Tahun berikut, saya memutuskan untuk membuang semua kartu yang dikirim dokter dan berhenti mengirim kartu lagi karena takut mendapat kabar dokter tiada.Â
DOA
Mungkin usia balita saat pertama kali saya diajari berdoa untuk orang lain di sekolah minggu. Bu guru menyuruh mendaftar orang yang mau didoakan mulai dari urutan pertama.
Saya menyebut dokter lalu mama kemudian papa. Ibu guru yang mendengar itu memarahi saya karena doa saya salah. Orang tua harus yang pertama didoakan bukan yang lain.
Saya hanya diam seribu bahasa tetapi mengingat seumur hidup. Ibu guru seperti mama tidak memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan.Â
Bagi saya tanpa ada orang tua tapi ada dokter Widhodho pasti saya hidup. Karena, mama setiap ada masalah dengan saya pasti segera pergi cari dokter. Maka dokter harus yang pertama didoakan supaya tetap sehat. Mama tanpa ada dokter pasti kesulitan hidup.
Pengalaman itu kelak sangat mempengaruhi saya dalam mendidik anak segala usia dengan selalu memberi anak kesempatan untuk menjelaskan tanpa membuat rendah diri.Â
Harapan saya semoga dengan cara seperti itu kelak saat saya berusia 50 tahun ke atas bisa bertemu dengan banyak anak muda yang bisa dipercaya, terbuka dan menyenangkan.
Sejak itu saya selalu mendoakan dokter supaya tetap sehat. Berjalan waktu saya menambah bahagia di dalam doa.Â
Setahun setelah berhenti mengirim kartu ucapan Idul Fitri, saya pindah gereja yang berjarak sekitar 10 menit jalan kaki ke rumah dokter. Di sana saya memiliki teman yang tinggal di dekat rumah dokter dan mengabari dokter ternyata sehat.
Terkadang ingin sekali main ke rumah sepulang dari gereja, tetapi entah kenapa tanpa alasan yang jelas ada perasaan khawatir melihat dokter menangis sedih. Saat bertemu pasti membahas mama dan menceritakan kondisi mama pasti bisa membuat hati dokter kesal. Â