3. Mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan publik secara proporsional.
4. Memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan.
5. Adanya sarana bagi publik untuk menilai kinerja pemerintah.
Sayangnya, meski telah dibekali banyak peraturan dan pedoman, namun ketidakpastian akan kualitas pelayanan publik masih juga melekat dalam praktik pelayanan publik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat peraturan perundang-undangan dan pedoman di tingkat kementerian masih terlalu abstrak untuk diterapkan di tingkat pelaksana. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar pelayanan. Padahal, Max Weber (dalam Dwiyanto, 2010) sejak hampir satu abad yang lalu telah mengingatkan pentingnya kepastian pelayanan yang tertulis dalam standard operating procedures. Dengan standar ini, maka dapat membuat proses pelayanan menjadi predictable, non-diskriminatif, dan non-partisan.
Apakah birokrasi pelayanan publik sedemikian primitifnya sehingga belum memiliki standar pelayanan yang jelas? Sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi, terutama sejak terbitnya PP No. 25 tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal, banyak Departemen dan Lembaga Non-departemen yang membuat pedoman standar pelayanan minimal (SPM). (Dwiyanto, 2010) Sayangnya, meski banyak standar pelayanan minimal telah dibuat, tetapi manfaat terhadap perbaikan praktik pelayanan dan, apalagi, kesejahteraan masyarakat makin tidak jelas, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.
Beberapa penyebab substantif mengapa pemberlakuan begitu banyak SPM tidak mampu mendorong perubahan praktik pelayana publik. Pertama, SPM gagal menjadikan dirinya sebagai alat dan senjata bagi warga negara untuk memahami hak-hak mereka yang secara minimal harus dipenuhi oleh negara agar mereka dapat hidup secara layak dan bermartabat. Yang terjadi adalah, SPM dipergunakan negara, terutama aparat birokrasi, sebagai basis pencapaian target kinerja pemerintah, bukan target pemenuhan hak minimal warga.
Kedua, tidak adanya hubungan antara SPM dengan biaya dan anggaran pelayanan. Mekanisme pembuatan SPM yang terpisah dari proses dan kebijakan anggaran membuat lembaga penyelenggara layanan mengalami kesulitan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah dibuat pemerintah. (Dwiyanto, 2010) Sejauh ini pemerintah pusat tidak pernah tertarik menentukan biaya pelayanan. Pemerintah pusat hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, informasi mengenai standar biaya pelayanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas.
Ketiga, SPM tidak mengatur dengan jelas pembagian peran antara Negara, warga negara, dan pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan layanan dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksaan peran dari masing-masing pihak dalam penyelenggaraan layanan publik. (Dwiyanto, 2010)
Selain ketiga penyebab gagalnya SPM berlaku di Indonesia, ada penyebab lain yang juga tidak kalah penting yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Penyebab tersebut adalah kompleks dan panjangnya prosedur pelayanan yang ada di Indonesia. Hal ini muncul karena semangat pembuatan prosedur bukan untuk memermudah, menyederhanakan, dan mencipatkan kepastian pelayanan, melainkan dari pola pikir warisan kolonial untuk mengontrol perilaku warga agar tidak melakukan moral hazards. Karenanya, prosedur lebih sering dibuat untuk mengendalikan perilaku warga daripada untuk memfasilitasi praktik penyelenggaraan layanan agar dapat dikelola dengan mudah, efisien, dan predictable. (Dwiyanto, dkk. 2006)
Pengembangan sistem pelayanan publik di Indonesia menuju ke sistem yang lebih baik hanya akan dapat dilakukan apabila sistem pelayanan tidak hanya mengatur tentang standar pelayanan, tetapi juga mengatur secara menyeluruh proses penyelenggaraan pelayanan, termasuk tentang standar biaya, mekanisme alokasi anggaran, dan pembagian peran para pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pelayanan publik. (Dwiyanto, 2010)
2.1.1. Harga Pelayanan