Praktik jual beli kursi di sekolah-sekolah yang dianggap lebih unggul menjadi hal yang lumrah, mencoreng upaya pemerintah untuk menciptakan keadilan yang lebih inklusif.Â
Bagi siswa yang jujur dan mengikuti aturan, mereka justru terpaksa harus menelan kekecewaan karena kalah oleh mereka yang memanfaatkan celah sistem.
Sistem zonasi ini seakan menjadi ironi besar dalam upaya pemerataan pendidikan. Harapan bahwa anak-anak di desa atau daerah pinggiran akan mendapatkan pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah terdekat berubah menjadi ketidakadilan baru.Â
Mereka yang berada di zona yang salah harus menempuh jarak yang jauh, mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk mencapai sekolah yang mungkin tidak lebih baik dari apa yang ada di sekitar mereka.Â
Di sisi lain, siswa yang tinggal di pusat kota, yang seharusnya punya akses lebih mudah ke sekolah berkualitas, justru malah mengalami diskriminasi karena wilayah zonasi yang tidak jelas atau diselewengkan.
Inilah kegagalan implementasi yang seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Sistem zonasi, jika tidak diperbaiki, hanya akan semakin mengakar sebagai masalah yang tak kunjung selesai.Â
Dan seperti yang sering saya katakan, kebijakan apa pun, betapapun baik niatnya, akan selalu bergantung pada bagaimana itu diimplementasikan. Tanpa pengawasan yang ketat dan sistem yang transparan, zonasi hanyalah ide bagus yang mati di atas kertas.
Manipulasi Data dan Korupsi: Pengkhianatan terhadap Prinsip Keadilan
Sistem zonasi sekolah yang semestinya berfungsi sebagai instrumen pemerataan pendidikan telah ternoda oleh praktik manipulasi dan korupsi yang mencederai prinsip keadilan.
 Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk membuka akses pendidikan secara merata, malah berubah menjadi alat bagi mereka yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi? Kecurangan seperti manipulasi data Kartu Keluarga (KK), jual beli kursi di sekolah-sekolah favorit, hingga penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal telah menggerogoti fondasi keadilan yang seharusnya menjadi inti dari kebijakan ini.
Salah satu kasus yang mencuat adalah yang diungkapkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek, Praptono, dalam rapat dengan Komisi X DPR RI, Selasa (9/7/2024).Â
Ia mengungkapkan bahwa manipulasi dokumen Kartu Keluarga (KK) masih sering ditemukan di lapangan, terutama dalam jalur penerimaan peserta didik baru (PPDB) melalui zonasi. Beberapa orang tua yang ingin anaknya diterima di sekolah favorit mengubah alamat domisili agar terdaftar di zona sekolah tersebut.Â