Ia tak habis pikir kenapa Laila bisa seaneh itu dan sedemikian nekat mengatakan itu padanya. Tangannya meremas kertas tersebut lalu mengempaskannya ke tong sampah. Ia masuk ke kamar sang pembantu. Mencari-cari sesuatu yang barangkali bisa menjadi bukti bahwa di rumahnya mungkin saja sudah berlangsung perselingkuhan gila. Ia mulai menaruh curiga kepada sang suami. Apalagi, bagi Elis, Laila tidak jelek-jelek amat. Mungkin saja suaminya tergoda.
Ia mengacak-acak tempat tidur, mengais-ngais tumpukan kertas seperti seekor tupai, mengaduk-aduk laci, dan membongkar isi lemari. Ia tak menemukan apapun, kecuali debu dan handuk Laila. Handuk putih harta peninggalan Laila satu-satunya.
Bel berbunyi. Ia berlari kecil menuju pintu lalu membukanya kasar. Sang suami berdiri di luar dengan seulas senyum, senyum yang masih sama seperti sebelumnya. Si perempuan menyambutnya dengan sikap tak ramah. Ia butuh secepatnya penjelasan dari lelaki-nya itu.
“Ma…tolong suruh Laila buatkan es teh, papa haus sekali,” kata Hendro sambil melonggarkan dasinya.
“Papa tak usah lagi cari dia.” Wajah istrinya kaku. Ia sedang jengkel.
Hendro menoleh cepat ke arah istrinya. Ada nada heran.
“Dia sudah pergi.”
“Kenapa…Mama mengusir dia? Tanya Hendro tak sabar menunggu penjelasan.
“Iya.”
“Kenapa, Ma, kenapa dengan Laila?
“Kenapa…sepertinya Papa takut sekali kehilangan dia?” Sang istri menoleh sinis dengan tatapan curiga.