Mohon tunggu...
Ismail Zubir
Ismail Zubir Mohon Tunggu... -

Peneliti Balitbang Kementerian Agama RI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biaya Riil dan Ideal Nikah di Kantor Urusan Agama (kua) Propinsi Dki Jakarta

1 Februari 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:00 10534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelayanan secara bahasa (KBBI, 2008) adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Secara istilah, seperti dijelaskan P. Kotler (dalam Cahyono, 2008), pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun. Produk yang dihasilkan bisa terikat dalam bentuk fisik pun bisa bukan berupa fisik.

Definisi lain menjelaskan bahwa pelayanan adalah proses penggunaan akal pikiran, panca indera, dan anggota badan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang maupun jasa. (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008)

Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang sifat dasarnya tak teraba (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun atau sesuatu. Pelayanan bisa berupa pelayanan fisik dan pelayanan administratif. Pelayanan fisik lebih bersifat pribadi sebagai manusia sementara pelayanan administratif adalah kegiatan yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (besar maupun kecil). (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008)

Mengacu pada sejarah administrasi publik, pelayanan publik secara sederhana diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik (whatever government does is public service). Definisi yang terbatas ini wajar, sebab pada saat itu pemerintahan suatu negara hanya menyelenggarakan pelayanan yang menjadi barang publik atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan moral dinilai penting bagi kehidupan warga negara. (Dwiyanto, 2010)

Namun, seiring dengan perubahan peran negara atau pemerintah dan lembaga non-pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan yang menjadi hajat hidup orang banyak, maka definisi di atas ditinjau ulang. Gerakan New Public Management (NPM) yang kemudian di banyak negara maju menjadi salah satu jawaban atas kelemahan pelayanan publik yang selama ini terjadi. Keinginan mentransformasi nilai-nilai yang ada di dunia usaha ke dalam sistem pelayanan publik sektor pemerintah, mendorong makin cepatnya perubahan sistem pelayanan tersebut.

UU No. 25 tahun 2009 Pasal 1 menjelaskan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sayangnya, menurut Dwiyanto (2010), definisi ini mengalami kegagalan karena masih terjebak pada dikotomi siapa yang menjadi sumber pembiayaan dan penyelenggara pelayanan; pemerintah atau swasta. Definisi ini belum bergerak lebih luas dengan melihat pelayanan berdasarkan sifat barang dan jasa.

Karena sempitnya definisi yang diberikan pada Undang-undang No. 25 tahun 2009 di atas, yang masih berkutat pada dikotomi penyelenggara pelayanan, maka saat ini kita dapat menyaksikan banyaknya perusahaan milik negara (BUMN), bahkan juga lembaga-lembaga pelayanan publik yang harusnya menjadi tanggung jawab negara seperti sekolah/universitas dan rumah sakit, yang dijual ke pihak swasta atau diubah menjadi badan hukum. Sebab, dengan menggunakan Pasal 1 Undang-undang No. 25 tahun 2009 di atas, negara dapat berlindung bahwa yang memberikan pelayanan bukan saja negara, melainkan juga bisa pihak swasta. Pasal 2 undang-undang tersebut lebih gamblang lagi menjelaskan hal ini, bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Saat ini, mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya melihat lembaga penyelenggaranya, pemerintah dan/atau swasta. Pelayanan publik dapat didefinisikan dengan melihat dua kriteria; (1) sifat dari barang atau jasa itu sendiri, dan (2) tujuan dari penyediaan barang dan jasa. (Dwiyanto, 2010) Kriteria pertama dalam mendifinisikan pelayanan publik dengan melihat sifat barang atau jasa mengacu pada apakah barang atau jasa yang sifatnya yang publik atau privat. Barang atau jasa yang sifatnya publik atau memiliki eksternalitas[1] tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang mengonsumsi barang tersebut. Sementara barang atau jasa tersebut sangat vital bagi kehidupan warga dan masyarakat luas, seperti pendidikan, layanan kesehatan, pembanguna jalan, dan sebagainya. (Dwiyanto, 2010)

Joseph Stiglitz (dalam Dwiyanto, 2010) membedakan barang atau jasa yang publik dan privat ini menjadi dua kriteria; rival consumption dan exclusion. Barang publik adalah barang yang antar penggunanya tidak saling bersaing untuk menggunakannya (non-rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability). Keikutsertaan seseorang dalam memanfaatkan barang atau jasa tersebut tidak mengurangi manfaat barang atau jasa tersebut bagi yang lain. Semua orang dapat mengambil manfaat dari penyediaan barang atau jasa tersebut tanpa kecuali. Sementara barang yang sifatnya privat atau swasta adalah barang yang memiliki excludability dan daya saing yang tinggi. Peruntukkannya hanya dibatasi bagi konsumen yang dapat diidentifikasi (yang mampu membayar). Produksi dan konsumsi barangnya pun bersifat kompetitif.

Kriteria kedua untuk mendefinisikasn pelayana publik adalah dengan melihat tujuan dari disediakannya barang atau jasa. Penyediaan barang atau jasa yang dilakukan demi mencapai tujuan atau misi negara, mencapai tujuan strategis pemerintahan, dan memenuhi semua komitmen hukum internasional, meski barang atau jasa tersebut sifatnya privat, maka dapat dikatakan pelayanan publik. Tujuan atau misi negara ini biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya. Setiap warga negara memiliki hak dan kebutuhan dasar atas barang atau jasa ini, sehingga negara menjamin sepenuhnya pemenuhan kebutuhan ini. Sebagai contoh adalah pendidikan, layanan kesehatan, jaminan sosial, administrasi kependudukan dan sebagainya.

Dengan memberikan definisi yang jelas mengenai pelayanan publik, terutama jika mengacu pada dua kriteria di atas, maka penentuan luas-sempitnya cakupan pelayanan publik dan tindakan yang harus diambil oleh manajemen pelayanan publik dalam menjami akses warganya untuk memenuhi kebutuhannya dapat lebih jelas diputuskan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun