"Bon Jour Monsieur! Que tu fait dans Kampoeng Naga?" sapaku pada turis Pranci situ setibanya di Kampung Naga. Kami berdua menurunilebih dari 400 anak tangga. Aku mengajaknya dengan bahasa Prancis apa adanya.
"Je suis Photographer Pour a project," jawabnya. "Tu es Journaliste Monsieur?"
"Oui," jawabku. Dia kemudian berkeliling. Kalau aku memilih wawancara.
Aku bertemu Pak Endut pemandu Kampung Naga.  Dia menjelaskan terdapat  113 bangunan dalam areal 1,5 hektar  dan didiami 315 jiwa.Â
"Bangunan menghadap ke Timur dan membelakangi Barat, karena matahari terbit dari Timur," kata Pak Endut. "Aturan lain satu bangunan tidak boleh didiami oleh dua kepala keluarga."
Kalau penduduk melebihi ketentuan, maka harus ada yang pindah desa-desa  ke seberang Sungai Ciwulan.
Rumah panggungnya khas beratap ijuk atau dengan daun tepus, dindingnya kayu atau bambu yang tidak boleh menggunakan cat dna hanya menggunakan kapur.  Bangunan ini tahan gempa dengan luas  ada yang 5 x 6 meter, 8 x 8 meter atau 9 x 9 meter.  Tinggi bangunan antara 8 hingga 10 meter.
Di dalam perkampungan ada balai pertemuan dan rumah adat, tanah lapang  berhadapan dengan masjid dengan dua tempat wudhu. Ada bangunan untuk berjualan cendera mata untuk wisatawan yang berkunjung.
Aku masuk Rumah Pak Endut terdapat tiga kamar, tidak ada listrik, tetapi untuk menyalakan televisi dia menggunakan aki. Â Ruang tamu lesehan.
"Ada hutan larangan. Ada aturan ranting jatuh pun harus dibiarkan untuk menjaga keseimbangan. Pohon tidak boleh dirusak. Itu sebabnya Kampung Naga tidak pernah longsor dan mengalami kekeringan," tutur Pak Endut.
Aku kira aturan menjaga harmonisasi dengan alam ini juga dilakukan di kampung adat lain di tatar Sunda. Sayang keserakahan kerap memenangkan pertarungan dengan mereka yang menjaga keseimbangan dengan alam.