Praktik ini jelas-jelas mencederai tujuan awal zonasi, yang ingin memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa berdasarkan jarak geografis yang nyata, bukan yang dimanipulasi.
Tidak hanya itu, sistem zonasi juga tercoreng oleh praktik jual beli kursi yang terus terjadi di beberapa sekolah favorit.Â
Ada laporan dari berbagai media bahwa kursi di sekolah-sekolah tersebut diperjualbelikan dengan harga yang bervariasi, tergantung dari seberapa besar permintaan.Â
Bagi keluarga yang tidak mampu membayar, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah favorit semakin jauh dari jangkauan, sementara mereka yang memiliki kekuatan finansial dapat "membeli" akses ke sekolah berkualitas.
Kasus lainnya yang cukup memprihatinkan adalah temuan diskriminasi di jalur pindah tugas orang tua. Praptono mengungkapkan bahwa kebijakan zonasi sering kali hanya menguntungkan pegawai BUMN dan ASN, sementara profesi lain tidak mendapatkan kemudahan yang sama.Â
Ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang memanfaatkan celah kebijakan untuk memberikan keuntungan eksklusif bagi kelompok tertentu.
Selain itu, manipulasi juga terjadi pada jalur prestasi, di mana sertifikat kejuaraan palsu digunakan untuk memperoleh keuntungan dalam proses penerimaan siswa.Â
Manipulasi nilai rapor, sertifikat hafalan Alquran, dan nilai akademis lainnya semakin menambah daftar panjang kecurangan yang menodai implementasi sistem zonasi.Â
Ini jelas bukan hanya soal aturan teknis yang dilanggar, tapi juga penghancuran nilai-nilai kejujuran yang seharusnya ditanamkan dalam dunia pendidikan.
Dampak dari manipulasi dan korupsi ini sangat serius. Pertama, hal ini merugikan siswa yang seharusnya berhak mendapat akses ke sekolah berdasarkan ketentuan zonasi.
 Mereka kehilangan kesempatan karena kursi yang seharusnya tersedia untuk mereka telah diambil oleh orang-orang yang memanipulasi sistem. Kedua, praktik semacam ini secara signifikan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan di Indonesia.