Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis Bagian Dua

16 Juni 2024   15:04 Diperbarui: 16 Juni 2024   15:12 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Naga-Foto: Irvan Sjafari

Tasikmalaya, 4 Mei 2014

Bus Bandung-Tasikmalaya meninggalkan terminal Cicaheum sekitar pukul sembilan pagi. Aku memilih duduk di samping Pak Supir seperti anjuran senior saya untuk mengorek informasi soal kota ini dan dia menurunkan saya di tempat yang tepat, hingga aku bisa langsung mengakses Hotel Mataram di Jalan Yudanegara tepat tengah hari dan di dekat sini ada Rumah Makan Ampera dan Masjid Agung.  Berarti aku sudah di pusat kota. 

Aku beruntung, Ciby  rekan aku di Majalah Bandung Beautiful Magazine dulu memberikan informasi bahwa perlu tiga jam untuk tiba di Tasikmalaya benar. Bahkan jadi efesien dalam waktu.

Pukul 14.30 aku ke Haryati Boutique di kawasan Kawalu  dan wawancara Hj Haryati pemiliknya.  Butik itu mega dengan koleksi bordiran yang membuat tempat ini jadi destinasi wisata.  Dia sudah memulai usaha bordir pada umur 17 tahun sekitar 1968.   Wawancaranya cukup membuat aku mendapat bahan buat majalah Plesir.

Tetapi di luar wawancara kami mengobrol soal pemberontakan DI/TII. Cerita Bu Haryati mirip dengan cerita Ade Indira bahwa seragam DI/TII bukanlah hitam-hitam seperti dalam film, tetapi kerap menggunakan seragam militer yang dikenakan TNI.  Ayahnya pernah dicurigai sebagai OKD (Organisasi Keamanan Desa).

Rumahnya delapan kali didatangi dan kerbau diambil begitu saja.  Keluarga kali mengungsi dan mengalami jam malam.  Pada waktu maghrib tidak ada yang berani keluar rumah.  Mendengar cerita itu, bagi aku perang saudara lebih mengerikan daripada berhadapan dengan bangsa lain.

Sorenya pukul 17.00 ke tempat Aldilla, seorang pengusaha muda kelom Tasikmalaya  yang tercatat sebagai pengusaha Muda Mandiri dan menjadi finalis.  Kelom Geulisnya didesain untuk anak era sekarang, yang membuatnya produknya diminati orang dari kota lain.

Rumahnya di Lengkong tengah kerap didatangi Mobil Plat B. Harusnya pelaku UKM kerajinan mencontoh Aldilla, mempertahankan tradisi tetapi tetap menyesuaikan dengan kekinian. 

Sama dengan lagu Yura "Kataji", Sunda tradisional tetapi ada unsur broadway.

"Saya mengangkat budaya Tasikmalaya," ujar Aldila membenarkan aku.

Pulang ke Hotel Mataram sesudah maghrib. Aku sempat mencicipi mi kocok di dekat alun-alun yang kuahnya kental, berbeda dengan yang di Bandung dan malamnya Nasi Tugtug dekat hotel.  Aku bersyukur bisa mendapat dua sasaran dalam sehari.  Rencananya  besok ke Kampung Naga dan sorenya harus berada di Bandung.

 

 

Cianjur, 8 Februari 1957

"Widy! Ada apa dia kemari!"  Syafri terperanjat melihat gadis itu ada di sebuah rumah di sebuah desa kawasan Cianjur.  Pujaannya itu masih berseragam sekolah.  Entah ada keperluan apa. Lagipula apa dia sudah diizinkan.  Bada Asar, yang dia khawatir sehabis maghrib luar kota bukanlah hal yang menyenangkan. Sewaktu-waktu gerombolan bersenjata bisa menyerang.

Syafri baru saja menemui seorang petani di desa itu dan harusnya dia kembali ke pabrik tauco tempat Kang Dudung dengan seorang tentara menunggu dengan sebuah jip.  Rekan dari media lain Ikhsan Mayo dan Yudi Gumilar pasti sudah di titik jemput. Namun Syafri sudah meberitahu posisinya ada di desa  berapa kilometer dari kota.  Dia meminjam sepeda dari pemilik  toko beras kawan pamannya.

Sersan Bakarudin sudah memperingatkan agar segera kembali karena keadaan luar kota tidak bisa ditebak.

"Si Geulis mah memang suka berpetualang. Tetapi mengapa tidak dikawal sepupunya yang tentara itu," umpatnya dalam hati.

Tetapi Syafri agak lega ternyata ada dua orang OKD di desa itu. Salah satu di antaranya membawa pistol di pinggang.  Syafri ingin menghampiri tetapi dari arah utara desa itu beberapa orang berseragam hijau datang, sementara posisi Syafri ada di selatan. 

"Itu TNI," pikir Syafri.

Tetapi yang terjadi berikutnya nyaris membuat Syafri berteriak.  Salah seorang di antara mereka menembak OKD itu  hingga terkapar sambil berteriak  garang.

Yang satu terperanjat  dan langsung meminta Widy   berlari. OKD itu bersembunyi  di balik sebuah pohon dan membalas menembak beberapa kali.  Para gerombolan itu menyebar.  Mereka serentak menembak.  Jumlah tidak seimbang OKD itu akhirnya terkapar.  

"Sialan mereka ada yang pakai bren," umpat Syafri.

Tanpa pikir panjang Syafri mengayuh sepedanya dan menyambar Widy  lalu memboncengnya.  Si Hitam manis itu terkejut tetapi dia menurut.  Syafri melarikan sepedanya secepatnya.

"Anjeun mah nekat," ujar Syafri.

"Aku diajak Kang Epi, sepupuku di sini melihat padinya yang mulai menguning," kata Widy.

"Kang Epi mu itu mana?"

"Lagi keluar sebentar, nanti dia akan antar aku ke Bandung. Katanya desa  ini aman,"

Syafri mendudukan Widy di depan dia di belakang karena khawatir  gerombolan menembak mereka dan dia akan kena duluan.  Ingin jadi pahlawan? Terserah apa kata orang nanti. 

Benar juga, beberapa gerombolan itu mengejar dan ada yang menembak.  Sebuah peluru menyerempet tali ranselnya hingga nyaris lepas.  Sebuah lagi menyerempet pinggangnya.  Syafri ingin menjerit, tetapi dia terus mengayuh. Dia nyaris menabrak sebuah jip yang datang dari depan.

Jip yang memuat  Sersan  Bakarudin, dan rekannya  diikuti Jip kedua yang berisi personel TNI.  Tembak menembak terjadi begitu riuh.  Syafri melarikan sepedanya dan berada di belakang jip Sersan Bakarudin.

"Kelamaan atuh, hadeuuh sama siapa nih?" ujar Yudi melihat Widy.  Namun dia melihat darah membasahi baju Syafri.

Syafri penderita darah rendah. Dia rubuh menimpa Widy yang tadi dilindunginya.  Kepalanya berkunang-kunang. Mojang itu berteriak ngeri.

Dia masih melihat gerombolan itu mundur meninggalkan seorang rekannya yang tertembak.

"Mereka pakai bren," sahut Syafri. "Mereka pakai seragam seperti TNI."

"Neng  bisa mati!" kata Kang Dudung.

"Tidak apa kalau untuk dia maah..!" Syafri makin kacau melihat ekspresi Widy entah marah, takjub atau apa. Tetapi dia cemas ketika Syafri lemas.

Namun  dia masih sadar ketika digotong ke jip dan mereka bergerak ke Bandung.

"Ah, luka kecil, mungkin dia tidak makan siang tadi?" ucap Sersan Bakarudin.

"Dia penderita darah rendah, cepat lemas," kata Kang Dudung. "Pamannya sudah berpesan untuk jaga dia. Bulan depan dia berhenti jadi wartawan."

Syafri hanya tersenyum dan senang akhirnya bisa berbuat sesuatu untuk dara itu.   Tetapi Widy hanya diam, tidak berekspresi.

Widy  baru menemani Syafri langsung dibawa ke rumah sakit kota Cianjur untuk diperban. Ketika diperban Syafrie semaput dan mengucapkan berapa kalimat di bawah sadarnya.  Satu kalimat yang dia ucapkan di antaranya membuat Widy terperanjat.  

Namun Syafri kemudian sadar dan menatap wajahnya. Dia tersenyum ketika perawat memberikan teh manis dan pulih. Widy pun membalas tersenyum

"Kamu nggak apa-apa?" sapanya ramah, ketika Syafri boleh pulang sore itu juga.

"Nggak ah, besok jadi ikut acara  di Savoy Homann, ya?" ajak Syafri.

"Memangnya Kang Angga jadi belikan tiket buat kita?"

Syafri mengangguk. "Surprise buat kamu, menjelang hari ulang tahun."

"Iya, Februari ini. Memang kamu mau kasih apa?"

Widy memanggilnya kamu. Seolah mereka kini sudah dekat.

"Masih rahasia, tetapi besok dansa dengan aku ya?"

"Luka kamu bagaimana?'

Mereka menaiki jip.

"Kalau sakit karena dansa dengan kamu tidak apa," sahut Syafri

Kampung Naga, Tasikmalaya  5 Mei 2014

"Bon Jour Monsieur! Que tu fait dans Kampoeng Naga?" sapaku pada turis Pranci situ setibanya di Kampung Naga. Kami berdua menurunilebih dari 400 anak tangga. Aku mengajaknya dengan bahasa Prancis apa adanya.

"Je suis Photographer Pour a project," jawabnya. "Tu es Journaliste Monsieur?"

"Oui," jawabku. Dia kemudian berkeliling. Kalau aku memilih wawancara.

Aku bertemu Pak Endut pemandu Kampung Naga.  Dia menjelaskan terdapat  113 bangunan dalam areal 1,5 hektar  dan didiami 315 jiwa. 

"Bangunan menghadap ke Timur dan membelakangi Barat, karena matahari terbit dari Timur," kata Pak Endut. "Aturan lain satu bangunan tidak boleh didiami oleh dua kepala keluarga."

Kalau penduduk melebihi ketentuan, maka harus ada yang pindah desa-desa  ke seberang Sungai Ciwulan.

Rumah panggungnya khas beratap ijuk atau dengan daun tepus, dindingnya kayu atau bambu yang tidak boleh menggunakan cat dna hanya menggunakan kapur.  Bangunan ini tahan gempa dengan luas  ada yang 5 x 6 meter, 8 x 8 meter atau 9 x 9 meter.  Tinggi bangunan antara 8 hingga 10 meter.

Di dalam perkampungan ada balai pertemuan dan rumah adat, tanah lapang  berhadapan dengan masjid dengan dua tempat wudhu. Ada bangunan untuk berjualan cendera mata untuk wisatawan yang berkunjung.

Aku masuk Rumah Pak Endut terdapat tiga kamar, tidak ada listrik, tetapi untuk menyalakan televisi dia menggunakan aki.  Ruang tamu lesehan.

"Ada hutan larangan. Ada aturan ranting jatuh pun harus dibiarkan untuk menjaga keseimbangan. Pohon tidak boleh dirusak. Itu sebabnya Kampung Naga tidak pernah longsor dan mengalami kekeringan," tutur Pak Endut.

Aku kira aturan menjaga harmonisasi dengan alam ini juga dilakukan di kampung adat lain di tatar Sunda. Sayang keserakahan kerap memenangkan pertarungan dengan mereka yang menjaga keseimbangan dengan alam.

Beruntung bisa pagi ke Kampung Naga, dengan cahaya matahari yang bagus. Walau untu itu naik ojek dari terminal ke Singaparna, baru menyambung angkot ke Kampung Naga.  Pulang dari Kampung Naga aku naik Elf ke arah Garut dan dioper ke Elf ke arah Bandung.  Tiba di sana Hyper Square sekitar pukul 14.00.  Aku kembali booking kamar di ZZZ Express Backpacker.

 

Saung Angklung Mang Udjo, Padasuka, Bandung 16.30

Pertunjukkan angklung dengan lagu Burung Kakak Tua  dan Wu Ai Ni begitu manis dan harmonis.  Yang memainkan angklung adalah pemain yang muda. Kemudian diikuti oleh pertunjukkan senior sekitar 17 orang memainkan lagu "Can't Take My Eyes" dengan menarik.  Aku beruntung bisa tiba tepat waktunya mengejar target terakhir ekspedisi Priangan Selatan.

"Prinsipnya jazz dan rock bisa dinyanyikan dengan angklung.  Bermain angklung sama dengan piano ada 4 grade dan perlu tiga tahun untuk mahir," jelas Yayan instruktur yang aku temui.  "Tetapi belajar setahun pun boleh manggung. Seperti memainkan alat musik lainnya perlu bakat."

Aku suka ketika puluhan anak-anak dari warga sekitar  yang juga belajar angklung menyerbu masuk da  mengajak penonton di bangunan aula ikut menari diiringi lagu "Halo-halo Bandung", "Injit-injit Semut" dan "Rasa Sayange" hingga lagu dari penyanyi cilik 1970-an Joan Tanamal "Goyang Kiri, Goyang Kanan".

Aku percaya suatu ketika budaya Sunda seperti ini bisa berkompromi dengan budaya global. Penyayi kesayanganku, Yura Yunita mengikuti pola pendiri angklung ini dengan menjadikan musik Sunda lebih fleksibel.

"Angklung bisa memainkan lagu apa saja karena sudah dubah dari pentatonic ke diatonic pada 1938 oleh Udjo dan Daeng Sutikna. Sebelumnya kan mirip gamela," cerita Hikmat salah seorang pengurus Saung yang ikut menemani bersama Shitta.

Aku juga bernama Sherly lulusan Fakultas Ekonomi Unpad kelahiran 1988 yang awalnya mengira angklung muisk jadul, tetapi setelah kenal Saung Udjo malah kesannya keren. 

"Aku pernah nonton The Beatles Night dengan Saung Udjo sebagai pesertanya. Ternyata bangus banget dan aku jadi cinta budaya Sunda," ujar Sherly.

Blackberry aku memberi pesan dari Nina, atasan aku untuk wawancara Taufik Hidayat pimpinan Saung Udjo untuk dibuat profil.  Sayang tidak ada di tempat sore itu.  Untung besok masih di Bandung.

ZZZ, Express, Hyper Square  20.00

Male dorm yang aku tempati ada enam orang cukup penuh. Di antaranya seorang bapak setengah baya yang bertugas  di Bandung. Dia bernama Surya, seorang broker yang awalnya ikut perusahaan waralaba sebelum akhirnya buat sendiri.  Menurut dia konsep hotel backpacker sudah banyak di Singapura.  

Hotel backpacker ini seperti di rumah aku bisa bikin kopi seperti di rumah sendiri.  Begitu juga sarapan pagi prasmanan, bisa buat telur mata sapi dengan dua kerat roti.

 Setelah  ngobrol keluar makan malam di warung tenda di kawasan Pasir Kaliki dengan ayam goreng pepes usus, enak sekali.  Kuliner Sunda memang favorit aku.  

 Jalan Belitung, Bandung, 9 Februari 1957 

 

"Widy! Aku datang," teriakku ketika masuk ke aula SMA itu untuk menjemputnya sambil menahan sakit di pinggangku.

Gadis itu menengok.   Dia  pasti heran bagaimana Syafri bisa masuk ke sekolahnya.  Tetapi penjaga sekolahnya mengenali Syafri sebagai wartawan memperbolehkannya masuk, apalagi dia berapa kali menjemput Widy.

Muka Widy merah karena dia bersama teman-temannya rupanya sedang berlatih main angklung.  Gurunya pun menoleh, tetapi mereka hanya tersenyum ketika aku yang datang dan malah teman-temannya beramairamai tepuk tangan. 

"Pahlawannya Widy datang!" 

Latihan angklung yang serius jadi riuh dan gaduh. Gurunya menengok, ingin tahu sapa yang menganggu. Tetapi ketika tahu Syafri yang dtaang, dia  pun memeluknya. "Terima kasih menyelamatkan murid kami," ucapnya.

Rupanya cerita kemarin sudah tersebar sejak pagi, padahal aku sudah minta kepada teman-teman wartawan untuk tidak memuatnya. Tetapi itu kan berita.

Aku tadi sempat melihat berita di surat kabar tentang kejadian di Cianjur. Aku dapat cerita dari Kang Anga bahwa Widy ternyata jalan ke Cianjur bukan bersama Kang Epy sepupunya, tetapi bersama Hardja naik oto.  

Hardja ini minta izin sebentar ke Puncak ada perlu, tetapi ternyata dia lama di situ.  Rupanya dia juga sudah janji bertemu gadis lain hingga menginap bersama di villa di sana.  Hingga pagi ini dia belum pulang dari Puncak ke Bandung. Mungkin dia pikir Widy diantar oleh Kang Epy.

"Anjeun, juga bisa main angklung? Kirain hanya bisa rock n roll" tantangku.

"Eh, aku juga orang Sunda nggak melupakan budaya," katanya.

"Bisa bawakan lagu Mang Koko," tantang Syafri.

"Bisa!!" kata teman-temannya. "Tetapi Akang nari ya sama Widy kami yang main angklung."

Syafri tidak menolak. Widy juga dia mengajarinya menari tradisional Sunda diiringi musik angklung dengan lagu Mang Koko oleh  sekitar belasan teman-temannya.  Widy begitu luwes, sementara Syafri kaku .  Dia kemudian tertawa. 

"Kamu tahu Mang Koko juga?" tanyanya.

"Ya, Daeng Sutikna juga," jawab Syafri.

Kemudian Syafri dikelilingi teman-temannya.  Rasanya panas dingin. Widy membiarkan aku seperti diinterogasi.

"Dia banyak penggemarnya, Akang punya banyak saingan," ucap Maria, temannya yang paling galak.  

"Sudah berkurang satu," celetuk Widy melihat Syafri tampak gugup. "Dia belum menunjukkan muka sampai saat ini. Ingin tahu penjelasan apa yang akan dia berikan."

Widy kemudian mengikuti aku keluar sekolah dengan sepeda sekali lagi diiringi tepuk tangan teman-temannya.  Syafri membawa Widy dengan sepedanya ke rumahnya di Dago Atas.  Setelah itu dia  ke rumah pamannya untuk berpakaian sebelum mereka dijemput oleh Hein dan Kang Angga.

"Kata Angga, dandanannya harus mirip artis. Anjeun mau mirip siapa?" tanya Syafrie.

"Rahasia. Aku mau dandan khusus untuk kamu."

"Siapa yang dandanin kamu?"

"Kang Angga dan Teteh Utari, katanya di salon khusus? Kamu?"

"Hein dan Rinitje,"  sahut Syafrie.

Hotel Homann, Bandung 9 Februari 1957 sekitar  pukul 19.00

"Widy! Anjeun mirip Natalie Wood pemeran Judy dalam A Rebel Without A Cause!" teriak Syafri ketika tiba di Hotel Homann.  Dia sudah datang duluan di mobil pertama bersama Hein dan Rinitje. 

Widy tertawa terbahak melihat dandanan rambut Syafri.  "Kamu mah James Dean rambutnya saja! Siapa yang dandanin kamu!"

Rinitje tertawa. "Kena kalian kita kerjain!"

Syafrie pasrah, ketika tahu itu gagasan kawan-kawannya. Judy dan Jim Stark adalah pasangan dalam  A Rebel Without A Cause. Rupanya mereka sudah tahu peristiwa kemarin. Bahkan mungkin satu kota Bandung.  Sebab ada koran yang memajang foto mereka berdampingan.

"Lah, ini kan yang jadi berita koran pagi," celetuk seorang tamu ketika  enam sekawan itu memasuki ball room.

Syafri hanya bisa menunduk.  Widy tetap tenang. 

Hein memilih dandanan mirip Bill Haley, Rinitje mirip Joyce Pelupessy yang juga hadir di acara itu.  Sementara Angga lebih memilih aktor Bambang Hermanto dan Utari memilih mirip Jeniffer Jones pemeran Hay Suyin dalam Love is Many Splendored Thing.

"Lah di sana ada Mieke Widjaja atau mirip Mieke Widjaja, Hein?" tanya Utari.

"Nama acaranya Film Ball, penyelenggaranya Willy F. Brandon  dan Persatuan Perusahaan Film Indonesia," papar Hein. "Itu Mieke benaran sepertinya, dia memang diundang."

Widy menarik tangan Syafri. "Ikut aku sebentar!"

Syafri mengikuti dengan heran.  Keempat kawannya melihat akhirnya mengikuti dari belakang. Rupanya Widy melihat seorang yang paling dicarinya, yaitu seorang yang rambutnya mirip Elvis Presley bersama seorang perempuan Susan Hayward. Bahkan sangat mirip karena wajahnya memang indo.

"Hallo Hardja!" sapa Widy dengan suara sinis. "Kenalin dong dengan pasangan dansamu nanti, yang kamu temui di Puncak itu ya!"

Yang disebut Hardja terperanjat. Rupanya dia belum tahu peristiwa yang dialami Widy.

"Maaf, aku lupa...."

"Sudah tidak apa-apa. Selamat ya? Kalian jadian?"

"Iya," sahut perempuan di sebelah Hardja. "Kenalin aku Mona calon istrinya Hardja, kamu?"

"Bukan siapa-siapa, hanya kenalan dia," jawab Widy menahan rasa sakit hatinya. "Ini pasanganku Syafrie!"

"Hardja," pria itu terpaksa mengulurkan tangan. Dia seperti pencuri tertangkap tangan. Karena di depan pacarnya, dia tidak berani mengatakan membawa Widy ke Cianjur dan meninggalkannya begitu saja.

Di samping Hardja sebetulnya ada beberapa pria yang menjadi kawan. Tetapi Hein dan Angga juga bersiap menjaga Syafrie.

Akhirnya setelah basa-basi mereka berpisah dan acara pun dimulai.  Setelah  makan malam, pesta dansa dimulai.  Syafrie agak gusar ketika dia dan Widy dibiarkan dansa berdua untuk 5 menit. Entah bagaimana Angga dan Hein mengatur dengan panitya. Widy agresif sekali dengan dansa rock n roll diiringi musik Cha cha.

"Lah, ada politisi DPRD juga di sini?" bisik Syafri. "Itu kan tuan yang pernah aku wawancarai, dia kan partai nasionalis, bakal dimarahi Bung Karno kalau ketahuan."

"Ssh, para bapak yang bicara moral juga banyak hadir di sini kok, jangan khawatir.  Malah ada yang datang bukan dengan istrinya," jawab Angga. "Kamu tidak punya beban moral apa pun."

Syafri jadi percaya diri. Dia jadi tidak peduli mau dansanya nanti dinilai liar atau tidak.  Kali ini bersama pasangan lain, dia lebih agresif dari Widy.

Pesta dansa pun meriah hingga tengah malam.  Syafri ikut mengantar Widy ke rumahnya. Pinggangnya menjadi sakit karena masih luka. Tetapi entah kekuatan apa memberikannya tenaga.

Ibu dan ayahnya Widy menunggu di halaman dengan wajah marah karena sudah lewat tengah malam. Tetapi ketika tahu yang mengantarkannya Syafri mereka tersenyum.

"Sekarang ucapkan apa yang kamu katakan waktu semaput di rumah sakit Cianjur," bisik Widy. "Aku percaya itu keluar dari hatimu."

Syafri seperti didesak. Dia lalu ingat.  Dia takut hancur malam itu. "Oke, Widy...  Abdi Bogoh Ka Anjeun?  Anjeun tidak marah, kan?" Syafri mengatakan dengan agak gugup.  Dia menyesali mengapa kalimat itu keluar waktu di rumah sakit.

Widy tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. "Terima kasih sudah jadi pahlawanku."

Syafri tidak tahu apakah dia harus berbunga-bunga atau hancur malam itu. Dia berharap besok-besok Widy mau dijemputnya. Angga yang menyetir mobil juga tidak menanyakan apa-apa.

 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun