"Kenapa harus aku yang menanggung semua obsesimu, pah. Apa karna Kak Arman gagal? Karena kakinya patah? Kalau begitu apakah aku juga harus menggantinya?"
"Aku tidak bisa lagi berada di pohon kelapa yang papa tunggui. Aku cuma butuh teguran yang lembut, cukup dengan pelukan yang hangat, dengan mengajak jalan -- jalan. Itu sudah cukup."
" Aku mungkin... tidak pernah bisa...hiks...hiks... menjadi seperti yang papa minta. Maaf pah. Semoga papa sehat selalu."
TUT!
Aryo berdiri dalam kebekuan. Om Hardy bahkan tidak sempat mengucapkan kata yang tercekat di kerongkongannya. Dadanya terasa begitu sakit. Kedua kalinya ia merasa gagal menjadi pemimpin, gagal dalam mendidik anaknya, gagal menjadi seorang ayah.
Om Hardy menyodorkan Handphone Aryo lantas menepuk bahu Aryo dengan berat. Langkahnya terasa begitu lelah. Tubuhnya tak lagi tegak. Ia berjalan begitu saja tanpa menyadari isterinya telah berada di lorong bangsal.
Tante Ajeng muncul dengan sekotak bekal di depan pintu. Keheranan karena suaminya sama sekali tidak mengangkat wajah untuk menyambutnya.
"Apa Andre sudah pergi?" bisiknya pada Aryo
Aryo memasang ekspresi yang aneh. Antara bingung, terkejut dan pasrah.
"Ya, tante"
"berarti tante datang terlambat,"