Sosialisasi yang kurang ini tidak hanya memengaruhi orang tua, tetapi juga guru dan tokoh masyarakat.Â
Guru, yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menjelaskan kebijakan zonasi kepada orang tua, justru sering kali tidak mendapatkan informasi yang memadai. Mereka sendiri bingung bagaimana menjelaskan sistem ini kepada para siswa dan orang tua.Â
Tokoh masyarakat yang semestinya menjadi ujung tombak penyebaran informasi juga tidak dilibatkan secara efektif, sehingga tujuan dan mekanisme zonasi tidak sampai dengan jelas ke seluruh lapisan masyarakat.
Konsekuensi langsung dari kurangnya sosialisasi ini sangat nyata.Â
Banyak orang tua yang melakukan tindakan yang justru merusak tujuan zonasi. Misalnya, mereka mengubah alamat di Kartu Keluarga (KK) atau mencari jalan belakang untuk memasukkan anak ke sekolah yang mereka anggap lebih baik, meskipun sebenarnya anak tersebut tidak memenuhi syarat zonasi.
 Kebingungan ini bahkan meluas hingga tingkat pemerintah daerah, di mana ketidakselarasan dalam penafsiran peraturan antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menyebabkan kebijakan yang diterapkan di lapangan berbeda-beda, menciptakan ketidakpastian bagi para calon siswa.
Padahal, jika sosialisasi dilakukan dengan baik, masyarakat mungkin akan lebih memahami dan mendukung kebijakan ini.Â
Orang tua perlu dijelaskan bahwa zonasi tidak hanya tentang jarak fisik antara rumah dan sekolah, tetapi juga tentang pemerataan akses pendidikan yang lebih adil.Â
Mereka juga perlu memahami bahwa sistem ini bukan hanya untuk menguntungkan sekolah-sekolah di pusat kota, tetapi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di seluruh negeri.Â
Jika pemahaman ini terbangun, masyarakat tidak akan terlalu khawatir dan terburu-buru mengambil tindakan yang merusak sistem.
Sebuah kebijakan tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh pemahaman yang tepat dari masyarakat.