4.2. Saran
Berdasarkan temuan-temuan di atas dan penelaahan literatur dan perundang-undangan mengenai KUA, kepenghuluan, dan pelayanan publik, maka beberapa saran sebagai bahan pertimbangan dapat dikemukakan di sini:
1. Biaya pencatatan administrasi perkawinan sebaiknya dipertimbangkan untuk dihapuskan, sama seperti yang telah dilakukan pada biaya administrasi pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) yang telah dihapus. Sebab, pencatatan perkawinan menjadi salah satu bagian dari administrasi pencatatan sipil dan kependudukan yang menjadi kewajiban negara untuk menyediakan atau mengurusnya.
2. Jika harus menaikkan biaya administrasi pencatatan perkawinan, maka mengacu pada peraturan-peraturan yang ada mengenai kepenghuluan, pengelolaan biaya nikah/rujuk, tupoksi dan kebutuhan KUA, dan jumlah peristiwa nikah di Propinsi DKI Jakarta yang mencapai rerata 58.000 peristiwa nikah per tahun atau 4833 per bulan, maka jumlah besaran biaya ideal pencatatan perkawinan di DKI Jakarta saat ini adalah sebesar Rp.150.000,- seperti dijelaskan di atas.
3. Mekanisme dan prosedur pencairan anggaran yang umumnya dilakukan KUA sangat berbelit-belit dan memakan waktu lama. Jika cair pun, anggaran yang turun tidak berbentuk tunai, melainkan dalam bentuk materi atau benda-benda ATK. Sehingga sulit bagi KUA mengalokasikan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi tupoksinya apalagi tugas-tugas yang di luar tupoksi. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan pada peraturan yang ada mengenai pengelolaan biaya nikah/rujuk, agar lebih memudahkan KUA dalam mencairkan dan mengelola anggarannya.
4. Banyaknya masyarakat yang mengeluhkan pembengkakan biaya pencatatan administrasi perkawinan sebenarnya karena budaya yang berkembang lama di masyarakat, yang lebih memilih melaksanakan ijab qabul pernikahan di rumah dan pada hari libur kerja, dengan pertimbangan bahwa upacara yang sakral dan dilaksanakan sekali seumur hidup ini bisa mengumpulkan saudara-saudara. Untuk itu perlu dicari formula proses pencatatan administrasi perkawinan yang mampu mengapresiasi keinginan masyarakat dan kewajiban penghulu, agar tidak membebani kedua pihak. Formula tersebut bisa berupa mengubah jam kerja penghulu menjadi seperti jam kerja pegawai medis, pemadam kebakaran, dan sebagainya yang tidak terikat pada hari kerja biasa.
[1] Eksternalitas adalah nilai (dapat berupa manfaat atau ongkos) yang diterima masyarakat dari suatu barang atau jasa dalam pelayanan yang tidak diperhitungkan dalam harga atau biaya produksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H