Orang tuanya, yang bekerja sebagai buruh harian, harus merogoh kantong lebih dalam hanya untuk biaya transportasi harian anak mereka ke sekolah.Â
Kisah seperti ini bukanlah kasus yang langka, melainkan gambaran umum bagaimana kebijakan zonasi menjadi beban bagi mereka yang sebenarnya paling membutuhkan dukungan.
Tidak hanya biaya transportasi yang tinggi, keluarga-keluarga ini juga harus menghadapi kenyataan bahwa kualitas sekolah yang mereka akses masih jauh dari memadai.Â
Zonasi memang memungkinkan anak-anak untuk bersekolah di sekolah yang "terdekat", namun jika sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang baik atau guru yang berkualitas, apa gunanya? Lagi-lagi, mereka yang paling membutuhkan justru menjadi korban dari kebijakan yang semestinya melindungi mereka.
Inilah ironi dari zonasi: sebuah kebijakan yang dirancang untuk keadilan, tetapi justru memperparah kesulitan bagi siswa-siswa dari keluarga kurang mampu.Â
Mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk membayar transportasi, apalagi untuk membeli kursi di sekolah favorit, harus rela menerima pendidikan di sekolah yang kualitasnya jauh dari standar yang layak.Â
Sementara itu, siswa dari keluarga yang lebih beruntung bisa dengan mudah mengakali sistem, memanfaatkan celah-celah yang ada untuk mendapatkan akses ke pendidikan berkualitas.
Tuntutan untuk aksi nyata semakin mendesak. Pemerintah harus segera mengevaluasi sistem zonasi ini dan mengimplementasikan kebijakan yang benar-benar berpihak pada siswa dari keluarga kurang mampu.Â
Ini bisa dimulai dengan memberikan bantuan transportasi atau menyediakan program beasiswa khusus bagi siswa-siswa yang terpaksa bersekolah jauh dari rumah mereka.Â
Selain itu, diperlukan upaya yang serius untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah di zona yang lebih miskin, sehingga siswa tidak lagi harus memilih antara jarak yang jauh atau kualitas pendidikan yang rendah.
Sistem zonasi, tanpa pembenahan yang serius, hanya akan terus menjadi alat yang menindas kelompok yang paling rentan dalam masyarakat kita.