Telepon ditutup oleh pak Eko. Renan tak kehilangan akal, dia menyalakan laptop, menunggu booting dan memasukkan password, membuka browser, menulis nama raito di mesin pencarian. Terindex beberapa tautan yang memberi informasi tentang Raito, Renan membuka tautan itu dalam beberapa tab dan terbenam membaca dan mencari data yang akurat dalam berbagai tulisan yang mengarah ke kawannya.
Selasa, 11 Oktober 11. Pertemuan ke 9 di kelas pelatihan. Semua mahasiswa hadir tak terkecuali dengan Raito, Renan dan kawan-kawannya. Mereka sudah sampai di tempat duduk mereka.
“Kita perlu bicara, Raito.”
Kata Renan kepada Raito.
“Mustahil kita bicara disini saat ini, kapan, dimana?”
Tanya Raito.
“Nanti selesai kelas ini, di cafe kampus.”
Jawab Renan.
Wanda dan Tyna yang duduk didepan mereka berbalik memandangi keduanya dari depan dengan dahi yang mengerut penuh tanya. Risa masih juga berada di bangku tengah tepi favoritnya ditemani Rina entah untuk urusan apa. Selesai kelas pelatihan, Risa dan Rina menghilang entah kemana mengacuhkan kawan karib mereka yang lain. Sementara Renan, Andi, Raito, Wanda dan Tyna bergerak menuju ke cafe yang terpisah selasar panjang di kampus. Sampai disana, mereka duduk di meja bundar berukuran besar dengan tujuh bangku yang mengelilinginya. Andi memanggil pelayan,
“Menunya bang?”
Segera setelah itu pelayan cafe membawakan daftar makanan dan minuman yang langsung disambar oleh Andi yang perutnya berdecit pertanda cacingnya kelaparan.
Renan tiba-tiba nyeletuk,
“Aku sudah tahu berita dan rumor lamamu dari internet Rit, apa semua itu benar?"
Raito yang seakan tahu kemana arah pertanyaan Renan, tak segera menjawabnya, Ia memandangi Renan lalu menjawabnya,
“Anggap saja semua yang kau tahu itu benar Ren, maaf, aku harus pergi.” Balas Raito yang merasa tak nyaman dengan pertanyaan Renan dan pergi meninggalkan kawan-kawannya itu dengan wajah tanpa senyum. Andi, Wanda dan Tyna bingung dengan percakapan Renan dan Raito.
“Ada apa dengan Raito, Nan?”
Tanya Wanda.
“Bukan apa-apa kok say, makan saja yuk.”
Renan berbicara sambil tangannya membelai rambut si Wanda yang duduk di sebelah kirinya. Andi dan Tyna menimpali serentak bersama-sama, “Wah wah, traktirannya Nan!”
Renan hanya tersenyum.
Sejenak mereka melupakan Raito yang pergi begitu saja dengan memesan makanan yang tersedia di daftar menu. Makanan dan minuman datang. Mereka berempat mulai tertawa bersama dan bersenda gurau di cafe itu sambil memakan makanan yang mereka pesan.
“Tenang saja ndi, aku yang traktir!”
Kata Renan yang melihat Andi sedang mengecek isi dompetnya dibawah meja,
“Sip Nan, aku nambah kalau gitu.”
Andi langsung memesan segelas moccacino lagi.
Risa dan Rina datang membawa dua tas plastik kemudian menghampiri mereka.
“Hai, Ris!”
Sambut Andi dan Renan serentak. Risa hanya tersenyum membalas sapaan mereka.
“Raito mana?”
Tanya Risa sambil menarik kursi untuk duduk bersama mereka.
“Sudah pulang duluan Ris.”
Jawab Wanda.
"Eh Ris, ikut aku sebentar."
Kata Renan.
Risa patuh mengikuti Renan yang mengajaknya duduk di bawah pohon beringin berjarak dua puluh langkah kaki dari cafe yang letaknya di halaman kampus.
"Ada apa nan?"
Tanya Risa sambil menata rambutnya.
"Kamu tahu kalau tugas waktu itu novelnya Raito dari siapa?"
"Dari teman kakakku, seprofesi sama-sama artis."
Renan berpikir sejenak, dalam hatinya 'Apakah orang yang menjemput Raito waktu di lapangan tenis itu?' Kemudian bertanya pada Risa,
"Apa dia orangnya tinggi, kurus, sepertinya menjadi bintang iklan jamu itu?"
"Ya Ren, dia orangnya. Memang ada apa kok kamu bertanya seserius ini?"
"Aku boleh minta nomornya tidak?"
Risa mengutak-atik handphonenya mencari nomor Olan, ketemu dan ditunjukkan ke Renan, Renan mencatatnya sesuai dengan nama yang tercatat di hp Risa, Rolland Daniel.
Renan lalu mengajak Risa kembali ke meja tempat kawan-kawannya masih berkumpul tanpa memberi alasan mengapa dia memerlukan nomor Olan.
Mereka sudah bersiap-siap untuk bubar.
Renan mengajak pulang Wanda, Wanda pun merangkul tangan kanan Renan, Andi dan Tyna pun mengikuti dengan jemari yang saling berpegangan.
"Tunggu sebentar, kalian ini sudah pada jadian?"
Rina terkejut dengan pemandangan mesra didepannya. Tak ada yang menjawab, Renan tersenyum, Wanda tersipu malu, Andi tertawa, sementara Tyna mengangguk. Risa pun tampak tak peduli dengan hal itu.
Mereka pun kembali ke tempatnya masing-masing.
Risa sore itu pergi ke studio shooting, dia disana bertemu dengan Olan dan kakaknya.
Saat itu Risa melihat Olan yang sudah bersih dari make-up, sementara kakaknya masih disibukkan dengan naskah yang perlu dihapalnya. Risa menyeret Olan ke ruangan yang bersebelahan dengan Studio. Disana tempatnya luas seperti baru saja di set untuk panggung musik dengan bangku yang terjajar rapi. Olan dan Risa pun duduk di bangku itu bagian tepi. Olan melihat salah satu anak buah Ersa yang berkumis tebal memperhatikan mereka dari balik pintu kaca namun tak melakukan apa-apa. Risa saat itu memohon kepada Olan agar menceritakan semuanya tentang Raito. Olan berpikir cukup lama, Ia akhirnya memulai ceritanya dari awal perkenalan dia dengan Raito.
Juli tahun 96
Pagi itu hari pertama masuk untuk murid-murid baru smp Betlehem 1 setelah masa orientasi siswa. Olan yang sudah mempunyai beberapa teman baru semasa mos tampak dengan mudahnya berbaur dengan yang lain sebelum upacara berlangsung.
Saat upacara, Olan terheran akan kehadiran seseorang yang sepertinya tidak mengikuti mos berdiri di sampingnya dengan tenang disaat upacara. Anak itu menatap Olan dengan tatapan dingin. Tak ada senyum. Olan yang kemudian takut tak banyak bicara ketika anak itu disampingnya.
Upacara selesai dan seluruh siswa masuk ke kelas masing-masing. Anak yang diam tadi ternyata juga duduk bersebelahan dengan Olan. Olan diam mengikuti pelajaran. Namun, hatinya terusik ingin berkenalan dengan anak disampingnya itu. Saat itu, pergantian jam pelajaran yang berarti pergantian guru. Olan memulai percakapan dengan anak disebelahnya.
"Hai, boleh kenalan?"
Sambil menyodorkan tangan kanannya. Tangan itu disalami tetapi anak itu tak menoleh, tetap sibuk dengan membaca buku yang dibawa dengan tangan kirinya.
"Olan!"
"Raito!"
"Eh, sepertinya kamu tidak ikut mos kemarin?"
"Ah, itu bukan hal yang penting kan?"
"Emm, kan kamu bisa mengenal tata letak bangunan di lingkungan sekolah ini, mengenal guru-gurunya, bisa berkenalan dengan banyak teman, mengapa hal itu tak penting untukmu?"
Raito menjelaskan kalau dia sudah mengelilingi sekolah ini disaat dirinya mendaftar, memahami beberapa petunjuk yang ada disetiap bagian bangunan dan areal sekitarnya. Lalu memberikan argumentasi kepada Olan.
"Apakah kamu juga akan buang air di tempat yang kamu tahu itu adalah warung makan? Tentu kamu akan mencari wc bukan?”
Menurutnya lagi hal-hal seperti ini, tak perlulah berpanas-panasan bersama dan memakai topi nelayan dengan pernak-pernik yang tampak membodohi diri sendiri.
“Memang disini tempat badut beraksi? Kita disini untuk belajar, ya sudah, belajar saja!"
Kata Raito dengan nada datar, keras dan jelas.
"Hehe, ya ya! Kau ini lucu!"
Jawab Olan yang tiba-tiba merangkul Raito dari samping. Raito yang tak menolak dirangkulpun ikut tertawa bersama Olan. Raito merasa nyaman dengan reaksi dari Olan yang tak memperlihatkan permusuhan dari kata-katanya yang tajam tetapi malah menganggapnya lucu.
Mereka berdua pun menjadi sohib akrab semasa smp. Memang, Olan yang sangat supel berbanding terbalik dengan Raito yang dingin dan cuek. Olan adalah seorang anak yang rajin beribadah sesuai dengan didikan orangtuanya yang taat dan ketat untuk urusan agama sementara Raito seperti anak yang dibiarkan begitu saja sama seperti ibadahnya yang bolong-bolong dan kesulitan dalam pelajaran agama yang penuh hapalan.
Walau begitu, Olan selalu bisa mempercayai Raito untuk hal-hal yang tak bisa disebarluaskan karena Raito dianggapnya seorang anak yang bisa menyimpan rahasia. Sekalipun rahasia tak penting yang ingin dijaga Olan semasa smp. Sementara Raito menganggap Olan orang yang bisa menerima dan diterima oleh siapa saja, terbukti semasa smp Olan sudah gonta-ganti kekasih berkali-kali. Olan juga bisa bercanda dalam berbagai bentuk tanpa ada masalah ke depannya sehingga Raito dan Olan saling mengisi satu dengan lainnya.
Setelah sekitar satu tahun kenal, masuk kelas VII. Olan berani menarik kesimpulan bahwa hanya ada dua hal yang disukai oleh kawannya itu, menulis, dan tenis. Diluar dari itu, Olan menyadari bahwa hal-hal lain seperti gengsi yang makin meninggi semasa remaja tak terjadi di dalam diri sohibnya ini. Berbeda dengan dirinya yang masih merasakan hal itu.
Oleh karena itu, sekalipun permainan tenisnya saat itu sudah sekaliber pemain pro junior, Raito tak pernah tertarik mengikuti satupun turnamen junior di daerah karena dirinya tak ingin menjadi terkenal. Lagipula, orang tuanya tak mengijinkan Raito ikut turnamen ataupun klub karena mereka menganggap hal itu pasti mengganggu sekolahnya dan Raito menuruti keinginan kedua orang tuanya.
Pernah suatu kali setelah bermain tenis. Olan melihat Raito dinasehati orangtuanya karena Raito bisa berjam-jam di lapangan tenis tetapi ketika disuruh untuk belajar, malah membaca komik ataupun novel.
Kala itu, orangtuanya mengingatkan Raito bahwa prestasi petenis di Indonesia tak ada yang mengkilap. Sehingga tak ada gunanya berkarir menjadi seorang pemain tenis. Contoh yang pantas hanya bisa didapat dari seorang Yayuk Basuki yang sempat menjadi perempatfinalis Grand Slam Wimbledon pertengahan tahun 90an yang sekarang nasibnya terabaikan, kata mereka. Tak ada petenis pria yang mampu menyamai prestasi itu sampai sekarang.
Beberapa hal mengalami perubahan semenjak kehadiran sepupu Olan yang pindah satu sekolah dengan Raito dan Olan.
Raito menjadi sedikit rajin beribadah, selalu memasang tampang cerianya, senyumnya mulai mengembang, berbeda dibanding sebelumnya.
Gadis itu Hana namanya, seorang gadis seumuran Raito dan Olan, mempunyai rambut asli coklat bergelombang terlihat rapi dengan bando yang selalu menempel menata rambut kepalanya, parasnya yang cantik dengan warna kulit yang kuning, berbibir sedang, bermata sayu dengan tulang dahi yang sedikit tinggi, sedang tumbuh menjadi seorang wanita muda yang kalem, agamis, dan cantik. Olan dan Hana berangkat bersama dan akhirnya juga berkenalan dengan sohibnya Olan, Raito. Setelah itu, mereka bertiga sering bersama. Raito pun menunjukkan coretan-coretan kertasnya kepada Hana juga.
Ketika bermain tenis, Hana juga membantu Olan dan Raito memunguti bola. Olan yang ketika itu masih saja tak terampil bermain tenis tetap menemani Raito bermain. Ketika Raito memukul bola dengan keras Olan selalu memukul balik bola itu hingga terlempar jauh dari garis lapangan menuju langit.
“Kau pikir ini baseball!!”
Sindir Raito kala itu. Olan pun menimpali,
“Itu pukulan home run Rit!”
Jawab Olan seakan mengiyakan sindiran Raito.
Olan dan Hana hanya menjadi penonton ketika Raito bermain dengan para bapak yang hobi bermain tenis hanya untuk menyegarkan badan. Raito selalu tak memberi ampun para orang tua itu. Smash kerasnya menghunjam lapangan, slice-nya membuat bola tak terpantul ketika menyentuh tanah, spinnya membuat pantulan bola lebih cepat dan tak terjangkau oleh para orang tua itu.
Salah satu dari bapak itu adalah Pak Eko. Dia melihat talenta besar di Raito muda dan selalu mengundangnya mengikuti klubnya dan turnamen junior daerah walau itu selalu ditolak Raito dengan alasan izin tak keluar dari orang tuanya.
Hari demi hari berlalu. Tak serasa setahun berselang semenjak mereka bertiga bersama yang itu artinya mereka semua kelas IX. Tak seperti Olan yang sudah berganti-ganti kekasih saat itu, sementara Raito tak pernah peduli atau mengajak bicara seorang gadis walau yang didepannya adalah gadis muda menawan, dia tetap akan diam tanpa menatap gadis itu, kecuali kepada Hana.
Satu-satunya gadis yang bisa membuat Raito tersenyum setiap bertemu dan Raito selalu saja mengomentari bando dikepalanya yang membuat Raito mengenali kalau itu adalah Hana. Karena kebersamaan yang sering itu, muncul perasaan berbeda di hati Hana kepada Raito yang diutarakan kepada sepupunya, Olan.
Olan cukup senang mendengarnya.
Hana dan Olan duduk mengobrol di kantin sekolah sementara Raito berada di perpustakaan sekolah.
“Lalu, apa Raito juga merasakan hal yang sama?”
“Aku tak tahu Lan, apakah kamu pikir Raito juga suka aku? Aku takut kalau perasaan ini melukai persahabatan kita.”
“ Katakan saja han.”
Hana menggeleng tanda tak mau,
“Masa cewek mulai dulu?”
“Kalau begitu tunggu saja sampai dia yang bilang.”
“Emmmmh” Hana cemberut dengan solusi tak menyelesaikan masalah yang diberikan sepupunya ini.
“Nanti aku akan beri kalian waktu yang cukup untuk berdua.”
Kata Olan mengakhiri pembicaraan.
Mereka berdua menjemput Raito di perpustakaan dan berjalan bertiga menuju kelas di ujung masa istirahat.
Januari tahun 99, musim penghujan mengisi jalan-jalan di Kota Suba dengan air tak terkecuali di sekolah smp Betlehem 1.
Siang itu matahari tertutup awan mendung dan hujan deras memulai konsernya, tak lupa petir dengan dentuman guntur memberi orkestra alam ini irama uniknya.
Para siswa-siswi pulang. Ada yang dijemput, ada yang naik angkutan umum, ada yang berjalan sambil memegang payung, ada yang memakai mantel dan berlari dengan cepatnya di hujan deras itu.
Olan berpamitan lebih dulu kepada Raito dan Hana untuk mengantar gebetannya yang tak membawa payung waktu itu, Sinta namanya. Sementara Hana tak membawa payung dan Raito hanya membawa payung kecil. Mereka berdua akhirnya pulang berjalan berdua dengan payung yang dibawa Raito. Jarak rumah Hana dengan rumah Raito sekitar dua ratus meter, dan jarak sekolah ke rumah Hana sekitar tiga ratus meter. Oleh karena itu, mereka lebih sering berjalan kaki daripada naik angkutan umum apalagi bersepeda.
Hujan yang deras membuat Hana menempel lebih dekat ke Raito yang memegang payung dengan tangan kirinya, tangan kanan Hana memeluk belakang pingggang Raito dan kepalanya bersandar di bahu Raito. Raito cukup kaget dengan perlakuan Hana itu, 'tak biasanya', pikirnya.
Hana memecah kesunyian itu,
“Apakah kamu menyukai seorang cewek, Raito?”
“Ya.”
“Siapa?”
Hana meluruskan kembali kepalanya dan memandang Raito sedikit cemas. Sambil berjalan, Raito tak segera menjawabnya.
“Siapa?” Hana mengulangi pertanyaannya dengan suara lebih keras dan raut muka lebih cemas.
“Orang itu sepupu sohibku, dia menemaniku di hujan yang dingin ini saat ini.”
Hana terdiam terbengong, Raito lalu berusaha mencium bibir Hana. Bibir mereka bersentuhan. Bersamaan dengan itu mobil mercedes benz hijau melewati jalan yang tergenang air dan cipratan air itu mengenai kedua insan yang sedang beradu bibir itu. Mereka basah dengan cipratan itu.
Raito memandang mercedes itu dan dengan seksama melihat seorang ibu didalamnya melotot melihatnya di balik jendela. Hana yang tersadar kembali menjauhkan wajahnya dari Raito, menamparnya pelan dengan tangan kirinya. Lalu berlari di tengah hujan deras itu. Raito terbengong sambil memegangi pipinya yang tertampar. Dia tidak mengejar Hana, tapi melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah perlahan. Seperti sedang menikmati momen ciuman pertamanya dengan memegangi bibirnya sendiri.
Hana sampai didepan pagar rumahnya. Ia melihat mercedes benz yang baru lewat tadi terparkir di carport rumahnya. Hana masuk rumah, pintu terbuka.
“Mama!!”
Ucap Hana sedikit kaget. Terlihat oleh Hana Ibunya berdiri melihatnya dengan tatapan tajam, lalu menamparnya,
“Apa yang kau lakukan dengan anak lelaki tadi?”
Kata mamanya membentak. Hana merunduk tak menjawab sambil memegangi pipinya.
“Mama lihat tadi, masih smp saja kamu mau diajak ciuman. Apalagi kalau sma nanti!”
Suara mama Hana makin keras.
Ayah Hana mencoba menenangkan istrinya. Dan menyuruh Hana untuk mengganti bajunya yang basah kuyup itu. Hana mengangguk dengan mata berair yang tak terlihat karena wajah, tubuh dan rambutnya juga basah, Hana berjalan ke kamar mandi di lantai atas dengan tetesan air yang membasahi lantai dimanapun ia melangkah.
Percekcokan diteruskan oleh Ayah dan Mama Hana, mereka yang baru saja pulang dari luar negeri tentu saja tak tenang melihat anak satu-satunya mau saja diajak berciuman ditempat umum. Ibu Olan merasa bersalah meninggalkan anaknya dalam pengawasan adiknya dan berpikir seharusnya Hana melanjutkan belajar di luar negeri saja mengikuti kedua orang tuanya daripada di Indonesia.
Ibunya Olan yang mendengar keributan itu masuk ke ruang keluarga dari dapur,
“Sudahlah kak, kalau anakmu itu ikut kalian di luar negeri, masalah bahasa dan kewarganegaraan kan nanti jadi persoalan utama, lebih baik dia disini.”
“Ini juga adik, tak ada yang mendukungku.”
Suasana di dalam rumah menjadi sedikit tegang. Tak berapa lama setela itu, Olan pulang langsung membuka pintu kaget melihat tante dan omnya datang. Dia menyapa, tante Ana membalas dengan ucapan datar, sementara Om Adi melihatnya dan melambaikan tangan. Olan lalu ke kamarnya yang bersampingan dengan kamar Hana.
Terlihat Hana di depan pintu kamarnya bermuram durja.
“Aku ganti dulu Han.”
Hana mengangguk. Selesai ganti baju, Olan membuka pintu kamarnya keluar, dia disambar dengan pelukan oleh sepupunya itu sambil menangis sesenggukan di dadanya Olan. Olan bingung dan menempatkan sepupunya itu di kursi di depan kamar mereka.
“Ada apa?”
Hana lalu menceritakan kejadian dengan Raito dan juga mamanya yang menamparnya tadi kepada Olan dengan suara serak dan mata berair. Olan menenangkan sepupunya itu dengan memeluknya. Sementara dibawah para orang tua itu seperti sedang mendiskusikan sesuatu.
Malamnya, ibu Hana menghampiri kamar anaknya itu mengetuk pintunya.
“Hana.”
Dengan suara halus dan pelan Ibu Hana memanggil. Hana keluar,
“Ea ma.”
Hana langsung memeluk Ibunya.
“Hana kangen mama.”
Jawab Hana dengan suara serak dengan mata berair penuh suka cita.
“Besok kita belanja han.”
Hana mengangguk dan tersenyum setelah melepas dekapan dari ibunya,
“Nah gitu kan cantik anak mama ini.”
Sambil mengusap-usap rambut anak satu-satunya itu.
Pagi itu, Masih di Januari 99. Hari minggu, pukul 05.00, mentari belum menunjukkan cahayanya dan juga sang ayam belum sempat bernyanyi. Raito sudah teriak-teriak di depan pagar rumah Olan sambil menjinjing Tas Tenis beserta satu plastik penuh bola.
“OOOOLAAN!”
“HAAAAANAA!”
Ibunya Hana keluar membuka pintu utama dengan tatapan mata tajam. Raito kaget, mengernyitkan dahi. Dalam pikirnya 'Mirip dengan ibu-ibu yang melotot di dalam mercedes kemarin' dan Raito melihat mercedes itu terparkir di carport rumah itu.
“Mau diajak kemana mereka sepagi ini?”
Tanya Ibunya Hana.
“Tenis tante!”
Tante Ana memperkenalkan dirinya dan menjelaskan kepada Raito kalau hanya Olan yang bisa menemani Raito bermain tenis, sementara Hana tak bisa.
“Oh begitu, tak apa tante, eh, saya Raito.”
Tante Ana memperhatikan Raito seksama, dia teringat melihat wajah anak ini ketika di dalam mobil, melihatnya satu payung bersama Hana kemarin di pinggir jalan saat hujan deras. Lalu mengeluarkan suara sedikit tegas,
“Lain kali, jangan sembarangan cium anak orang ya?”
Raito terdiam mendengar hal itu, Olan datang menghampiri mereka.
“Sebentar kawan. Aku siap-siap dulu.”
Olan lalu kembali masuk ke rumah sambil mempersiapkan sepatu dan raketnya.
Hana yang masih mengenakan pakaian tidur melihat Raito dari teras rumah sambil memegang pintu dan mengucek-ucek matanya. Mereka saling berpandangan dengan tatapan tak berkedip.
Ibu Hana menyuruh Hana masuk. Hana masuk kembali ke dalam rumah menuruti ibunya.
Olan dan Raito menghabiskan setengah hari hanya untuk bermain tenis dan juga mengobrol. Hana dan mamanya berbelanja pakaian di salah satu toko konveksi kenalan mama Ana. Hana dibelikan kerudung dan pakaian jilbab yang berwarna sama dengan pakaian seragam sekolahnya.
Sore hari, saat badan Olan masih sangat capek hari itu, dia rebahan di karpet ruang keluarga, sendiri, ditemani televisi yang berbicara sendiri dan melihat Olan kecapaian. Ia dikagetkan dengan Hana yang tersandung kakinya. Olan kaget
“Beli apa aja?”
Olan bertanya sambil melihat bawaan Hana
“Banyak.”
Olan berdiri dan membawakan belanjaan Hana ke kamarnya. Olan kembali ke kamarnya.
Pagi harinya, saat sekolah dimulai, Olan dan Hana diantar oleh ibunya. Raito yang biasanya bersama mereka pun berangkat sekolah sendiri.
Hana yang mengubah dandanannya menjadi lebih alim dengan berjilbab tertutup ternyata disambut dengan baik oleh teman-teman sebayanya yang juga berjilbab. Mereka merasa Hana lebih cocok seperti ini daripada dahulu dengan pakaian yang sedikit terbuka.
Namun, berbeda dengan Raito yang melihat Hana dengan pakaian tertutup ini seperti melihat orang asing. Ketika mereka berpapasan pun Raito tak bertegur sapa apalagi bercanda. Hana yang masih memendam rasa ke Raito tak bisa menyembunyikannya kekecewaannya terhadap sikap Raito. Kekecewaan itu dilampiaskan ke Olan sepupunya.
Olan kemudian menjelaskan ke Raito kalau anak yang berjilbab baru di kelas itu adalah Hana. Orang tua Hana yang membelikan seragam baru itu untuk mengubah image Hana gara-gara insiden ciuman dengan Raito yang terlihat ibunya waktu itu.
Raito mengaku kepada Olan kalau dia hanya bisa mengenali sepupunya dari bando dan rambut coklatnya sehingga tak bisa mengenali bila kedua hal itu tertutupi. Tak ada tanda-tanda Raito berkeinginan meminta maaf kepada Hana untuk insiden tempo hari.
Hari-hari setelah itu berlalu dalam keadaan yang datar. Hana selalu dijemput oleh kedua orang tuanya sehingga waktu bermainnya bersama Olan dan Raito jauh berkurang.
Tak hanya itu, Raito sekarang agak canggung ketika berdekatan dengan Hana yang berpakaian tertutup rapat. Entah selama sekolah ataupun ketika bermain di tempat Olan.
Sedikit polemik ini teratasi dengan aksi dari Olan dengan silat lidahnya yang menjelaskan kepada tantenya kalau Raito itu anak baik-baik. Hal yang tak sepenuhnya salah memang. Mengingat sebetapa akrabnya Raito dengan Olan yang diketahui oleh tantenya juga. Akhirnya Raito diterima di keluarga besar Olan dan diperbolehkan bermain bersama Hana di dalam rumah mereka.
Olan juga menyuruh Raito dan Hana memproklamirkan hubungan mereka sehingga tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan dan hubungan mereka jelas dimata keluarga. Mereka pun memproklamirkan hubungan itu cinta masa muda itu didepan keluarga sehingga tak ada yang tertutupi lagi. Seluruh anggota keluarga tertawa melihat kegugupan Raito ketika menyatakan cintanya ke Hana di depan ayah, ibu hana dan ibu Olan. Memang, pernikahan masih jauh, tetapi paling tidak hal itu memperjelas keadaan waktu itu.
Hubungan keduanya berlanjut sampai sma ketika mereka bersekolah di sekolah yang sama lagi. SMA Bethoven II. Tak lupa juga Olan yang masih sering gonta-ganti pacar selama sma sampai tak terhitung lagi jumlahnya. Sementara itu, Raito jadi rajin beribadah, rajin mengaji bersama Hana tentunya. Raito juga tak sedingin dahulu lagi. Ia bergaul dengan siapa saja dengan perasaan antusias meskipun dari segi jumlah, kawan Raito kalah banyak dibanding kawan Olan. Tak lupa juga ia masih berlatih tenis dan juga mengisi berbagai kertasnya dengan tulisan bersama Olan dan Hana walau tak ikut turnamen junior apapun.
Hubungan dengan Hana pun semakin intens walau keduanya tak bersentuhan satu dengan yang lain. Hal ini berlanjut sampai Raito lulus dari Mechanical University of Suba sebagai sarjana mesin dan langsung diterima bekerja di Perusahaan Automobil Jepang sebagai engine checker (pengecek/pengawas) dan Olan yang tak melanjutkan kuliah tetapi menjadi Artis karena keinginannya dan juga wajahnya yang rupawan didukung dengan tinggi tubuh 180cm membuatnya tahan lama sebagai artis. Sementara itu Hana juga lulus dari Akademi Keperawatan di kota Suba juga. Diterima sebagai perawat di Rumah sakit di pusat Kota Suba.
Selang dua tahun setelah kelulusan, sekitar tujuh tahun hubungan dengan Hana yang masih awet bertahan. Raito yang sekarang berumur 23 tahun mampu membeli mobil pertamanya yang juga favoritnya, Mitsubishi Gallant 1992 dari hasil kerjanya. Tak hanya itu, Rumah Orangtua Raito pun diwariskan kepadanya karena Ayah Raito tak lagi bertugas di Kota Suba. Ditambah akhirnya Raito menuntaskan dahaga tenisnya dengan mengikuti Turnament Tennis Men International dari babak kualifikasi yang diadakan di Ibukota Negara, Jakar.
Pak Eko, pelatihnya dulu yang diberi info kalau Raito mendaftarkan dirinya dalam turnamen semakin antusias untuk mengikuti turnamen dari babak kualifikasi paling awal. Pendaftaran Raito dalam turnamen pun diikuti lamarannya kepada Hana yang diterima oleh keluarga besar Hana.
Sementara keluarga besar mempersiapkan acara hajatan dengan serius. Kedua mempelai masih disibukkan oleh pekerjaan mereka masing-masing. Tak hanya itu, Raito yang memulai debutnya di ajang tenis pun mempersiapkan dirinya untuk bermain di kualifikasi babak pertama sebagai non unggulan.
Turnament yang sedianya berjalan dua minggu itu diawali dengan hari pertama untuk kualifikasi yang akan menghabiskan tiga hari dalam tiga babak. Babak kualifikasi ini akan meloloskan 16 petenis non unggulan. Sementara kedelapan petenis unggulan sudah mendapat tempat di babak 32 besar. Delapan petenis lainnya mendapat ticket wild card dari negaranya masing-masing untuk memulai ajang ini tanpa melalui babak kualifikasi.
Pertandingan pertama babak kualifikasi selesai dengan kemenangan untuk Raito dengan skor 7-5 7-5 melawan pemain veteran negeri ini. Kala itu, setelah pertandingan, pak Eko menghampiri Raito. “Masih gugup ya?” Raito mengangguk dengan ekspresi memarahi dirinya sendiri. Ia tahu permainannya tak sebagus biasanya. Mungkin pertama kali bermain dalam ajang yang dilihat cukup banyak orang membuat dia demam panggung dan belum mampu menunjukkan permainan terbaiknya.
Pertandingan kedua Raito mampu terlepas dari demam panggung yang diderita di pertandingan sebelumnya sehingga memenangkan pertandingan dengan skor 6-0 6-0 melawan petenis asal Bangladesh.
Pertandingan ketiga babak kualifikasi Raito memenangi dengan trend yang cukup bagus dengan skor 6-0 6-0 melawan petenis asal Brunei. Sehingga Raito lolos babak kualifikasi dan melaju ke babak 32 besar.
Hari keempat turnamen tak ada pertandingan. Hari itu adalah hari dimana para peserta beristirahat. Tetapi tak ada istirahat untuk Raito karena ia harus menjadwal pekerjaannya, ijin ketika mengikuti turnamen dan juga mempersiapkan pernikahan bersama Hana yang diadakan hampir delapan hari lagi, hari jeda menjelang final yang merupakan momen yang hebat jika Raito juga bisa masuk ke final. Raito dan Hana sibuk mempersiapkan wedding dress, memilih kartu undangan, foto-foto, menyebarkan undangan.
Beruntung hari-hari baik terus menaungi Raito sehingga Ia juga mampu melibas lawan-lawan tangguhnya di babak 32 besar sampai semifinal
Petenis Filipina non unggulan dikalahkannya di hari kelima babak 32 besar dengan skor 6-1 6-1
Petenis Singapura unggulan ke 8 dikalahkannya di hari ke tujuh babak 16 besar dengan skor 6-1 6-1
Petenis Indonesia lolos dari wild card dikalahkannya di hari ke sembilan babak perempatfinal dengan skor 6-0 6-2
Beberapa pelatih yang tak memprediksi akan munculnya seorang petenis non-unggulan yang mampu melibas lawannya dengan skor yang meyakinkan mulai menganalisis setiap pergerakan dan juga kemampuan teknis Raito dari video setiap pertandingan yang sudah direkam oleh panitia.
Ujian sebenarnya hadir di babak semifinal hari ke dua belas dimana lawannya adalah unggulan pertama asal Australia. Hana dan Olan yang menyaksikan dari bangku penonton pun menambah semangat Raito.
Babak pertama usai dengan kemenangan lagi-lagi untuk Raito dengan skor 6-2
Babak kedua saat kedudukan 2-1 untuk Raito, senar raket Raito terputus. Raito merasa ada sesuatu yang janggal dari putusnya raket itu, Ia lalu melihat Hana dan Olan di bangku penonton. Hana melambaikan tangannya lalu mengepalkannya untuk memberi semangat calon suaminya itu. Raito lalu melanjutkan pertandingan itu menggunakan raket cadangannya. Raito menang mudah lagi dengan skor 6-3.
Setelah pertandingan, semifinalis lain asal India yang akan bertanding berpapasan dengan Raito di pinggir lapangan dan memberi selamat Raito dengan berjabat tangan.
“Great game for anonym.” “Permainan yang bagus untuk orang yang tak terkenal.”
“Thanks.” “Terima kasih.”
“But if I go on further, I prefer to play him than you cause I have good record when facing him.”
“Tetapi, jika saya melaju(sampai di final), saya memilih untuk melawan dia(orang yang dikalahkan Raito di semifinal) karena saya punya rekor yang bagus ketika melawannya.”
“Win this game of yours first.” “Menangkan pertandinganmu ini dulu.”
Setelah itu Raito kembali membawa raket dengan tangan kanannya memasukkan raket ke dalam tas dan pergi menjauh melewati lorong dimana disana ada Hana dan Olan yang menunggu sementara kedua semifinalis mempersiapkan diri di lapangan.
Pertandingan semifinal kedua berlangsung dengan kontestan dari India sebagai unggulan ketiga melawan unggulan kedua asal Thailand. Pertandingan itu dimenangkan oleh unggulan ketiga asal India dengan skor 6-2 6-4.
Satu hari setelah itu. Acara pernikahan Raito-Hana berlangsung khidmat di jeda turnament itu, Raito tak canggung saat membacakan ijab di depan penghulu di dalam masjid. Setelah Raito sah sebagai suami Hana, Acara dilanjutkan dengan resepsi di gedung yang sudah disewa saat itu. Kawan-kawan mereka berpesta. Standing party. Resepsi itu selesai sore hari sekitar pukul 15.00. Keluarga besar mereka masih berada di gedung ketika pasangan baru itu berpamitan pulang menuju rumah warisan orangtua Raito untuk urusan yang kalian tahulah menggunakan mobil favorit Raito yang sudah dihias.
Setengah jam kemudian, keluarga besar itu pulang menuju kediaman Orang tua Olan dan Hana dimana tempat itu menjadi penginapan sementara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H