Sambungan dari: Kekalutan Hati
Tak ada harapan lagi. Julia benar-benar menjauhinya. Biasanya dia tak pernah dibonceng orang lain selain dirinya. Tapi kini, meski boncengannya juga kosong, Julia sama sekali tak menoleh padanya. Dia malah naik ke boncengan Wennendy. Jerry bukannya cemburu pada Wennendy, dia tahu Wennendy tak ada niat mendekati Julia seperti laki-laki lain. Tapi tetap saja, dia sakit hati tidak dipedulikan seperti ini. Dan Wennendy menatap Jerry dengan ekspresi tak enak hati. Tapi mau bagaimana lagi? Dia juga tak bisa menolak Julia duduk di boncengannya. Dia sangat menghargai teman-temannya.
Mereka melanjutkan menjemput Vera. Hati dan pikiran Jerry seolah tidak sedang bersamanya. Pandangannya hampa dan tak bergairah. Rasa kecewa membuatnya merasa menyesal ikut bersama teman-temannya. Seharusnya dia tak usah ikut mereka jalan-jalan kali ini. Seharusnya dia sadar, tak mungkin hubungannya dengan Julia akan membaik hanya karena jalan-jalan sore ini.
Vera keluar dan yang lain menyapanya. Jerry tidak bereaksi sedikitpun.
"Jer, boncenganmu kosong? Aku boleh ikut kamu?"
Jerry sudah tak tahu hal terbaik apa yang bisa dilakukannya. Dia hanya mengangguk pelan dan menahan motornya saat Vera naik ke boncengannya. Dia juga tak peduli saat beberapa pasang mata menatap padanya. Sebab dia tahu, Julia sama sekali tak menoleh padanya.
Motor mereka berjalan beriringan. Wennendy sesuai kebiasaannya selalu memimpin di depan. Tapi kemudian Andre yang saat ini bersama Melvi mengejarnya dan menyuruhnya mundur. Mundur hingga kurang lebih sejajar dengan motor Jerry. Jerry tahu ini kerjaan temannya. Rupanya, mereka sadar ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Julia. Tapi ....
Menatapnya melalui sudut matanya, rasa sakit di hati hanya semakin menjadi. Dulu dia tak pernah harus meliriknya dengan cara seperti ini. Mau tak mau, mereka biasanya spontan bertatapan dan saling tersenyum. Apalagi kini ekspresi wajah gadis di sampingnya dingin dan tak peduli. Hanya membuat hatinya semakin menjerit.
Debar jantung Julia semakin kencang. Menatap laki-laki di sampingnya melalui sudut matanya membuatnya hampir meneteskan air mata. Kerongkongannya seolah tersekat dan dia menelan ludahnya beberapa kali. Kesedihan akibat menahan gejolak di hatinya sungguh menyiksanya. Setiap malam dia hampir selalu tertidur dengan air mata yang belum kering di pipinya. Tapi, adakah yang tahu betapa menderita hatinya?
*****
Sudah berlalu lima hari. Pada awalnya Julia berpikir hari pertama adalah hari paling sulit dan menyakitkan. Tapi sekarang disadarinya. Semakin lama justru semakin berat. Pada hari pertama dia memutuskan menjauh dari Jerry dia memang hampir tak tahan untuk diam saja saat Jerry menyapanya. Tapi itu berhasil dilaluinya. Hari kedua Jerry masih sering menatapnya, walaupun tak berani mengajaknya bicara. Nah, hari ketiga dia mulai merasa sepi. Jerry mulai membuang mukanya saat mereka bertatap muka. Dan itu seperti ditusuk jarum saja sakitnya. Hari keempat dia hampir menangis saat Jerry lewat beberapa kali di depannya dan tak menghiraukannya. Dan hari kelima, sore tadi, dia ingin ... ingin menangis sejadi-jadinya. Kini air mata bergulir tak terkendali dari matanya. Dia tak berusaha membendungnya. Tubuhnya bergetar.
Kamu benar-benar meninggalkanku, Jerry. Menjauh dariku. Aku sadar akan begini jadinya. Tapi, tetap saja hati ini tak sanggup menerimanya. Aku yang mulai menjauhimu. Tapi aku juga yang paling menderita. Aku sungguh menyesal. Menyesal tak bisa menyukaimu sejujur-jujurnya. Apakah ada orang yang lebih menderita dariku? Ada. Tentu saja ada. Tapi tak akan ada yang lebih menderita karena tak bisa mengungkapkan rasa sayangnya seperti yang kualami.
Tiba-tiba telepon berbunyi dan dia tersadar dari lamunan menyedihkannya. Jantungnya hampir copot saat terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
"Julia! Kamu sedang apa? Ada telpon buat kamu?"
"Dari siapa, ma?" ujarnya sambil cepat-cepat mengusap air matanya. Hati kecilnya berharap telpon itu dari Jerry. Sudah lima hari dia tak menelpon.
"Dari Lini."
Rasa kecewa meresapi dirinya. Entah kenapa dia begini. Ingin menjauh dari Jerry tapi masih setengah hati. Apa memang begitu sulit melupakan seseorang yang disukai, terutama kalau dia begitu baik dan tak pernah menyakiti hatinya?
"Halo, Lin. Ada apa?"
"Tak apa-apa. Kamu sedang apa?"
"Baru selesai menyusun jadwal besok," ujar Julia berbohong.
"Jul, sebenarnya kamu kenapa?"
Julia tak segera menjawab. Dia tahu betul apa maksud pertanyaan Lini.
"Kenapa bagaimana?"
"Kamu masih pura-pura. Belakangan ini sikap kalian berdua aneh. Seperti musuh saja. Adrian sudah cerita. Jerry sekarang gundah gulana. Apa kalian ada masalah?"
"Masalah apa? Tak ada apa-apa."
"Kamu benar-benar tak tau? Atau si bodoh itu yang sembarangan ...."
"Tak ada yang bersalah atau sembarangan. Kalau kamu mau tau, kita tiba-tiba saja seperti ini. Tapi lebih baik seperti ini. Daripada ada yang salah paham."
"Maksud kamu? Salah paham apa?"
"Aku dan Jerry sebelumnya cukup dekat. Jadi ada yang pikir kami saling suka. Tapi sebenarnya tidak. Daripada disangka begitu terus, ya mending tak usah terlalu dekat lagi."
"Hah?! Kamu serius?"
Julia terdiam. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Tubuhnya bergetar.
"Ya. Tentu saja."
Terdengar keheningan yang panjang. Rupanya Lini terkejut mendengar pernyataan Julia barusan.
"Ya sudah. Sampai ketemu besok!"
Julia berlari ke kamarnya begitu menutup kembali telepon. Dia menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya bergetar. Kenapa? Kenapa dari mulutnya masih juga bisa keluar kata-kata bohong? Tak ada apa-apa? Kenapa mulutnya begitu mengkhianati hatinya? Ah! Kenapa dia begitu takut mengakui isi hatinya.
*****
Selama langit mendung, orang tentu berpikir lagi kalau ingin keluar. Dan kalau hati lagi mendung, apa yang sebaiknya dilakukan? Jerry hanya melamun, mendesah, melamun dan mendesah setiap kali dia melihat ke arah Julia. Kenapa dia begitu sulit menerima Julia yang tiba-tiba menjauh darinya? Bahkan jika Julia terus terang mengatakan kalau dia membencinya dia masih tetap sulit mempercayainya.
Selama ini dia tak pernah menyukai seorang perempuan pun. Dia tetap tak tertarik meskipun orang itu semenarik apa pun. Karena dia mempunyai pandangan tersendiri tentang menyukai seseorang. Menyukai seseorang harus sepenuh hati. Dan mungkin karena sepenuh hati itulah dia kini begitu menderita.
Ingin sekali dia bangkit berdiri dan berbicara dengan Julia saat ini. Tapi dia tak bisa. Sekarang sedang jam pelajaran. Tapi, bukan itu alasan dia hanya bisa berdiam dan tak berdaya. Dia tahu, dirinya tak berani menatap sorot mata Julia yang sudah tidak ramah lagi.
Dia juga tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sekarang, kalau Julia tak sengaja bertatap muka dengannya, otomatis dia membuang muka. Padahal sejujur-jujurnya hatinya, dia tak ingin begitu. Dia berpikir akan lebih sakit jika Julia yang membuang mukanya, jadi lebih baik dia juga berlagak seperti itu.
Lini memanggilnya sewaktu bel istirahat berbunyi. Dia berjalan ke arahnya, tapi Julia juga lagi ada perlu dengannya. Mata mereka bertemu dan keresahan yang tidak dimengertinya muncul pada dirinya dan membuatnya membuang muka.
"Aku tunggu di luar saja," ujarnya dingin. Tapi hatinya sakit. Seperti protes pada mulutnya yang seenaknya.
Dia berjalan menunggu di samping pintu. Tapi begitu Lini muncul bersama Julia, dia kembali memalingkan wajahnya.
"Nanti saja kalau begitu," ujarnya lalu berjalan menuruni tangga.
Julia tampak tak peduli. Padahal hatinya hampir hancur berkeping-keping. Seperti dua panah yang dilepaskan beruntun mengenai hatinya. Rasa sakitnya sulit dijelaskan. Ternyata, begini rasanya bila Jerry bersikap dingin pada perempuan. Semula dia tak percaya tahun lalu ada murid perempuan yang menangis karena Jerry menjauhinya. Tapi sekarang dia pun ingin berlutut dan menangis. Tapi dia sadar itu tidak berguna. Lagipula, dia sudah terlalu sering menangis. Setiap malam selama lima hari berturut-turut dia berdiam di kamarnya dan melamunkan Jerry. Pada akhirnya dia akan tertidur karena terlalu lelah menangis.
Jerry tidak bergabung dengan teman-temannya di meja kantin. Dia memilih duduk di pagar tanaman bersemen seperti kebiasannya sebelumnya. Tapi dia bisa melihat Julia dari sini. Entah kenapa, walau sakit, dia masih saja ingin melihatnya. Dia sepertinya rela sakit asal bisa melihatnya.
"Eh, Jer! Besok kita mau buat kejutan untuk Julia. Kau tau kan besok dia ulang tahun? Sudah siapkan kado? Atau mau ikut patungan dengan kita?"
Jerry terdiam mendengar perkataan Andre. Ekspresi wajahnya memang ceria. Tapi Jerry tahu dia berusaha ceria. Beberapa hari yang lalu dia dan Wandy, mungkin juga Wennendy tampak begitu kesal padanya. Mereka mengira Julia yang tiba-tiba diam dan menghindar dari mereka karena kesalahannya. Rupanya karena beberapa kejadian, setiap perempuan yang mendadak berwajah sedih dan melamun sendiri, pasti dia yang dituduh jadi penyebabnya. Tapi sekarang, tampaknya mereka bisa menyadari orang yang paling menderita adalah dirinya. Dia pun tak tahu apa yang membuat Julia tiba-tiba seperti itu.
Jerry mengangguk lemah. Dia jauh sebelumnya sebenarnya ingin membuat kejutan di hari ulang tahun Julia. Tapi, kalau dia dijauhi seperti ini dia juga tak bisa apa-apa. Semula dia berpikir akan membiarkan saja ulang tahunnya berlalu. Gelang tangan yang diberikan Mitha juga tak tahu harus diapakannya. "Aku sudah menyiapkan sesuatu," ujarnya kemudian.
Meski tak menoleh, Jerry bisa merasakan Andre dan kedua temannya saling pandang.
"Ya sudah, Jer. Besok tak ada ekskul, jadi pulang sekolah kita berencana mengguyurnya dengan air. Ada ide atau komentar?"
Jerry menggeleng," Terserah kalian saja," lanjutnya tanpa menoleh. Tanpa semangat.
Dia kembali melihat ke arah Julia. Rambut panjangnya yang tergerai menutupi pundaknya. Semakin dilihat, Julia tampak semakin jauh. Semakin dilihat, matanya mulai timbul rasa perih. Hatinya seperti diiris ribuan pisau. Dia segera memalingkan wajahnya. Mulai mencatat lagi apa yang dituliskan guru di papan tulis.
*****
Senyumnya justru terasa menyakitkan. Sebelumnya Julia sudah sering menghindari para senior. Tapi, tadi dia begitu dekat dengan mereka. Kemudian saat melihat Jerry sedang memperhatikannya, dia justru semakin akrab lagi. Daripada kesal sendiri, Jerry akhirnya mengajak anak kelas satu bicara. Untung saja anak ini cukup manis dan senang diajak bicara oleh Jerry. Jerry tahu Julia terdiam memperhatikan mereka. Kemudian dia pamit pada para senior. Dia berjalan tertunduk dan langsung masuk ke dalam kelas. Jerry ingin sekali menarik tangannya dan mengenggamnya. Dia ingin sekali berbuat sesuatu agar Julia kembali menatapnya, mengajaknya bicara. Dan, tersenyum seperti biasa.
Jerry kembali menatap kakaknya. Berharap mendapatkan jawaban yang menenangkan hatinya.
"Kau terus seperti ini juga tak berguna. Dari awal aku sudah bilang dia suka sama kau. Kau tak yakin. Sekarang hubungan kalian memburuk kau baru bertanya-tanya. Berharap mendapat jawaban yang membuat kau tenang."
Benar juga, ujar Jerry dalam hati. Entah sudah berapa orang yang mengatakannya begitu. Tapi dia tetap saja tak yakin. Karena itu juga dia tidak menyatakan perasaannya. Sekarang setelah Julia menjauh darinya, dia gelisah setiap hari. Berharap hari-hari sebelumnya terulang kembali.
"Kau orangnya gengsi setinggi langit. Mana mau mengalah. Mulutmu saja yang bilang sudah mencoba. Tapi aku berani taruhan, kau masih setengah-setengah. Baru lihat dia dekat dengan laki-laki lain saja kau ikut-ikutan memancing dia. Itu justru menunjukkan kau tak peduli padanya."
Jep! Sepertinya sebatang tombak baru saja ditancapkan ke hatinya. Apa yang dikatakan Mitha apa adanya. Dan memang itu yang dilakukannya.
"Aku sudah berusaha. Tapi dia ...."
"Dia kenapa? Kenapa tak bilang kau saja? Bisanya cuma mencari pembenaran. Dia gadis yang pemalu dan tertutup. Aku sudah bisa menebaknya waktu pertama kali bertemu dengannya. Lagipula, biasanya perempuan akan menyembunyikan perasaannya. Sebab kalau dia terlalu jelas menunjukkannya, dia akan merasa malu sekali kalau laki-laki itu tak menyukainya. Sudahlah, aku tak mau terlalu memberi tahu rahasia perempuan padamu. Kamu sendiri yang harus mencari tahu."
"Jadi, aku harus mencoba lagi?"
"Terserah kau. Tapi kalau kau mencoba setengah-setengah, mending tak usah. Kau harus merobohkan dinding ego dan gengsi yang kau pertahankan selama ini. Semoga saja berhasil."
Jerry terdiam. Mencermat kata-kata kakaknya sepenuh hati. Kemudian dia mengangguk sendiri. Dia menatap lagi pada Mitha.
"Kau pernah suka orang tidak?"
"Tentu saja pernah."
"Kalau begitu kenapa kau tidak pernah pacaran?"
"Suka dan pacaran itu dua hal yang berbeda. Aku tak merasa harus pacaran. Kau sendiri, perlu tidak kau pacaran?"
"Dulu juga aku berpikir sama sepertimu. Tapi setelah bertemu Julia, semuanya berubah. Aku menyukai dia sepenuh hati. Jadi aku merasa kali ini perlu."
"Ya bagus. Setidaknya kau punya alasan yang tulus. Dan seharusnya kau jujur pada dirimu ... dan Julia mulai saat ini."
*****
Tadi Mitha juga membangunkannya. Tapi sebenarnya dia sudah terjaga. Kemudian sebelum dia berangkat ke sekolah, Mitha mengingatkannya lagi.
"Kau tau sekarang hari apa. Perempuan akan terkesan kalau kau ingat saat-saat berkesan dalam hidup mereka. Dan, kau harus tunjukkan kalau kau bersungguh-sungguh padanya!"
Setelah itu, Jerry merasa dirinya semakin mantap. Dia bertekad, tak peduli Julia tak menoleh padanya, tak mau mendengarkannya, atau menghindarinya, dia akan mengajaknya bicara hari ini. Tapi kini, setelah menunggu dan menunggu, hilang juga semangat yang tadinya sempat berkobar dalam dadanya. Julia ternyata tidak masuk hari ini. Apa yang terjadi? Apakah Julia tahu teman-temannya mau memberikan kejutan di hari ulang tahunnya makanya dia menghindar? Entahlah. Mencoba memikirkan sesuatu yang menenangkan dirinya justru membuatnya semakin pusing.
Bel istirahat berbunyi dan Jerry mengampiri tempat Lini.
"Kau tau kenapa Julia tak datang?" ujarnya.
Lini menatapnya dengan perasaan iba. Lalu menggelengkan kepala. Kenapa Lini menatapnya seperti itu Jerry tak tahu. Dia hanya menjadi kesal saja setiap kali ada orang yang melihatnya dengan sorot kasihan seperti itu. Apakah dia begitu menyedihkan sampai-sampai orang harus menaruh kasihan padanya?
Jerry berjalan keluar kelas dan kebetulan Adrian berjalan ke arahnya. Adrian tampak sedikit kaget melihat Jerry.
"Rian! Mau turun juga?"
"Ya. Kebetulan, Jer. Ada yang yang kusampaikan."
Ada suatu kegelisahan yang tiba-tiba merasuk ke dalam diri Jerry. Apa yang mau disampaikan Adrian? Sesuatu yang tak diketahuinya?
Adrian menuntunnya ke sudut lapangan yang berseberangan dengan kantin. Di sini cukup tenang dan belum banyak murid yang datang.
"Tentang apa? Juliakah?"
"Ya," ujar Adrian yang terlebih dulu duduk dan mengisyaratkan Jerry supaya duduk juga.
"Aku benar-benar pusing melihatnya. Hari ini dia tak datang."
"Oh ya? Bukannya hari ini ulang tahunnya?"
"Ya. Entahlah. Mungkin dia sakit atau kenapa. Lini juga tak tau."
Adrian menatap temannya sekilas. Seolah menimbang entah perlu memberitahunya atau tidak.
"Jadi, ada apa? Katakanlah."
"Kamu... tau kenapa Julia tiba-tiba menjauh?"
Jerry menggeleng. Hatinya sedih sekali bila mengingat hal ini.
"Kalau saja aku tau, tentu aku tak akan membiarkannya begini. Kau tau Rian, aku benar-benar bingung dan tak mengerti. Aku juga sedih sekali."
"Dari yang kudengar ...," ujar Adrian berhenti sebentar. Jerry menatapnya dengan serius. Kemudian Adrian meluruskan pandangannya ke depan, "Julia menjauh darimu karena takut ada gosip lagi. Dia kan sebelumnya menolak Jimmy, jadi dia takut kalau nanti ada yang menggosipkan kau juga. Dia hanya takut kau tak suka. Kau tau, tentunya dia sudah pernah mendengar tahun lalu kau membuat murid baru yang bernama Leony menangis karena kau tak suka digosipkan dengannya. Makanya dia menjauh sebelum itu terjadi."
Seluruh tubuhnya tiba-tiba meremang. Apa yang baru dikatakan Adrian sangat beralasan. Hanya saja dia tak pernah menduganya. Dia mulai menyalahkan dirinya karena kejadian tahun lalu ternyata membawa akibat hingga sekarang. Mungkin ini yang dikatakan oleh sebagian orang sebagai karma. Dia kali ini harus merasakan betapa pedihnya dijauhi orang yang disukainya.
"Rian, menurutmu aku harus bagaimana?" ujar Jerry sedikit memelas.
Adrian kembali menatap lurus ke depan. Dia tak segera memberi jawaban. Dia masih merasa sedikit bersalah karena baru saja berkata bohong pada Jerry. Apa yang didengarnya dari Lini tidak seperti itu. Tapi dia tak tega melihat sahabatnya terus dilanda murung. Makanya dia menggunakan cerita yang memang masuk akal dan bahkan Jerry sangat meyakininya. Tapi bagaimanapun, dia tetap yakin Julia menyukai Jerry. Dia pernah memperhatikan ekspresi kebahagian yang terpancar dari wajah Julia saat sedang bersama Jerry.
"Yang paling penting, kau harus tau dulu dia betul-betul suka sama kau atau tidak. Kalau dia tak suka, tak ada yang bisa membantumu."
Jerry segera teringat saat pertama kali dia melihat Julia. Senyumnya, tatapan matanya dan suaranya sempat membuat dia sulit memejamkan matanya setiap malam. Kemudian setelah dia mulai dekat dengannya, dia semakin merasa hidupnya lebih berwarna. Setiap hari, dia selalu bisa melihat senyumnya. Tapi tiba-tiba semuanya seolah hilang tak berbekas. Yang ada hanya tatapannya yang dingin dan malas berbicara dengannya. Mengingat hal ini hatinya kembali sakit. Tapi dia tak ingin lagi seperti ini. Dia akan melakukan sesuatu untuk membuat Julia kembali memperhatikannya. Memikirkan hal ini, dia tiba-tiba menjadi lebih bersemangat. Dia tersenyum. Binar kembali muncul di matanya. Dan jantungnya memompa darah ke seluruh tubuhnya dengan sekuat tenaga. Sampai-sampai dia merasa sedikit nyeri karenanya. Anehnya, semua rasa sakitnya seolah sirna. Yang ada kini hanya semangat yang membara. Seperti api yang menyala.
*****
Hari ini, menurut kalender masehi dia tepat berusia tujuh belas. Hari ini juga, sepuluh tahun berlalu tanpa terasa. Dan selalu, pada tanggal ini, dia akan berdiam di rumah. Kedua orang tuanya tak mempermasalahkannya. Sebab ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Neneknya, sewaktu dia masih di Bandung, selalu menemaninya. Mereka bersama-sama berjiarah ke makam Ayahnya.
Telepon berdering dan dia mengangkatnya.
"Halo!" ujarnya.
"Halo juga. Ini Lia ya?"
"Halo, Oma! Apa kabar?"
"Baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana sayang?"
"Aku juga baik-baik saja, Oma."
"Kamu masih tetap tak masuk sekolah hari ini? Kamu sudah tujuh belas tahun lho, sudah dewasa."
"Aku tau, Oma. Oh ya, Oma pergi ke makam Papa hari ini?"
"Oma baru dari sana. Kamu jangan selalu bersedih. Sudah berlalu. Masa sepuluh tahun yang lalu."
"Iya, Oma."
"Lia, kamu mau hadiah apa? Nanti Oma carikan."
"Tak usahlah, Oma. Oma sudah sering beli hadiah buat Lia. Kali ini tak usah."
"Lho, lho, lho. Cucu kesayangan Oma sudah tujuh belas tahun, masa Oma tak beli apa-apa. Kamu mau Oma belikan handphone? Sekarang mulai banyak remaja yang Oma lihat pakai handphone."
"Tak usah, Oma. Lia belum butuh. Oma belikan tiket ke Bandung saja, jadi nanti kalau Lia liburan, Lia bisa ke sana."
"Oh! Ya, ya, ya. Kamu kapan libur?"
"Wah, masih lama. Bulan sepuluh mungkin."
"Waktu akan berjalan. Meski lama tetap akan tiba. Oma sebetulnya ingin menjengukmu di sana. Sudah rindu. Tapi dasar, tubuh tua ini sudah lemah. Rematik Oma masih sering kambuh."
"Oma jangan terlalu capek. Banyak istirahat. Masih sering ke toko? Kalau tak ada perlu tak usah ke sana, Oma."
"Iya, iya. Sekarang Oma sudah jarang ke sana. Oh ya sayang, lain kali Oma telpon kamu lagi. Oma masih ada urusan."
"Ok, Oma."
"Selamat Ulang Tahun, sayang!"
"Terima kasih, Oma!"
Julia menutup telepon. Dia senang sekali mendapat telepon dari Neneknya. Di dunia ini, saat ini, mungkin cuma Neneknya saja yang paling peduli padanya. Dan orang yang paling disayanginya juga Neneknya. Juga ... Jerry. Mendadak dadanya terasa sesak begitu mulai memikirkan Jerry. Dia ingat waktu pertama kali melihat Jerry. Dia sedang menemani Ibunya mencari barang di toko elektronik sore itu. Tiba-tiba dia tertegun melihat seorang laki-laki yang masih menggenakan celana sekolah masuk ke dalam. Selain karena wajahnya memang tampan, dia penasaran pada Jerry karena Jerry tidak menoleh padanya sedikit pun. Dia heran sendiri. Laki-laki ini apa tak melihatnya? Padahal, di mana-mana dia setidaknya akan dilirik oleh laki-laki yang kebetulan lewat. Dia kan cukup cantik. Terus, sewaktu orang tuanya mengundang kenalan lama mereka, dia melihat Jerry lagi. Dia ingat Jerry berputar dengan motornya di depan rumahnya. Debu dan kotoran yang sebelumnya disapunya keluar, masuk lagi terkena sapuan ban motor Jerry. Tapi dia diam saja. Jantungnya berdebar hebat karena Jerry begitu dekat dengannya. Saat itu Jerry melihatnya. Mulut Jerry terngangga dan dia jadi salah tingkah. Terus saat mengenalkan diri di depan kelas. Dia berusaha tampil manis di depan laki-laki pujaannya. Dia merasa grogi dan terus memunculkan senyum. Saat Hendrik bertanya padanya, dia sudah mulai goyah berdirinya. Kalau saat itu dia melihat Jerry tersenyum padanya, mungkin dia bisa langsung roboh. Dan saat ke pulau Poncan, dia tertegun Jerry bisa menebak hal-hal yang belum diceritakannya. Lalu dia menggandengnya, begitu mesra. Tubuhnya yang menghalangi ombak bersentuhan dengannya dan jantung pun berdebar semakin menjadi-jadi. Terus setelah itu mereka semakin dekat. Kerjakan tugas bersama. Jalan-jalan bersama. Dia seolah terbawa ke awang-awang dengan Jerry sebagai pilotnya. Dia benar-benar menikmati saat Jerry menatapnya, tersenyum padanya dan menyapanya. Hingga semuanya berubah ketika Vera mengatakan kalau dia juga menyukai Jerry. Sampai di sini, semua kegembiraannya sirna. Segala kesedihannya bahkan tak hilang sampai kini. Bila dia melihat Vera yang begitu jujur mengungkapkan perasaannya, dia merasa rendah diri. Dia hanya bisa memendam saja rasa tulus di hatinya. Dan itu membuatnya sering meneteskan air mata. Setelah diperhatikan, ternyata Vera dan Jerry sepadan. Dan dia mengalah karena berpikir itu yang terbaik yang bisa dilakukannya. Meski, itu seperti mengiris hatinya dengan belati. Dia juga tahu, apa yang dilakukannya akan berakibat Jerry menjauh darinya. Juga mungkin membencinya. Tapi dia terpaksa. Satu kejujuran darinya juga mungkin hasilnya sama saja. Jerry kemungkinan tetap menjauhinya. Dan rasanya akan lebih menyakitkan hatinya sebab sebelumnya sudah pernah terjadi.
Dia sempat tertidur sebentar. Kemudian terbangun lagi. Rupanya sekarang sudah jam dua. Rumahnya sepi. Adiknya Ryo sepertinya sedang keluar. Dan Rico, tadi dia sempat melihatnya sebelum tertidur. Dia berjalan keluar dari kamarnya. Dia tak merasa lapar jadi tak segera ke dapur. Mungkin kebiasaan baru pulang sekolah pada jam-jam begini mengubah kebiasaan makannya. Saat dia baru duduk di sofa, suara motor terdengar mendekat lalu berhenti. Julia mengintip melalui kisi-kisi jendela dan hatinya berdebar karena melihat Jerry kini berada di depan rumahnya. Jerry tampak ragu. Kemudian dia berjalan masuk ke halaman rumah. Julia khawatir Ibunya akan keluar kalau dia tak segera menyambut Jerry. Jadi dia terpaksa juga menemui laki-laki yang sedang dihindarinya. Tapi terlebih dahulu, dia memasang wajah dinginnya.
Jerry tak jadi memanggil begitu melihat Julia muncul. Mulutnya menganga tapi dia bungkam seribu bahasa. Dia malah menatap lantai di bawah kakinya.
Julia juga diam saja. Tidak mencoba bicara atau bergerak. Di hatinya sedang berkecambuk antara senang dan sedih. Saling tendang sana sini, dan rasanya sakit sekali.
Jerry melangkahkan kakinya pada anak tangga yang hanya tiga biji itu. Begitu jaraknya tinggal sekitar satu setengah meter dengan Julia, dia menghembuskan napasnya tertahan.
"Kamu kenapa tak datang hari ini? Kamu sakit?"
Oh, tolong jangan memberi perhatian padaku. Jangan terlalu baik padaku, Jer. Nanti aku akan sulit melupakanmu, ujar Julia dalam hati. Tapi kemudian dia hanya menggeleng dan Jerry sedikit kecewa.
"Buat apa kamu ke sini?"
Pertanyaan ini menembus dadanya dan mengiris hatinya. Rasa sakit tak kasat mata hampir membuat kedua kakinya tak mampu menyokong tubuhnya. Apalagi gadis di depannya tampak angkuh dan tak berekspresi. Tapi Jerry berusaha menenangkan diri. Dia menarik napasnya dengan pelan dan berat.
"Aku dan yang lainnya berencana merayakan ulang tahunmu hari ini. Tapi sayang sekali kamu tak datang. Jadi aku datang kemari."
"Kamu jangan terlalu baik padaku. Nanti orang lain akan berpikir macam-macam. Dan Vera pasti akan kecewa kalau mengetahui kamu datang ke rumahku."
Pendengaran Jerry bagai tersengat. Lebih sakit daripada saat petasan diledakkan tepat di samping telinganya. Apa pula hubungan semua ini dengan Vera?
"Kamu bicara apa? Aku sama sekali tak mengerti."
"Tak mengerti ya sudah. Aku tak ada waktu menemani kamu bicara. Pulanglah kalau tak ada urusan lagi."
Jerry menanggung kecewa berlebihan di dadanya, di kepalanya. Dia menggeleng pelan dan berat. Napasnya tersumbat. Kemudian dia menatap ke samping. Menghindari wajah Julia. Kecewa dan sakit hati. Julia berbicara seolah tak menganggapnya ada. Lalu selama ini apa arti kedekatan mereka? Dan kata-kata yang tak direncanakannya meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Oh, begitu ya. Ternyata kamu orang seperti itu. Selama ini, aku berpikiran baik terhadapmu. Dan aku sudah terlanjur menyukaimu. Tau tidak? Betapa sakit hatiku mendengar cara bicaramu. Kamu bahkan tak menganggapku teman. Ya sudah. Anggap saja aku tak pernah mengenalmu. Kalau kamu memang suka mempermainkan perasaan orang, kuucapkan selamat. Kau berhasil membuatku sakit hati. Ini, hadiah sudah disiapkan tidak baik kalau tidak diberikan. Terserah kau. Kalau tidak suka buang saja ke tempat sampah."
Jerry meletakkan bungkusan kecil itu di atas meja dan segera berbalik. Saat baru berjalan tiga langkah, dia tiba-tiba teringat dengan buku yang dipinjamkannya pada Julia. Dia mungkin tidak akan punya kesempatan dan keberanian untuk menagihnya lagi. Sambil sedikit mengeluh, dia berbalik dan ... dia begitu terkejut ketika dilihatnya tubuh Julia bergetar. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Kerapuhan dan ketidakberdayaan tampak jelas dalam dirinya.
Kebencian yang sebelumnya muncul di hati Jerry melorot hilang ke dalam tanah. Dia tidak sanggup memahami keadaan ini. Merasa sedih, tapi tidak berdaya. Kata-kata Julia beberapa waktu yang lalu masih menahan Jerry mendekatinya. Kemudian Julia mengangkat kepalanya. Dia tampak terkejut karena melihat Jerry masih berdiri di depannya. Hanya sorot matanya kini telah berubah. Sorot mata sendu yang dulu pernah dilihat Jerry saat pertama kali melihatnya di depan gerbang sekolah. Dan sorot mata ini tentu ada penjelasannya.
"Kamu ... kenapa Jul?" ujar Jerry parau. Suaranya tersendat.
Julia menggeleng dan menggigit bibirnya. Air matanya bertambah deras. Jerry yang melihatnya semakin tidak tega.
"Ah, sudahlah. Maaf kalau kata-kataku tadi kasar. Kalau kau tak menyukaiku, ya sudah. Mau bagaimana lagi. Aku tak akan menyalahkankanmu," ujar Jerry mencoba menghibur.
"Bukan! Aku tak bermaksud begitu, Jer. Aku tak pernah berpikir untuk mempermainkanmu. Selama ini, itu jujur dari hatiku. Aku juga menyukaimu sepenuh hatiku."
Jerry tertegun mendengar perkataan Julia barusan. Antara senang dan sedih. Jantungnya kini berdebar tak terkendali. Tapi mulutnya masih terkunci.
"Tapi ..., tapi aku takut kamu akan menjauhiku, Jer. Aku takut kamu membenciku."
"Aku menyukaimu tentu tak akan menjauhimu. Apalagi membencimu. Kamu bicara hal yang membuatku tak mengerti ...."
"Kamu belum mengenalku, Jer. Aku takut kamu akan kecewa bila tau."
"Aku memang belum betul-betul mengenalmu. Tapi aku tak keberatan melewatkan hari-hari selanjutnya untuk lebih memahamimu. Sekarang, apa yang membuat kamu gelisah? Kamu mau menceritakannya?"
"Aku bukan anak kandung papaku," ujar Julia dengan suara parau. Dia melirik sekilas untuk melihat reaksi Jerry. Julia sedikit terkejut karena tetap Jerry begitu tenang dan mendengarkannya penuh perhatian.
"Papaku yang sekarang adalah saudara kembar papaku, pamanku. Makanya kalau kamu melihat photo keluarga masa kecilku dan photo keluarga saat sekarang, Ayahku tampak tak berbeda."
Jerry memperhatikan Julia becerita sambil bercucuran air mata. Dia ingin sekali mengusap air mata itu dan mengingatkannya agar tabah.
Kedua orang tua Julia kenal sewaktu kuliah di Jakarta. Begitu juga mereka kenal dengan orang tua Jerry. Ayahnya orang Bandung, sementara Ibunya orang Jakarta. Orang tua Jerry juga berasal dari tempat berbeda. Ayahnya dari Medan dan Ibunya dari Pematang Siantar. Paman Julia, yang sekarang menjadi Ayahnya, juga satu tempat kuliah. Dia dan kakaknya ternyata menyukai wanita yang sama, yaitu Ibunya. Kemudian yang berhasil mendapatkan Ibunya adalah Ayahnya. Tapi Ayahnya juga tahu kalau adiknya menyukai orang sama dengannya.
Kemudian Ibu dan Ayahnya menikah. Dan saat umur Julia tujuh tahun, Ayahnya sakit keras. Selama beberapa bulan dia berbaring di rumah sakit. Dan Ayahnya yang tahu dia sulit disembuhkan mengatakan sesuatu yang sulit diterima orang lain. Dia tahu adiknya masih menyukai Ibu Julia. Karena itu juga dia tak menikah hingga saat itu. Dia meminta Adiknya menjaga Istrinya bila dia telah tiada. Ayahnya meminta restu pada orangtuanya, juga kedua mertuanya. Akhirnya, dengan kesepakatan yang saat itu tidak dimengerti Julia, keluarga dekat mereka akhirnya setuju. Ayahnya berpesan padanya, "Gadis cilikku, papa minta maaf! Mulai sekarang papa tak bisa menjagamu dan Ibumu juga adikmu, Ryo. Dan pamanmu, bila papa sudah tak ada, kamu harus memanggilnya papa. Papa selalu menyayangimu." Naluri anak kecil membuat Julia menangis saat itu. Dia merasa akan berpisah dengan Ayahnya selamanya. Dan setelah seminggu, Ayahnya pun meninggal.
Tahu Julia masih belum selesai bercerita, Jerry diam saja. Dia tetap mendengarkannya dengan penuh perhatian. Dan Julia, kini air matanya tidak sederas tadi.
"Ada satu kejadian di kelas tiga SMP yang membuatku trauma pada laki-laki," ujar Julia lalu berhenti sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam. Jerry lebih memperhatikan lagi perkataan Julia karena dia merasa, sebetulnya inilah penyebab Julia menjauhinya.
"Waktu itu ada banyak laki-laki yang mendekatiku. Salah seorang sering datang ke rumahku. Dia sering bertanya di mana Papa dan Mamaku karena yang sering dilihatnya cuma Nenekku saja. Akhirnya aku menceritakan padanya. Tentang Papa dan Mamaku. Tapi ternyata dia menceritakan lagi pada teman-teman lainnya. Aku dijauhi teman-temanku mulai saat itu. Rupanya dalam masyarakat tertentu, seorang adik tidak dibenarkan menikahi kakak iparnya. Mereka memandang rendah padaku karena hal itu. Yang membuatku sakit hati bukan karena teman-teman menjauhiku. Tapi laki-laki itu ternyata tak bisa dipercaya. Dan dia juga paling sinis terhadapku. Sejak saat itu, aku sulit mempercayai laki-laki. Mereka yang sebelumnya menyukaiku, perlahan juga menjauhiku. Aku jadi berpikir, semua salah orang tuaku. Aku juga sempat membenci Ayahku yang sekarang. Kalau bukan karena mereka aku takkan dilecehkan. "
Julia berhenti sebentar, lalu menatap Jerry dengan mata sayu. Dia pasrah saja bila ternyata Jerry bereaksi sama.
"Makanya, aku berpikir mungkin sebaiknya aku menjauhimu. Aku takut, kamu juga akan melecehkan dan menjauhiku, " ujarnya menutup perkataannya dan menunduk begitu dalam. Jantungnya berdebar tidak karuan. Bersiap-siap meledak bila ternyata Jerry berdiri dan meninggalkannya begitu saja.
"Dasar bodoh!" ujar Jerry tiba-tiba padanya. "Kamu terlalu banyak berpikir. Temanmu itu, tentulah tidak menyukaimu sepenuh hati. Kalau tidak, mana mungkin dia menjauhimu karena masalah yang diluar kemampuanmu."
Julia ternganga mendengar penuturan Jerry. Dia begitu terkejut karena reaksi yang ditunjukkan Jerry tidak seperti mimpi buruk yang menghantuinya. Dia merasa senang sekali dan jantungnya berdebar tak kalah kencang dengan tadi.
"Bagiku, selama kau mencintaiku sepenuh hati, aku tak peduli dengan masa lalumu atau bahkan masa depanmu. Yang paling penting adalah perasaanmu saat ini. Apakah kamu benar-benar mencintaiku saat ini?"
Julia tersipu malu mendengar pernyataan Jerry yang membesarkan hati. Wajahnya merona merah dan dia mengangguk. Kemudian dia menegaskannya lagi.
"Sebenarnya, sejak awal aku sudah menyukaimu sepenuh hatiku. Entah kenapa begitu. Tapi sekarang aku benar-benar yakin," ujar Julia menatap ke dalam mata Jerry.
Jerry tersenyum padanya. Senyum yang sudah beberapa hari tidak bisa dtunjukkannya. Senyum yang menggetarkan setiap perempuan yang menatapnya. Jantung Julia terpaksa selama beberapa waktu ini harus bekerja lebih keras. Tapi dia merasa begitu bahagia. Dan saat paling berbahagia dalam hidupnya adalah saat ini.
Jerry memegang kedua bahu Julia. Menatapnya dalam-dalam. Kemudian tersenyum begitu menenangkan hatinya.
"Kamu jangan bersedih lagi. Tersenyumlah!"
Julia menundukkan kepalanya. Lalu menatap lagi pada Jerry dengan rona merah di wajahnya. Dia tersenyum begitu manisnya. Air matanya baru separuh kering. Hidungnya sedikit merah karena beberapa kali diusap dengan kasar. Tapi pesonanya tak berkurang di mata Jerry.
"Sekarang, kamu bersiap-siap dulu. Aku pernah berkata ingin mengajakmu makan di depan Juwita. Sekarang masih siang. Sebentar lagi kita ke sana."
Julia menatap Jerry sebentar. Agak heran karena Jerry mengajaknya keluar.
"Ayolah! Bagaimanapun ini hari ulang tahunmu. Kamu juga tak bisa terus-terusan hidup dalam kenangan yang tak menyenangkan. Ijinkan aku lebih memperhatikanmu," ujar Jerry berusaha meyakinkan Julia. Dia menggenggam tangan Julia dan terseyum penuh harap pada Julia.
Julia akhirnya mengangguk. Dan Jerry pun tersenyum bukan main senangnya.
"Aku mandi dulu tak apa-apa, Jer?"
"Tak apa-apa. Kebetulan aku mau pergi sebentar. Tapi aku segera balik lagi," ujar Jerry menuju motornya.
"Ok!" jawab Julia dan melambaikan tangan saat Jerry melaju dengan motornya.
Jerry langsung ke rumah Lini. Ditekannya bel rumahnya dengan tak sabar dan jantungnya berdegup tak terkendali. Kemudian pembantu Lini keluar.
"Lini ada?"
"Ada. Sedang makan."
Aduh! Kenapa sudah makan, gerutu Jerry.
"Tolong panggil dia sekarang. Ada urusan penting. Cepat ya!"
Jerry berdiri tak sabar di depan pintu rumah Lini. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai. Kemudian saat Lini muncul, dia segera menghampirinya.
"Lin! Kau jangan makan lagi. Kau cepat telpon Adrian, Ande, Wandy dan Wennendy. Kita kumpul di Selekta, depan Juwita. Aku akan mengajak Julia ke sana. Kalian siapkan kejutan ya!"
Lini tak sempat berkata apapun. Dia juga tak sempat berpikir lagi dan melakukan semua yang disuruh Jerry.
"Ok, Lin. Terima kasih. Aku harus kembali lagi ke tempat Julia menjemputnya. Kalian jangan terlambat ya!
Hampir saja Lini mengeluh disuruh ini itu, lalu ditinggal begitu saja. Tapi dia tiba-tiba tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Jerry tersenyum begitu melihat Julia keluar. Dia sudah duduk menunggu sekitar sepuluh menit yang lalu. Dan selama menunggu, dia diliputi perasaan senang yang sulit dijelaskan.
Baju kaos putih dan celana jeans tampak begitu sesuai di tubuh Julia yang ramping. Julia tampak cantik sekali. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit mengembang terkena tiupan angin.
"Kamu cantik sekali, Jul!"
Julia tersipu. Ini pertama kalinya dia mendengar Jerry terus terang mengatakan dirinya cantik. Biasanya Jerry hanya tersenyum dan membuatnya penasaran. Ternyata, setelah saling mengungkapkan isi hati, rasa malu mengatakan apa yang ada di hati pun menghilang. Julia menatap Jerry dan tersenyum tipis.
"Kamu juga ganteng, Jer."
Giliran Jerry yang tersenyum. Dia menyalakan mesin motornya dan Julia segera naik ke boncengan. Motor Jerry berjalan bergitu lambat. Rasanya mungkin sayang harus cepat sampai. Julia kini duduk lebih rapat. Dan Jerry bisa merasakan sentuhan-sentuhan tubuh mereka. Saat jarak tinggal sekitar seratus meter lagi, dia semakin memperlambat laju motornya. Dalam hati dia bertanya temannya entah sudah tiba belum di Selekta.
Sepi. Kebetulan sedang tak ada orang. Jerry menyuruh Julia duduk dan dia berjalan ke belakang. Katanya dia mau pesan makanan. Tapi ternyata di belakang dia bertemu dengan Lini, Adrian, Wandy dan Wennendy. Andre masih belum datang.
"Dia sudah di depan. Kalian sudah siapkan kue ulang tahunnya?"
"Beres. Kita juga sudah pesan makanannya. Jadi mau langsung saja?"
"Jangan. Aku pura-pura ke depan dan bicara dengannya. Seolah tak ada apa-apa. Setelah itu kalian muncul saja tiba-tiba. Bagaimana?"
"Ok. Sana cepat. Kasihan dia menunggu," ujar Lini sedikit mendorong Jerry.
Julia menoleh saat melihat Jerry sudah kembali. Bibirnya tersungging dengan manis sekali.
"Kamu pesan apa, Jer?"
"Kamu lihat saja nanti. Aku yakin kamu akan suka."
"Tapi kok sepi ya? Kan katamu di sini makanannya enak."
"Jam segini wajar saja sepi. Sekolah kita saja yang pulangnya kelamaan. Orang lain tentu sudah makan dari tadi."
Julia kembali memandangi ruangan itu. Cukup besar. Tapi meja di sana hanya ada tiga. Sama sekali tak kelihatan rumah makan yang laris. Apalagi cat di dindingnya sudah mengelupas dan tampak kuning kecoklatan.
"Happy birthday to you ... Happy birthday to you! Happy birthday, Happy birthday ... Happy birthday to you!"
Julia tiba-tiba menoleh dan melihat kini teman-temannya berjalan ke arahnya. Jerry segera berdiri dan bergabung bernyanyi bersama mereka. Julia sedikit terkejut tapi hatinya senang sekali. Dia menutup mulutnya dan matanya menatap haru teman-temannya. Air mata bahagia mengalir membasahi pipinya. Dia lalu menoleh pada Jerry. Dan memberikan senyum penuh arti padanya. Dalam hati dia bertekad, dia tak akan pernah melupakan laki-laki yang bisa begitu tulus terhadapnya.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!"
Julia tersenyum malu-malu. Kemudian saat dia akan meniup lilinnya, Lini menyelanya.
"Eh! Make a wish dulu!"
Julia tersenyum padanya lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Matanya lalu terpejam cukup lama. Setelah itu dia membuka mata dan meniup lilin di depannya.
Tiba-tiba teman-temannya melanjutkan menyanyi lagi.
"Potong kuenya, potong kuenya! Potong kuenya sekarang juga ... sekarang juga, sekarang juga!"
Julia menerima pisau yang diserahkan Wandy padanya. Kemudian mulai memotong kuenya menjadi beberapa bagian.
"Ayo! Sekarang first cake. Mau dikasih sama siapa?"
Julia menatap teman-temannya satu persatu. Lalu berhenti pada Jerry. Kalau saja hari ini dia dan Jerry tak saling mengutarakan isi hati masing-masing, dia belum tentu berani memberikan potongan kue pertama padanya.
Wandy yang melihat reaksi Julia segera mendorong Jerry ke depan. Jerry sempat terhuyung didorong orang yang tubuhnya sebesar gorilla itu. Tapi dia tersenyum dan dengan lembut menatap Julia. Kemudian saat Julia menyerahkan kue itu ke tangan Jerry, Lini kembali bicara, "Suapin, suapin!" dan akhirnya yang lain ikut-ikutan.
Julia mengangkat tangannya dan perlahan mendorong kue itu ke dalam mulut Jerry. Mereka bertatapan begitu mesra saat adegan singkat tadi.
Teman-teman mereka bertepuk tangan gembira dan bersorak seolah mendapat hadiah utama. Lalu perlahan mereka didorong duduk bersebelahan. Jerry hanya tersenyum dan menatap Julia. Begitu juga sebaliknya. Sebenarnya saat ini kehadiran teman-teman mereka kurang begitu menarik perhatian mereka. Mereka larut dalam senyuman dan tatapan yang hanya sanggup mereka pahami sendiri.
Bersambung ke: Janji Hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H