“Memang Imah ngomong begitu?”
Elis diam lalu menelengkan kepala
“Ma?”
“Ya, pastilah.” Wajah Elis cemberut
“Belum tentu juga kan, Ma? Tidak baik berprasangka buruk.”
Tiba-tiba Elis diserang rasa bersalah. Betul juga kata Mas Hendro. Pikirnya. Tapi sudah terlanjur basah. Elis sudah mengusir Imah dari rumah.
Setelah kejadian itu, Elis lebih suka merenung di dalam kamar. Persisnya menangis. Laila dan Imah telah membangkitkan memorinya. Dalam dan jauh. Sesungguhnya ia takut ditinggalkan sang suami. Lelaki yang sangat ia cintai.
Elis sadar selama 10 tahun pernikahanya ia belum bisa memberikan anak kepada Hendro. Apakah gara-gara ini Papa lantas berpaling? Pa, mama sayang kamu. Jangan tinggalkan mama. Tapi, maafkan mama yang belum bisa memberikan kamu keturunan. Pikiran Elis berkecamuk penuh tanda tanya, hatinya kacau. Tangisnya pecah lagi. Ia membasuh wajahnya dengan air mata.
Elis juga sadar telah bersikap kasar kepada dua pembantunya. Padahal, ia tahu ia juga pernah ada dalam posisi itu. Elis masih ingat betul bagaimana ia memendam rasa cemburunya terhadap seorang lelaki yang kini menjadi suaminya. Ia sadar kalau dulu ia juga seorang babu di rumah Hendro. Babu yang kemudian masuk dalam kehidupan Hendro dan berubah status menjadi majikan. Ia resmi menjadi istri Hendro setelah istri pertama Hendro memilih kabur dengan lelaki lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H