e. Pelaksana                                                     : 40%  = Rp. 200.000,-
Rancangan tersebut pernah diajukan ke DPRD Propinsi DKI Jakarta, namun tidak mendapat tanggapan yang memuaskan.
Biaya ideal administrasi pencatatan perkawinan, mengacu pada peraturan-peraturan yang ada mengenai kepenghuluan, pengelolaan biaya nikah/rujuk, tupoksi dan kebutuhan KUA, dan jumlah peristiwa nikah di Propinsi DKI Jakarta yang mencapai rerata 58.000 peristiwa nikah per tahun atau 4833 per bulan, maka jumlah besaran biaya ideal pencatatan perkawinan di DKI Jakarta saat ini adalah sebesar Rp.150.000,-. Dengan masih menggunakan penghitungan yang mengacu pada Surat Dirjen Perbendaharaan No. PER-32/PB/2009 dan PMA No. 71 tahun 2009, maka jumlah biaya yang diterima KUA adalah sebesar Rp. 96.000,-, sedangkan untuk Kandepag adalah sebesar Rp. 24.000. Dengan besaran penerimaan tersebut dan dikali dengan rerata perisitiwa nikah sebanyak 58.000 selama satu tahun, maka alokasi penerimaan yang bisa didapat KUA dalam setahun adalah Rp. 5.238.000.000,-. Artinya, dalam satu tahun KUA memiliki anggaran operasional sebesar Rp. 119.045.455,- atau sebesar Rp. 9.920.455,- per bulan per KUA. Besaran anggaran ini masih ditambah dengan alokasi Rp. 1.000.000,- dari Kementerian Agama Pusat dan alokasi yang memang harus disediakan Kantor Kementerian Departemen Agama Kabuoaten/Kota dari 20% penerimaan dari biaya pencatatan perkawinan di atas.
Kegiatan lain penghulu seperti melakukan khutbah nikah, pembacaan do'a nikah dan sebagainya yang terkait dengan pelaksanaan pernikahan tidak dapat dihitung atau disediakan anggarannya oleh negara. Sebab, mengacu kepada Peraturan Menpan No. PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya pada Pasal 8, dijelaskan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut seperti menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim, memberikan khutbah/nasihat, doa nikah/rujuk, serta memandu pembacaan sighat taklik talak, memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk adalah kegiatan-kegiatan yang diberikan angka kredit. Kegiatan-kegiatan yang diberikan angka kredit adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap pejabat fungsional, karenanya tidak diberikan anggarannya dalam DIPA. Hal ini seperti kewajiban peneliti yang harus membuat karya tulis untuk memenuhi angka kredit, guru yang harus memenuhi jam mengajar, dan tugas-tugas pejabat fungsional lainnya.
2. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut;
1. Bahwa dalam menentukan besaran biaya pencatatan administrasi perkawinan bagi masyarakat, KUA masih mengacu pada PP No. 47 tahun 2004, sebesar Rp. 30.000,-. Hanya saja, banyak masyarakat yang masih belum tahu mengenai besaran biaya ini, meski banyak KUA telah memasang pengumuman mengenai besaran biaya ini di depan gedung mereka. Pun, menjadi kebiasaan masyarakat yang selalu meminta pihak ketiga untuk mengurus administrasi pencatatan pernikahan di KUA, sehingga mereka tidak mengetahui sendiri prosedur administrasi pencatatan pernikahan yang ada di KUA. Selain itu, masyarakat tidak mengetahui ini karena kurangnya sosialisasi dari pihak KUA dan petugas-petugas KUA yang tidak menjelaskan prosedur dan biaya resmi administrasi pencatatan perkawinan kepada masyarakat yang datang.
2. Besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat pada saat melakukan pencatatan perkawinan bervariasi, mulai dari Rp. 150.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Ada yang menyatakan bahwa biaya ini sebagai pengganti biaya transport karena penghulu jarus datang ke rumah catin dan sebagai jasa profesional kepada penghulu karena harus menikahkan di luar jam kerja. Namun tidak sedikit masyrakat yang menyatakan bahwa ada beberapa penghulu atau pihak KUA yang meminta biaya tambahan untuk pencatatan administrasi pernikahan.
3. Penyebab terjadinya pembengkakan biaya pencatatan administrasi perkawinan yang dikeluarkan masyarakat arena beberapa dua faktor, yaitu dari faktor masyarakat sebagai pengguna jasa KUA sendiri dan dari pihak KUA. Dari pihak masyarakat, terjadi pembengkakan biaya karena adanya pihak-pihak ketiga, selain catin dan penghulu, yang menganggap bahwa uang kerahiman atau uang tambahan selain Rp.30.000,- yang telah dibayarkan juga dianggap sebagai biaya resmi. Selain itu, budaya masyarakat yang menghendaki pernikahan dilaksanakan di luar KUA dan di luar hari dan jam kerja, menambah tinggi biaya ini, karena harus mengeluarkan uang tambahan untuk trnsport penghulu dan juga jasa profesional penghulu, karena tidak jarang penghulu yang juga diminta untuk membawakan khutbah nikah, menjadi wali pengganti bagi mempelai perempuan, dan sebagainya.
Dari pihak KUA, pembengkakan biaya ini terjadi karena petugas atau penghulu KUA membiarkan budaya menerima uang di luar biaya resmi. Meski uang yang diberikan tidak sedikit sebagai ucapan terima kasih, namun dengan praktik ini mengundang kecurigaan pihak ketiga yang memandang bahwa telah terjadi praktik di luar aturan perundangan-undangan yang ada. Namun, hal ini terjadi tidak sepenuhnya karena kehendak KUA sendiri. Struktur organisasi dan peraturan-peraturan yang ada mengenai KUA juga telah memaksa terjadinya perilaku ini. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk operasional KUA, tidak mandirinya KUA dalam mengelola anggaran, dan sulitnya mekanisme pencairan anggaran menjadikan praktik seperti masih berjalan.