"Selamat Ulang Tahun, sayang!"
"Terima kasih, Oma!"
Julia menutup telepon. Dia senang sekali mendapat telepon dari Neneknya. Di dunia ini, saat ini, mungkin cuma Neneknya saja yang paling peduli padanya. Dan orang yang paling disayanginya juga Neneknya. Juga ... Jerry. Mendadak dadanya terasa sesak begitu mulai memikirkan Jerry. Dia ingat waktu pertama kali melihat Jerry. Dia sedang menemani Ibunya mencari barang di toko elektronik sore itu. Tiba-tiba dia tertegun melihat seorang laki-laki yang masih menggenakan celana sekolah masuk ke dalam. Selain karena wajahnya memang tampan, dia penasaran pada Jerry karena Jerry tidak menoleh padanya sedikit pun. Dia heran sendiri. Laki-laki ini apa tak melihatnya? Padahal, di mana-mana dia setidaknya akan dilirik oleh laki-laki yang kebetulan lewat. Dia kan cukup cantik. Terus, sewaktu orang tuanya mengundang kenalan lama mereka, dia melihat Jerry lagi. Dia ingat Jerry berputar dengan motornya di depan rumahnya. Debu dan kotoran yang sebelumnya disapunya keluar, masuk lagi terkena sapuan ban motor Jerry. Tapi dia diam saja. Jantungnya berdebar hebat karena Jerry begitu dekat dengannya. Saat itu Jerry melihatnya. Mulut Jerry terngangga dan dia jadi salah tingkah. Terus saat mengenalkan diri di depan kelas. Dia berusaha tampil manis di depan laki-laki pujaannya. Dia merasa grogi dan terus memunculkan senyum. Saat Hendrik bertanya padanya, dia sudah mulai goyah berdirinya. Kalau saat itu dia melihat Jerry tersenyum padanya, mungkin dia bisa langsung roboh. Dan saat ke pulau Poncan, dia tertegun Jerry bisa menebak hal-hal yang belum diceritakannya. Lalu dia menggandengnya, begitu mesra. Tubuhnya yang menghalangi ombak bersentuhan dengannya dan jantung pun berdebar semakin menjadi-jadi. Terus setelah itu mereka semakin dekat. Kerjakan tugas bersama. Jalan-jalan bersama. Dia seolah terbawa ke awang-awang dengan Jerry sebagai pilotnya. Dia benar-benar menikmati saat Jerry menatapnya, tersenyum padanya dan menyapanya. Hingga semuanya berubah ketika Vera mengatakan kalau dia juga menyukai Jerry. Sampai di sini, semua kegembiraannya sirna. Segala kesedihannya bahkan tak hilang sampai kini. Bila dia melihat Vera yang begitu jujur mengungkapkan perasaannya, dia merasa rendah diri. Dia hanya bisa memendam saja rasa tulus di hatinya. Dan itu membuatnya sering meneteskan air mata. Setelah diperhatikan, ternyata Vera dan Jerry sepadan. Dan dia mengalah karena berpikir itu yang terbaik yang bisa dilakukannya. Meski, itu seperti mengiris hatinya dengan belati. Dia juga tahu, apa yang dilakukannya akan berakibat Jerry menjauh darinya. Juga mungkin membencinya. Tapi dia terpaksa. Satu kejujuran darinya juga mungkin hasilnya sama saja. Jerry kemungkinan tetap menjauhinya. Dan rasanya akan lebih menyakitkan hatinya sebab sebelumnya sudah pernah terjadi.
Dia sempat tertidur sebentar. Kemudian terbangun lagi. Rupanya sekarang sudah jam dua. Rumahnya sepi. Adiknya Ryo sepertinya sedang keluar. Dan Rico, tadi dia sempat melihatnya sebelum tertidur. Dia berjalan keluar dari kamarnya. Dia tak merasa lapar jadi tak segera ke dapur. Mungkin kebiasaan baru pulang sekolah pada jam-jam begini mengubah kebiasaan makannya. Saat dia baru duduk di sofa, suara motor terdengar mendekat lalu berhenti. Julia mengintip melalui kisi-kisi jendela dan hatinya berdebar karena melihat Jerry kini berada di depan rumahnya. Jerry tampak ragu. Kemudian dia berjalan masuk ke halaman rumah. Julia khawatir Ibunya akan keluar kalau dia tak segera menyambut Jerry. Jadi dia terpaksa juga menemui laki-laki yang sedang dihindarinya. Tapi terlebih dahulu, dia memasang wajah dinginnya.
Jerry tak jadi memanggil begitu melihat Julia muncul. Mulutnya menganga tapi dia bungkam seribu bahasa. Dia malah menatap lantai di bawah kakinya.
Julia juga diam saja. Tidak mencoba bicara atau bergerak. Di hatinya sedang berkecambuk antara senang dan sedih. Saling tendang sana sini, dan rasanya sakit sekali.
Jerry melangkahkan kakinya pada anak tangga yang hanya tiga biji itu. Begitu jaraknya tinggal sekitar satu setengah meter dengan Julia, dia menghembuskan napasnya tertahan.
"Kamu kenapa tak datang hari ini? Kamu sakit?"
Oh, tolong jangan memberi perhatian padaku. Jangan terlalu baik padaku, Jer. Nanti aku akan sulit melupakanmu, ujar Julia dalam hati. Tapi kemudian dia hanya menggeleng dan Jerry sedikit kecewa.
"Buat apa kamu ke sini?"
Pertanyaan ini menembus dadanya dan mengiris hatinya. Rasa sakit tak kasat mata hampir membuat kedua kakinya tak mampu menyokong tubuhnya. Apalagi gadis di depannya tampak angkuh dan tak berekspresi. Tapi Jerry berusaha menenangkan diri. Dia menarik napasnya dengan pelan dan berat.