BAGIAN PERTAMA : BIMBANG
Mereka bertemu di parkiran setelah apel pulang. Aryo sudah membaca pengumuman di papan informasi dekat ruang registrasi jadi sambil tersenyum lebar dan bangga Aryo menanti sahabatnya datang mendekat. Tapi raut muka Andre kelihatan kusut.
"Lu kenapa, wajah kayak air comberan kayak gitu? Gak jelas banget"
"Gua lagi bingung, Yo!," sahut Andre dan langsung duduk di emperan tempat parker di bawah pohon sukun yang cukup rindang. Motor Aryo terparkir disitu.
"bingung kenapa lagi paduka raja? Bukannya seharusnya lu seneng lolos seleksi administrasi, bikin suasana hati gue jadi keki."
Andre tidak menyahut. Pikirannya berkelebatan tak menentu
"Hh...entahlah. Gua takut"
"takut? Ya emang sih... jadi polisi itu banyak resikonya. Tapi lu pasti bisa. " sahut Aryo berusaha menghibur. Dia membuka tutup botol minuman mineralnya dan hendak meneguk air. Rasanya udara sangat panas disitu.
"Jujur, ini bukan impian gua. Gua maunya jadi dokter. Dokter kecantikan! Gua mau mundur aja"
Serta merta Aryo menyemburkan air yang nyaris berada di tengah kerongkongannya
"uhuk -- uhuk -- uhuk! Barusan lu bilang apa? Lu udah gila? Bisa mampus lu kena tembak sama ayah lu. Nggak pikir apa resikonya,"
Aryo menggeleng kepala sambil menepuk -- nepuk dadanya sendiri. Sepertinya separuh air  terlanjur menyusup ke dalam paru --parunya melewati lubang pernapasan. Memang dari dulu Aryo sudah tahu cita -- cita sahabatnya tapi tidak pernah diungkapkan secara terang-terangan seperti itu. Dia cukup kaget bahwa Andre malah ingin menjadi dokter kecantikan. Apa supaya dia bisa ketemu cewek cantik terus? Atau supaya dia bisa buka klinik dan pelanggannya dari kalangan berduit semua? Wah kalau begitu bagus dong, bisa cuci mata sekalian jadi tukang sapu -- sapu dikantornya.
"habis.. gua musti gimana lagi. Gua bener -- bener nggak betah disini. Mendingan gue jadi dokter kelamin daripada melihat mereka disini. Gua stress. "
Mimpi Aryo ketinggian. Harapannya segera pupus. Apa jadinya jika Andre benar -- benar jadi dokter kelamin? Batal deh jadi tukang sapu -- sapu di kliniknya. Jijik banget deh!
"Jadi lu serius mau berangkat dari semua ini? Ah... cemen lu!! Sia -- sia dong gue anterin elu tiap hari kayak tuan putri,"
"habis gimana lagi. Gua udah dapat e-mail untuk segera registrasi dari kampus," ujar Andre berkilah. Sebenarnya itu bukan alasannya. Andre Cuma takut kalau dia....
Aryo duduk sambil memandang ke jalanan, " terserah lu deh Ndre. Gue nggak ikutan bertanggungjawab deh dengan resiko yang bakalan lu hadepin. But... gua tetep mendukung elo."
"thanks, ya! Lo bener -- bener sahabat terbaik gua,"
"Ya...asal lu jadi dokter kecantikan aja, daripada jadi dokter kelamin, cepat masuk neraka, lo! Liatin milik semua orang. Itu kan bahaya. Eneg gue pokoknya,"
"apaan sih?"
"hahahaha, becanda , becanda nih. Gue Cuma mau menghibur elo aja kok. What ever deh profesi elo. Intinya gue tetap mendukung elo. Nih... minum dulu. Biar otak lu encer, ingatan lu seger dan nggak putusin sembarangan apalagi pikirin yang macem -- macem. Ingat gue berhutang janji sama Tante Ajeng buat ngejagain elu. Lu harus pulang tanpa lecet  sedikitpun. Okey?"
Andre menerima botol minuman mineral tersebut lalu meneguk dengan rakus, kemudian mengguyur kepalanya yang sudah dipangkas setipis 1 senti itu dengan air yang tersisa.
Dalam hati Aryo merasa iri dengan sahabatnya. Punya ayah dengan jabatan hebat, ibu yang lemah lembut. Aryo juga mengagumi Andre yang memiliki tubuh ideal layaknya para polisi muda lainnya. Andre sangat maskulin dengan air yang menetes dari kepalanya lalu membasahi baju putihnya yang digulung selengan.
Memang ada gerak -- gerik kemayu dalam dirinya namun itu tidak begitu kentara. Hanya pada saat tertentu ketika ia berada dalam depresi maka sisi cengengnya muncul. Biasalah kalau saat -- saat seperti itu curhatnya akan melebihi wanita yang lagi datang bulan.
Sifat seperti itu muncul pada anak yang sering dimanja. Ah... seandainya bisa ditukar, Aryo sangat ingin menjadi Andre. Tapi Aryo sadar Aryo tidak bisa menjadi polisi. Ibunya trauma karena ayah Aryo mati ditembak penjahat saat bertugas di Palembang. Aryo mengenal  Andre ketika  Andre pindah ke kompleks perumahan Aryo diwaktu Aryo sedang mengalami  masa kabung.
BAGIAN KEDUA : SEMAKIN SULIT
Aryo ingat waktu itu Andre berlari dikejar ayahnya dengan ikat pinggang. Andre memanjat pohon kelapa setinggi tingginya yang tidak turun sampai matahari terbenam. Sedang ayahnya menunggu dibawah pohon kepala sambil mengomel tiada habis. Andre begitu ketakutan Bodoh sekaligus lucu saat  mengencingi ayahnya sendiri. Andre baru turun ketika Ayahnya  berjanji tidak memukulnya dan melempar ikat pinggangnya ke semak - semak. Andre yang polos, Andre yang kelelahan itu turun bagai cicak yang merayap. Namun begitu Andre Turun, tetap dia kena tempeleng.
"kalau kamu jatuh bagaimana? Kalau kamu sakit siapa yang susah? Kalau  kamu mau mati biar saya tampar kamu sampai mati."
Ngeri juga mendengar suara Om Hardy yang menggelegar. Tidak ada seorangpun yang berani melerai karena beliau adalah orang memiliki pangkat tinggi dan juga warga baru. Belum diketahui tabiat, belum dikenal karakternya. Salah-salah orang lain bisa jadi korban pelampiasan. Â Aryo berdiri di antara kerumunan orang yang menonton dengan perasaan takut tapi juga kasihan.
Andre tidak menangis. Walau ditampar sebanyak 2 kali sampai terjerembap ke tanah. Begitu jatuh, ia berusaha bangkit lagi, walau kakinya gemetaran. Seluruh tubuhnya panas dingin. Bau pesing dicelananya sudah mengering. Ada memar di lengannya, bekas memeluk batang kelapa  erat - erat.
Dan ketika Om Hardy telah puas mendidik anaknya, tante Ajeng muncul dari balik bunga -- bunga. Di bentak oleh Suaminya
"Lihat anakmu ini! Atur dia." Ucap Om Hardy sambil lalu
Tante Ajeng datang tanpa suara dan hanya mengusap putranya sambil menepuk punggungnya. Dia memeluk  putranya dan menciumnya sangat lama. Lalu airmata wanita itu tumpah ruah. Isakan yang tertahan membuat bahunya berguncang naik turun.  Aryo menangis ketika melihat adegan itu.
Andre sendiri sudah hilang kesadaran. Tak merasakan tubuhnya telah digotong beberapa orang. Khusuk tanpa bersuara. Seolah -- olah pahlawan yang telah gugur. Jika ada suara karena sandal jepit mereka terlepas maka mereka hanya bisa berbisik -- bisik. Takut menimbulkan keributan dan membuat masalah baru.
Pertemuannya dengan Andre menjadi titik balik untuknya menjadi anak yang ceria dan selalu positif. Dia berjanji tidak akan menjadi pria yang sekejam itu.
Lamunan Aryo terhenti ketika Bayangan Om Hary muncul tiba -- tiba di parkiran
"Ndree,.. " Tegur Aryo pelan sambil memberi isyarat untuk bangun," bokap lo ada di sini,"
Andre segera bangun dan berdiri tegap. Aryo menyingkir agak jauh.
Om Hardy sedang berbicara dengan seseorang dengan pakaian seragam lengkap. Sepertinya lebih junior dari Om Hardy. Pembicaraannya memberi kesan bahwa Om Hardy telah memberikan mandat penting kepadanya.
"Akh...dimana dia? Ah itu dia. Andre!!"
"SIAP PAK!"
"Ini dia, mohon bimbingannya,ya, Pak Jono!"
"Ah... Tentu. Tentu, Pak Hardy. Jadi Ini Andre? Kamu masuk tahap berapa sekarang?"
"Siap, Pak. Baru Lolos Tahap Administrasi." Jawab Andre tegas dengan sikap sempurna
"bagus. Saya akan melihat perkembangan kamu,"
"Siap, Pak. Terimakasih Pak!"
"hahahaha... bagus, bagus. Ah.. Pak Hardy kita ngobrolnya di dalam saja. Mari pak!"
Sebelum beranjak Aryo melihat telapak tangan Om Hardy sempat menepuk bahu Andre.
"Nah lo... semakin sulit kan menjadi dokter?" guman Aryo pada dirinya sendiri.
Saat kedua pria dewasa itu menjauh tubuh Andre kembali melemas. Lutut-lututnya goyah. Air matanya menggenang.
"Ndree," seolah tahun pikiran sahabatnya, Aryo Cuma menggandeng dan membawanya ke motor.
"Ayo, Kita jalan -- jalan. Kita rayain keberhasilan hari ini. Okey ? jadi Kamu maunya kita kemana? Abang Ojol siap membantu,"
"kemana aja, yang penting jauh dari sini,"
Di perjalanan yang sepi nan kaku akhirnya Andre membuka suara
"Yo...,Apa gua berjalan ke arah yang seharusnya atau bagaimana?"
"entahlah sobat. Cukuplah otak itu berkelahi hari ini. Kamu harus mempersiapkan dirimu untuk tes selanjutnya,"
"hh... ya, begitulah. Semakin sulit untuk move on,"
Aryo membiarkan sahabatnya melamun asal tidak ketiduran saja dan jatuh ke belakang.
***
BAGIAN KETIGA : HASRAT
Seakan Tuhan berkehendak, Andre lagi -- lagi lolos tahap selanjutnya bahkan di tahap pemeriksaan kesehatan yang terakhir ini. Apakah karena orang dalam? Apakah ada permainan? Andre tidak mau mencari tahu. Yang jelas secara  sembunyi -- sembunyi Andre telah Memasukan berkas untuk seleksi mendapatkan beasiswa kedokteran bahkan sampai memalsukan tanda tangan ayahnya.
Kemudian mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi. Memang sejak pagi ia terbangun, tubuhnya keringat dingin. Ada sensasi senang tapi juga rasa bersalah yang tertimbun saling menindih dalam batinya. Begitu kuat ia melerai, matanya tak kunjung berpaling. Dia kini berada di dalam ruangan bersama dengan sekelompok pemuda yang hanya menggunakan celana dalam atau boxer. Batinnya bergulat. Darahnya berdesir. Pusing tujuh keliling. Tiba -- tiba saja tanpa diminta libidonya meningkat.
Mati aku!
Tekanan darah naik, dada berdegup kencang.
Sadar!! Sadar! Lo Laki -- laki.!
Seseorang bergeser mendekat. Wangi parfumnya lembut memberi pertanda tubuh mereka semakin merapat. Di sebelah kanan Andre
"tegang, ya? Sama aku juga tegang"
"Waduh.. aku grogi banget," sahut si celana dalam berwarna kuning disisi kiri Andre
Di depan mereka ada seorang petugas yang mengatur beberapa alat pengukur suhu tubuh, denyut nadi dan juga stopwatch. Ada disamping mereka buah ketimun dan sebotol air.Â
Andre berusaha menghalau pikiran -- pikiran erotis yang mulai muncul semakin kuat dengan bau tubuh maskulin para pria diruangan itu.
Andre!! Sadar! Sadar! Lo nggak boleh begitu! Â Lo tuh Cowok.
Tinggal satu nama sebelum dipanggil, Andre malah berlari secepatnya ke kamar mandi.
Ia ingin menangis disana dan menumpahkan segala perasaan hinanya di dalam bilik itu, namun ternyata disana juga ada banyak orang yang sedang membasuh muka berkali -- kali dan lalang buana dengan cuma menggunakan celana pendek ekstra ketat.
"MAMPUS GUA!"
Pikiran yang merusak mulai meninju logikanya. Â Karena kurang hati -- hati Andre terpeleset dan jatuh dengan kepala membentur di lantai.
Saat matanya terbuka dia sudah berada dirumah sakit.
BAGIAN KE EMPAT : CEREWET
"kenapa bisa ceroboh kayak gitu? Kaki atau lender siput sih?" komen Aryo begitu tahu Andre mulai siuman.
"aduh!"
"ya iyalah, sakit. Orang kepala lu ada 6 jahitan," comel Aryo sambil meringis,"kenapa sih lu nggak hati -- hati?"
Andre berusaha membuka mulutnya tapi dicegah oleh sahabatnya
"sudah, nggak usah di jawab. Yang penting kamu selamat. Jantung gue nyaris copot tahu waktu panitia menelpon gue. Kenapa bukan emak lo atau abah elu sih yang ditelpon? Gue kan jadi takut kalo lo sampe kenapa -- napa leher gue bakalan dipancung tahu!"
Andre menelan ludahnya dan berusaha tersenyum
"sumpah ya... wajah lu tuh sama kayak nggak ada dosanya. Ah... bte!"
"maaf!"
Aryo berdiri dengan gelisah
"sekarang gue yang bingung. Mau jelasin apa ke bokap lo? Bisa -- bisa nanti bokap lo mengobrak -- abrik petugas disana dan mengomeli petugas kebersihan,"
Andre cuma menghela napas dengan berat.
Semua memang salahnya. Coba seandainya dulu ia terlahir sebagai perempuan saja, ia tinggal menunggu dilamar saja atau setidak -- tidaknya menangis histeris sekuat -- kuatnya.
Daripada harus sok kuat seperti saat ini.
"hei! Kok bengong. Maaf, gue agak terbawa emosi tadi. Gue nggak bermaksud membentak lo. Lu lagi sakit tapi gue seperti mak lampir."
Andre tersenyum tipis,"makasih"
"apa?"
"untuk semuanya, makasih, ya Aryo."
"Ngeri ah gue mendengar kata -- kata lo. Kayak mau mati aja. Emang ini kata -- kata terakhir lo? Ah, payah banget sih! Episode berapa sih ini sinetron?"
"Yo...,"
"apa?! Gua nggak mau denger wasiat  lo deh. Ih, merinding bulu kuduk gue. Nggak ah, gue nggak mau terima bahasa beginian."
"Gua mau...,"kata -- kata Andre menggantung di udara
"Jangan becanda loh. Gue lari beneran nih,"
"Gua Mau pipis, Yo! Tolongin gua.. udah kebelet nih."
"Oh...kirain,"
BAGIAN LIMA : ISI HATI
Delapan hari Andre dirawat dirumah sakit. Pada hari ke sembulan, Saat Aryo muncul dirumah sakit, Kamar Andre sudah di isi oleh orang lain.
"permisi suster? Yang dikamar ini kemarin atas nama Andrea Bintang Pratama pindah kemana ya?"
"oh.. tadi malam sudah keluar. "
"kok bisa? Apa keluarganya yang mengeluarkannya?"
"wah, kurang tahu dek. Coba ditanyakan di resepsionis,"
Aryo memandang jam tangannya, pukul 09.00
"apa mungkin sudah pulang ke rumah, ya?"
TIba -- tiba Handphonenya berdering
Andre menelpon
"Excuse me, Tuan besar yang terhormat. Lu pergi nggak bilang -- bilang. Dimana lu sekarang?"
"Sorry, Yo. Gua udah pergi ke suatu tempat. Gua nggak bisa menipu hati gua. Gua hanya kepingin merenung sejenak sebelum mengambil keputusan. Sorry kalo gue pergi nggak bilang -- bilang,"
"oke. Jadi lu sekarang disuatu tempat, ya  lu-nya ada dimana, please kasih tahu gue, Andre. Di rumah? Di hotel? Di jalan? Dimana sih, Ndree? Lo lagi sakit, loh!" Ucap Aryo mengingatkan.
"Maaf. Gua nggak bisa kasih tahu elo saat ini, gua juga belum yakin akan kemana,"
"oke... kalo lu belum yakin mau kemana, kenapa lu kemana-mana? Lu kan lagi sakit? Halo? Halo?"
Andre menangis
"Yaelah...Kita udah kayak main tebak tebakan kayak gini? Ndree... Kasih tahu gue dimana lo sekarang biar gue susulin. Jangan buat gue panic deh. Ah parah lu!"
"gua... gua udah di bandara"
"APA!!?"
"Gua mau mengejar cita -- cita gua. Gua nggak bisa ditekan terus kayak gini. Gua nggak mau kayak gini. Gua juga bingung kenapa gua harus seperti ini."
"maksud lo apaan sih? Kayak gini gimana? Kayak gini yang bagaimana? Ya ampun... lu lagi kumat ya? Jangan -- jangan lu jatuh terus lu gegar otak kayak gitu? Atau ada roh lain yang masuk di tubuh lo?"
"Aryo... plis dengerin gua, gua ingin lo tahu satu hal. Mungkin gua akan berubah. Tapi gua minta lo tetep jadi Aryo yang gua kenal!"
"Ini anak ngomong apaan sih? Andre.. andre... Lu mau berubah jadi apa? Emang lo Spidermen? Ah lu mah becandanya kelewatan."
"Nak Aryo? Dimana Andre? Kok Ruangannya sudah ditempati orang lain?"
"om Hardy?!" Wajah Aryo pucat pasi. Dia menatap Handphonenya dengan ragu -- ragu
"apa itu Andre?" Matanya yang tajam Nampak mengintimidasi Aryo. Aryo jadi salah tingkah.
"eh, i..itu em..."
"bisa om bicara sebentar dengan dia?"
"Aryo... Gua udah mau Take off, nih. Lu jaga diri baek-baek, ya!"
"Se-sebentar, Ndre. Ada yang mau bicara dengan lu"
"HALO? ANDRE!! DIMANA KAMU SEKARANG?"
Cukup lama sampai terdengar suara Andre menyahut dengan suara gemetar
"Halo Pah... "
"KAMU DIMANA?PULANG SEKARANG!"
"Maaf, Andre nggak bisa..."
"KAMU DIMANA?BIAR SAYA YANG MENJEMPUT KAMU!"
"Pah...hari ini Andre nggak bisa  turutin apa yang papa mau. Andre nggak bisa menjadi seperti  yang  Papa harapkan. Andre udah berusaha, tapi.... Andre tidak bisa, Pah. "
"KAMU ITU MAUNYA APA SIH?!"
 "Maaf pah.. Andre hanya ingin menjadi dokter."
"TAPI PAPA TIDAK MAU KAMU JADI DOKTER KECANTIKAN! KAMU ITU LAKI -- LAKI! PUTRA SAYA. KAMU TIDAK BOLEH EGOIS BEGITU."
"maafkan aku, Pah. "
"DIMANAPUN KAMU BERADA SAYA AKAN SAMPAI! KAMU LIHAT SAJA, ANAK KURANG AJAR. TIDAK TAHU DIUNTUNG! SUSAH PAYAH AKU MEMBESARKAN KAMU TERNYATA KAMU SEPERTI INI?"
"Apa papa bisa menjadi papa yang lembut sedikit saja buat aku? Tanpa harus membentak, tanpa harus melapis aku dengan ikat pinggang ? Aku tersiksa Pah... aku tidak sanggup. "
"CENGENG! LAKI-LAKI KOK CENGENG!"
"Pah.. apa aku ini hanyalah Patung? Apa aku  bahkan tak boleh menangis karena aku ini pria? Pah... Aku Capek... LELAH aku berusaha mencapai harga yang papa taruh.  AKU JUGA MANUSIA. Aku ini seorang anak. aku masih anak -- anak. tapi aku merasa seperti orang dewasa yang harus menjadi sempurna seperti maumu."
Isak tangis Andre tidak tertahan lagi.
"Kenapa harus aku yang menanggung semua obsesimu, pah. Apa karna Kak Arman gagal? Karena kakinya patah? Kalau begitu apakah aku juga harus menggantinya?"
"Aku tidak bisa lagi berada di pohon kelapa yang papa tunggui. Aku cuma butuh teguran yang lembut, cukup dengan pelukan yang hangat, dengan mengajak jalan -- jalan. Itu sudah cukup."
" Aku mungkin... tidak pernah bisa...hiks...hiks... menjadi seperti yang papa minta. Maaf pah. Semoga papa sehat selalu."
TUT!
Aryo berdiri dalam kebekuan. Om Hardy bahkan tidak sempat mengucapkan kata yang tercekat di kerongkongannya. Dadanya terasa begitu sakit. Kedua kalinya ia merasa gagal menjadi pemimpin, gagal dalam mendidik anaknya, gagal menjadi seorang ayah.
Om Hardy menyodorkan Handphone Aryo lantas menepuk bahu Aryo dengan berat. Langkahnya terasa begitu lelah. Tubuhnya tak lagi tegak. Ia berjalan begitu saja tanpa menyadari isterinya telah berada di lorong bangsal.
Tante Ajeng muncul dengan sekotak bekal di depan pintu. Keheranan karena suaminya sama sekali tidak mengangkat wajah untuk menyambutnya.
"Apa Andre sudah pergi?" bisiknya pada Aryo
Aryo memasang ekspresi yang aneh. Antara bingung, terkejut dan pasrah.
"Ya, tante"
"berarti tante datang terlambat,"
Tante ajeng duduk di bangku kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Baju kebayanya yang berwarna hijau terang kini terasa pucat oleh suasana hatinya. Perlahan kepalanya menunduk lalu bahunya bergetar.
Aryo mendekat dan memeluk pundak Tante Ajeng.
"Andre, dirimu benar -- benar sesuatu banget!" katanya benar -- benar dongkol.
***
BAGIAN ENAM : PERGI
Aku tidak ingin terjebak dalam romansa pilu seperti ini. Ilusi yang merantai benak.
Berhadapan dengan para pria dengan busana yang begitu minim telah menimbulkan hasrat yang nyaris tak terkendali. Ada apa denganku?
Saat logika bermain dengan rasa, tabrakan keras membuat jantung ini seolah ingin melompat keluar.
Ada sesuatu disana yang menangsi dengan perih. Bersembunyi di dalam lorong- lorong hati. Beringkuk karena selalu merasa disakiti. Noda dalam harga diri. Kisah yang tersimpan rapih. Sampai kapan ayah? Sampai kapan kau akan terus memandangku sebagai orang yang seharusnya? Aku Cuma anak kecil.
Tuhan... Apakah jalan ini akan menuju neraka? Entahlah.
Aku melepaskan benakku keluar jendela. Awan putih sesekali mengguncang badan pesawat. Walau kepalaku sedikit nyeri tapi aku merasa lebih lega.
Aku... tidak lagi sama. Aku tidak ingin menjadi sama.
Aku berbeda. Ya! Aku berbeda di dalam diriku
Mana yang harus ku tenangkan lebih dulu?
Perbedaan ini atau seorang putra kecil di dalam benakku.
Â
BAGIAN KETUJUH : GISEL DAN AYAHNYA
Andre mendapat beasiswa tahun ke 7 di Moskow lalu kabar tentang kematian ibunda tiba. Saat itu ia berada pada tingkat akhir untuk menjadi dokter kecantikan dan juga dokter kelamin. Suatu anugrah yang tak disangka dapat dijalaninya dengan susah payah berjuang. Â Walaupun ia merasa sangat kehilangan mengingat selama di Moskow, Andre selalu berkomunikasi dengan ibunya. Â Seolah dunianya terbelah dua.
"kejarlah mimpimu dan buatlah dirimu bahagia," itulah pesan terakhir ibunda
Di Moskow, Andre sudah berbeda. Gaya bicaranya, cara jalannya bahkan bentuk tubuhnya. Andre melakukan serangkaian terapi hormone di tahun ke -- 3 nya. Impiannya Cuma satu. Menjadi wanita sejati. Walaupun kelas dua.
Sebab wanita tidak perlu dituntut terlalu sempurna selayaknya laki -- laki. Mereka yang cantik menjadi kesayangan semua orang. Â Apakah persepsi ini salah? Apakah jalan yang ditempuhnya salah?
Entahlah...yang jelas Andre cukup bahagia dengan dirinya yang sekarang.
Di Semarang, 30 September 2018, Andre menenteng tasnya dan melangkah dengan anggun meneliti pasar buah. Sesekali bercanda ria dengan para penjual dan bercakap -- cakap dengan pria asing di jalan. Dia begitu menarik. Sampai seorang pria bertubuh tirus, dengan kulit kecoklatan muncul dihadapannya. Tubuhnya cukup tinggi. Disisinya ada seorang gadis kecil berusia sekitar 5 tahun memakan es krim
"hai cewek, boleh kenalan?"
Andre menoleh," Oh halo, oh,.. siapa ya? " jawabnya tak begitu peduli
"boleh kenalan, nggak? Gue duda beranak satu. Ini anak gue, istri gue udah meninggal."Kata sang Pria dengan mantap tanpa ragu dan bahkan memberitahukan statusnya.
"oh..kasihan. saya Andrea. Saya seorang trans," Andrepun blak -- blakan memperkenalkan diri
Pria duda beranak satu itu terkejut kemudian mengerutkan kening tanda menyimak dan menimbang
gadis kecil disebelahnya menangis karena es krimnya mencair dan terjatuh dari stik.
"oh halo... kenapa? Aduh es krimnya jatuh ya? Aduhh... sudah kita beli lagi yang baru, yuk sama tante,"
Walau berat, Duda beranak satu itu mengikuti Andrea.
"Hei Wan! Cieee, sama gebetan baru ya? Kenalin kek sama kita -- kita"
Para tukang ojek menggoda Duda beranak satu dan gadis tinggi semampai dengan rambut ikal berwarna coklat.
Wawan, begitulah nama duda itu terdiam dan senyum cemas tersembul di bibirnya. Ingin melarikan diri tapi puterinya malah disandera oleh si gadis setengah pria itu. Ini waria apa wanita sih sebenarnya. Segalanya Nampak seperti wanita, tapi disaat yang bersamaan dia terlihat seperti pria.
Hal itu membuatnya sangat bingung.
"nah..ini es krimnya. Jangan nangis lagi ya..." hibur andrea sambill mengelus rambutnya.
"oh ia,.. tante mau jalan -- jalan ke toko di depan situ. Cantik dan manis mau ikut?"
Si gadis kecil berpaling kepada ayahnya
"Boleh, nggak mas?" tiba -- tiba suara waria eh wanita itu melembut masuk ke telinga Wawan
Sangat enggan Wawan menyahut. Tapi melihat putrinya yang nampak berbinar -- binar akhirnya dia pasrah juga
"bo, boleh"sahutnya pelan sambil menunduk.
"Asyik!!" Putrinya meloncat kegirangan
"Tante namanya siapa?"
"kalau kamu namanya siapa, sayang?"
"aku Gisel, Gisela Nandayani. Yani adalah nama ibuku. Ibuku sudah ke surga. Gisel sedih tapi hari ini senang karena ada tante yang cantik,"
"aduuh, lucunya. Kamu pintar banget deh. Mas.. dikasih makan apa sih anaknya? Pintar kayak gini?
Wawan gelagapan. Untung Gisel yang menyahut
"Wortel, pisang, stroberi, kentang"
"oh...pantesan. Papa kamu hebat ya?"
"ia tante. Papaku papa terbaik di seluruh dunia. Dia yang nemanin aku makan, nemanin aku tidur, nemanin jalan -- jalan. Mamaku dulu sibuk terus. Tapi aku sayang mama selalu. Mama aku ada dihati aku. Kalau aku kangen mama, aku akan makan es krim. Mamaku suka membelikanku es krim"
"aduuh, cerewetnya. Boleh dibawa pulang nggak mas? Biar ditaruh dirumah. Anak pintar kayak gini. Kamu beruntung loh...punya putri sepandai ini. Aduh... seandainya dunia bisa diputar kembali, mau deh jadi mamanya Gisel," canda Andrea sambil cipika -- cipika dengan Gisel.
Pipi Wawan seolah terbakar
"Nah, Gisel tunggu sebentar, Tante mau ngasih sesuatu buat gisel. Tadaaa, jepit rambut Micky Mouse yang lucu. Sebentar ya tante pasang dulu. Nah cantik kan?"
"terimakasih tante. O ia tadi tante namanya siapa?"
"tante dulunya namanya Andre. Sekarang namanya Andrea, sayang,"
"wah cantik ya nama tante?" jawab Gisel Polos. Sementara itu Wawan semakin tidak nyaman. Nyesal deh ketemu ini makhluk.
"aduuh...kamu ini bikin tante tambah gemas deh. Tapi sayang,... tante harus pergi. Kalo Tuhan ngijinin kita bakalan ketemu lagi." Andra memasang muka sedih sambil menerima telpon.
"Ia Halo...sudah. Di depan jalanan nih. Dekat pasar buah."
Sebuah motor berhenti di depan mereka
"udah selesai, cin?"ucap sang pengemudi dengan helm tertutup rapat
"udah, say...." Balas Andrea lantas mulai merapihkan tas-nya dan meraih helm yang disodorkan oleh si pengemudi
"tante, ini pacar tante ya?"
"hus! Tidak sopan, nak. " tegur Wawan
Sang pengemudi membuka helm-nya
"Siapa, cin?"
"ini anaknya calon suami aku. Besok lusa kalo kita ketemu lagi. Namanya Wawan, dan putrinya yang cantik ini... Gisela Nandayani. Bener kan?"
Gisela tersenyum lebar.
"oh....Halo saya Aryo,"
Pria yang membuka helm tadi mengulurkan tangannya.
"Mas Aryo yang dari Timnas Persija, ya?"
Aryo nyengir,"Sstt, nanti banyak yang minta tanda tangan lagi," katanya sambil memberi isyarat.
"oh... halo, Mas Aryo. Aku Wawan. Kita pernah ketemu pas reunion Club 3 atau 4 Tahun lalu. Mas tenar sekali waktu itu. Satu sekolah langsung heboh"
"Hahahaha. Bisa saja, Eh, tapi kita udah mau buru -- buru nih. Ayo cin, naik"
"Can-cin-can-cin-cun, lu kata gue Kucing, apa?"
"sori -- sori"
"Oke Deh Mas Wawan, dan Gisel, maaf ya kita berpisah. Huhuhuh, sedih deh harus ninggalin kalian berdua. Kalian berdua sudah merebut hati akuh... akuh bakalan mimpi indah malam ini. "
"nggak usah halu, deh. Berlebihan banget sih," Komen Aryo sambil cekikan"
"Permisi Mas...."
"Dadah Tante...."
"Da sayaaang..... UM-ah. Dada suami masa depan akuuuhhh,"
Jantung Wawan serasa ingin copot. Sadar Wan! Sadar!
"Hus! Bercandanya jangan kelewatan begitu, nanti salah sangka lho. Lihat wajahnya mas Wawan udah kayak kepiting rebus. Itu laki orang. Jangan macam -- macam."
"Cerewet banget sih, Yo! Bilang aja lo cemburu kan? Iya kan say..."
"IH... Ogah. Gua mah Jijay, tahu. Hahahaha..."
"tenang aja..tenang. gua masih waras kok,"
"memangnya bener?"
"emang iya. Gue masih waras. Nggak mungkin deh temen makan temen,"
"Dasar Jorok! Ini kayaknya pengaruh kejedot di lantai Kamar mandi kemaren."
"Hahahaha. Masih ingat?"
"itu acara telenovela paling menyebalkan sepanjang sejarah hidup gue. Lu tahu kan?"
"sori deh sori."
BAGIAN DELAPAN : BERSANDARLAH SEJENAK
Aryo dan Andrea jalan -- jalan tak tentu rimba. Memutar -- mutar ke taman -- taman nostalgia bahkan ke tempat -- tempat favorit mereka saat nongkrong dulu
"sudah banyak yang berubah ya...nggak kerasa"
"Lo sendiri banyak yang berubah. Cara bicaranya, cara duduknya, cara dandanya. Udah kayak cewek aja!"
"emang gua perempuan...Nggak sadar?"
Aryo baru saja mau menyahut, Andrea langsung menimpal
"Perempuan jadi -- jadian. Hahahaha,"
Aryopun ngakak sekeras -- kerasnya.
"Tapi jujur lu udah banyak berubah, Ndree,.. Gue lebih suka elo yang dulu. Lu nggak ada niat untuk balik ke dunia nyata? Nggak capek terus hidup palsu kayak gini?"
"hh...gua Nggak Tahu deh...kayaknya ini emang jalan hidup gua dari yang diatas sana"
"Ya udah.. itu privasi elo. Gua nggak mau mengganggu kebahagiaan lo. Semoga lu bener - bener bahagia!"
"Ho-oh. Gua bahagiaaa banget. Gua bisa tertawa sesuka hati dan menjadi cantik setiap hari....hahahaha"
Aryo terdiam
Semenit cukup lama telah berlalu
"Kok lu diam sih? Lu marah ya?"
Aryo berhenti dilampu merah lalu berbelok ke suatu tempat
"Apa lu Nyesel gua jadi kayak gini? Gua nggak tahu juga harus menjelaskan ke elo dari mana bagaimana dan sampai mana. Gua sendiri juga nggak berharap akan seperti ini. Tapi gua baru bisa tenang saat gua jadi diri gua sendiri seperti saat ini. Maafin Gua ya, Yo! Gua rasanya kayak anak yang tak tahu berbalas budi, sahabat yang egois,...dan mungkin gua juga ciptaan TUhan yang paling nggak bersyukur. Ih...kok gua jadi curhat sih?"
Aryo tidak menyahut dia menepikan motornya ditempat yang agak sepi
"kok berhenti?"
Aryo Turun lalu mengajak Andrea ikut turun dan duduk di sebuah bangku di bawah pohon rindang. Tempat itu agak tersembunyi di tengah gedung -- gedung tua.
Sejurus kemudian Aryo tertunduk lama, mendesah lalu menatap makhluk yang ada sampingnya  dalam -- dalam
"Yo! Aryo...Lu kenapa sih?"
Aryo tersenyum lalu membelai rambut Andre. Dimatanya Andre bukanlah wanita yang tidak jelas. Bukanlah pria yang aneh. Yang dia Lihat adalah Andre. Andre yang dikenalnya saat pertama kali memegang batang pohon kelapa. Andre yang rapuh dan ketakutan. Andre yang sedih tanpa dukungan. Bahkan sampai hari ini Aryo masih melihat sisi itu di mata Andre.
"Aryo... You make me Scared, You know. Please, tell me something. Ngapain kita disini, udah mau gelap lagi."
"Ndree" Nada Aryo terdengar berat tapi lembut,"gue Cuma mau bilang satu hal ke elo,"
Dada Andre berdegup kencang. Pikirannya kosong. Ada apa ini?
"Kalao lu butuh... Bahu gue bersedia buat elo bersandar sekedar melepas lelah. Lu boleh menangis sekeras-kerasnya disisi gue. Gue nggak bisa beri lu banyak hal. Hanya ini yang bisa gue berikan ke elo."
Bibir Andre gemetar sejenak. Kilasan masa lalu tiba -- tiba menerjang di pelupuk matanya. Kabar tentang kematian ibundanya, lalu tentang masa lalu perihnya yang menyiksanya bertahun -- tahun seolah -- olah tanpa henti menyerbu tubuhnya.
"Bersandarlah sejenak dibahuku," Bisik Aryo Lembut. Matanya sendiri sudah berkaca -- kaca.
Andre terdiam. Tak menyangka ada timming seperti ini. Tidak merencanakan ditempat ini ia akan ditodong untuk jujur kepada hati sendiri.
"Gue sayang elo, Ndre... Gue nggak peduli lu gimana -- gimana. Gua Cuma bisa meminjamkannya sejenak. Mungkin lu lebih membutuhkan saat ini.
Andrea bagai terhipnotis, perlahan kepalanya merebah ke bahu Aryo. Tak terasa ia mulai menangis. Menangis sepuas -- puasnya sampai kegelapan bermain di tengah temaram lampu jalan.
****
BAB DELAPAN : SEBUAH KATA MAAF
Saat itu Pukul 1 siang saat Andre tiba di ruangan ICU. Ayahnya sudah tidak ada harapan. Matanya terus menutup. Bibirnya kaku, dan hanya ada selang oksigen membantu pernapasanya. Menahan laju kematiannya.
"Yo, papa sudah lama disini?"
Pada saat Andrea menangis dibahu Aryo itulah baru Andrea tahu kalau ayahnya masih hidup. Tempat tinggal mereka sudah tidak lagi di daerah yang dulu karena ayah Andrea dipindah tugaskan ke Batalion yang lain di pusat kota jadi Andrea sama sekali tidak memiliki informasi apapun tentang keluarganya. Dahulu yang biasa bercerita tentang semuanya itu adalah almarhum ibunya. Tapi itu sudah bertahun berlalu.
Andrea memandang wajah ayahnya dengan perasaan biasa.
"dua puluh delapan hari,"
"siapa yang mengurusnya?"
"Arman dan isterinya dan anaknya"
"Kenapa kamu nggak pernah cerita?"
"gue takut...jika kamu belum siap, kamu jadinya bisa bertindak macam -- macam, nanti" nada bicara dan cara bicara Aryo terdengar dewasa. Aneh tapi menenangkan
Andre duduk di bangku sambil mengelus tangan ayahnya ketika tangis dari ruangan sebelah membahana.
Sementara itu
Gisel duduk sendirian di luar pintu UGD. Seberapa keraspun para petugas berusaha menghiburnya dia tetap menangis tak karuan.
Gadis kecil itu merasa sangat sedih. Putus asa karena ayahnya tidak kunjung keluar dari ruangan operasi.
"Tuhan....Tolong papa Gisel. Gisel takut, Tuhan...Tuhan... Gisel takut. Papaaaaa, Papaaaa, huhuhuhu,"
Hati kecil Andrea tergerak
"Gua keluar sebentar dulu, ya!"
Aryo mengangguk pelan
Di dekat taman, orang -- orang tampak berkerumun.
Ada apa?
Andre mendekat dan mendengar seorang anak menangis histeris.
Andre melihat jepit rambut micky mouse lalu tersentak
"Gisel? Sayang... kenapa ada disini?"
Gisel menyapu airmatanya dan memandang dengan wajah putus harapan
"Tanteeeee..... Papah tante... Papah"
Seru Gisel sambil berlari dan memeluk Andrea
"Ia sayang.. papah kenapa?"
"Papah kecelakaan, tante. Ada diruangan itu tapi belum keluar-keluar. Gisel Takut Tante.. !"
"aduuhh.. ia nanti tante temenin sampe papah keluar ya... gisel sudah makan?"
Gisel menggeleng,"Papah juga belum makan, tante"
Dengan iba Andre memandangi Gisel yang begitu meratapi ayahnya. Tapi mengapa? Mengapa perasaan itu tidak ada untuk ayahnya yang bahkan sedang sekarat itu? Andre merasa sangat terpukul. Tak terasa airmatanya mengalir di pelupuk mata.
"Tenang aja nak... Papahmu pasti sembuh. Dia harus sembuh. Untuk Gisel." Andre Berusaha menenangkan si kecil yang sedang mengalami musibah itu. Musibah memang bisa menghampiri siapa saja.Â
"Andreeee," Terdengar suatu suara memanggilnya
Aryo berlarian mencari Andre kemudian menemukannya dan berkata terbata - bata
"Ndree...A-yah lo-hah...hah...Bokap Lo..." Campur aduk gaya bahasa Aryo membuat Andre bangun dengan panik
"Bokap gua kenapa?"
"Ayo!!" Aryo menarik Tangan Andre, Andre menarik tangan Gisel.Â
Mereka bertiga berlari di emperan bangsal sampai ke dalam ruangan.
"mohon maaf, anak kecil dilarang masuk," seru perawat menghentikan langkah Andre, Aryo dan Gisel
"Lo masuk aja, gih. Gue sama Gisel disini."
Andre pun mengangguk lalu masuh dengan hati cemas
"Kamu siapa?" Tanya Om Hardy saat melihat Andre
"Saya... saya...."Bibir Andre gemetar.
Di luar Aryo melihat Arman dan menahan langkah Arman
"Plis jangan masuk dulu. Dokter sedang memeriksa,"
Sengaja menghalangi Arman karena Aryo Tahu Arman kerap kali menyalahkan Adiknya Andre untuk semua situasi buruk yang menimpa keluarganya. Kelihatannya Arman akan sulit memaafkan Andrea. Apalagi jika tahu kondisi Andre saat ini yang telah menjadi Andrea.
"saya Andre, Pah"
Napas Pria tua itu Nampak seperti mesin rusak. Bereaksi dengan kalimat Andre
"Ndreeee.... Papah...minta maaf,"
Susah payah kalimat itu keluar di iringi air mata yang jatuh membasahi sarung bantal
Andre tidak menyahut, namun meraih jemari itu lalu meletakkan di dadanya.
"Papah sayang kamu. Papa sayang kamu Ndree. Kamu anak yang baik. Papa yang selama ini jahat"
Hati Andre terasa begitu sakit. Ada sebilah pisau dan duri yang menikamnya begitu keras. Sungguh berat menghalau sakit itu, tapi Andre menguatkan dirinya, sebentuk doa dihanturkan bagi memohon kekuatan dari Tuhan.
"Pah... Andre.... Sayang.... papah....Maaf Andre Mengecewakan Papah" Hanya itu yang keluar dengan terseret-seret. Ada sensasi perih ditenggorokaannya, seperti satu samudra masuk ke dalam tubuh Andre dan Andre diliputi penyesalan yang begitu mendalam.
"Papa tahu... Papa tahu..."Jemari Om Hardy yang keriput menyentuh dan mengelus rambut putranya.
"Mama... sering cerita tentang kamu disana."ucap Om Hardy sambil mengenang isterinya,"mama dan Papa kangen kamu, Ndree...hu..hu...hu.."
Kesedihan,.. penyesalan... Bahu membahu membuat tubuh Andre gemetar. Seluruh indranya memanas, Hidungnya sesak, dadanya apalagi. Lalu...
Air mata ketulusan jatuh. Hancur namun sekaligus lega, seperti bius untuk luka yang sekian lama telah menganga, mengangkat perih dan derita y kemudian membalutnya dengan begitu lembut.Â
Hari itu Hati Andre diliputi kehangatan sekaligus penyesalan. Terlambat ia menyadari ketulusan hati seorang ayah yang berusaha keras membentuk alur hidup yang baik bagi putranya.
Andre menggenggam tangan Ayahnya dengan begitu erat. Lalu Putra kecil di sudut batinnya terbebas keluar, meraih jemari sang tua renta itu dan menari bersama -- sama. Mereka perlahan terbang semakin tinggi, semakin tinggi dengan senyum dan tawa bahagia
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H