah di sekitar tempat tinggal mereka, tanpa memberikan pilihan yang adil.Â
Bagi siswa yang tinggal di daerah dengan infrastruktur sekolah yang buruk, mereka tidak hanya kehilangan akses ke fasilitas pendidikan yang layak, tetapi juga harus bersaing dengan siswa dari daerah yang lebih maju yang mendapatkan fasilitas yang jauh lebih baik.Â