Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Babu...

25 Agustus 2015   14:09 Diperbarui: 25 Agustus 2015   14:21 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seorang babu cemburu pada majikan perempuannya. Hingga suatu hari, tanpa tedeng aling-aling, ia nekad mengutarakan semuanya.

“Bu, ada yang mau saya sampaikan.” Laila setengah membungkuk berdiri di samping majikannya.

“Ada apa Laila?” sang majikan menyahut pelan dari tempat duduknya sambil membolak-balik halaman majalah.

“Anu, Bu…maaf kalau saya lancang.”

“Tak apa-apa, sampaikan saja.”

Laila terdiam lalu, “Anu, Bu…eh,” Ia gugup. Kalimatnya terhenti di ujung lidah.

“Apa…mau pinjam duit?”

Laila menggeleng pelan.

“Mau pulang kampung?”

Laila masih menggeleng.

“Jadi apa?

“Eh, anu, Bu…Bapak.”

“Kenapa Bapak?” tanya sang majikan sambil melesatkan pandangnya ke arah pembantunya itu.

“E…e…saya suka Bapak, Bu.”

“Apa?!” Elis terlonjak bangkit dari kursinya. Majalah di tangannya seketika lepas dan jatuh di lantai.

“Jangan lancang kau Laila…jaga omonganmu!” bentak Elis

Laila tertunduk kemudian berkata, “Apa saya salah, Bu?”

“Iya jelas salah…” jawab Elis dengan nada tegas dan penuh amarah, “Bapak itu suami saya dan bapak itu tuanmu, majikanmu!”

“Saya juga manusia, Bu. Saya juga punya rasa sebagai perempuan, sama seperti Ibu.” Ia mendebat sengit.

“Iya, saya tahu itu. Tapi tak pantas kau mengatakan itu. Bapak itu sudah beristri dan istrinya itu saya. Saya itu majikanmu, Laila!” Katanya-katanya bergetar penuh luapan emosi.

Laila menundukkan kepalanya.

“Maaf, Bu sekali lagi maaf saya telah lancang. Tapi saya tak mau memendamnya lama-lama. Saya rasa saya harus sampaikan pada Ibu,” katanya sambil meremas-remas ujung bajunya.

“Tapi, Ibu jangan berprasangka buruk dulu. Bapak itu orang baik. Saya tak punya hubungan apa-apa dengan Bapak. Saya juga tahu diri, Bu. Saya juga tak pernah berpikir akan jadi istri bapak.”

“Hmm…bapak juga tentu tak akan sudi berhubungan dengan perempuan macam kau!” Sang nyonya mulai kasar.

“Bu…sekali lagi maafkan saya, tapi….”

“Cukup Laila. Saya tak mau lagi mendengar omongamu. Bisa gila saya. Sekarang kau kemas barangmu dan pergi dari sini!”

Laila sepertinya sama sekali tak menyesali ucapan yang baru saja tercetus dari mulutnya. Paling tidak ia lega. Meski ia sadar resiko yang akan ia terima setelah ia menyampaikan semuanya. Dan ia sudah siap dengan itu.

Ia beranjak ke kamarnya. Ia mengambil koper yang tersandar di dinding pintu. Malam sebelumnya ia sudah mengemas pakaiannya dan memasukkanya ke dalam koper itu. Laila memang sudah menyadari resikonya dan ia siap untuk itu. Sesaat kemudian ia kembali ke ruang duduk.

“Bu, saya pamit. Terimakasih atas semuanya.” Laila bergerak mendekati majikannya sedekat yang ia berani. Tangannya menjinjing koper warna merah.

Majikannya bergeming dengan melipat tangan di dada. Rautnya keras. Saat Laila melangkah meninggalkannya, Elis memanggilnya.

“Tunggu Laila! Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan secarik amplop putih tanpa menoleh sedikitpun kepada pembantunya itu.

“Ini gajimu untuk bulan ini, dan selebihnya adalah pesangon dariku.”

Laila tersenyum tipis.

“Tak usah, Bu. Terimakasih.” Ia menunjukkan sikap penuh hormat yang sangat didramatisir.

Ah, pembantu sombong. Kata Elis dalam hati.

Sebelum meninggalkan sang majikan, Laila meletakkan secarik kertas di atas meja. Dan Elis melihat itu, tapi ia pura-pura tak acuh. Begitu Laila benar-benar lenyap dari rumahnya, lekas ia menuju meja dan mengambil kertas itu. Ia membaca tulisan di kertas.

Kepada Bu Elis

Sebelumnya saya menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Saya tahu ini akan melukai Ibu. Tapi, saya tidak bisa menyimpan perasaan saya ini lama-lama. Saya harus mengatakannya pada Ibu.

Bapak orang baik. Terus terang saya cemburu setiap kali melihat Ibu berduaan dengan bapak. Apalagi saat saya, tanpa sengaja, pernah melihat ibu dan bapak berhubungan di kamar, saya sangat terbakar.

Sekali lagi, bapak itu orang baik. Setiap perempuan pasti akan jatuh hati melihatnya. Tolong, jangan sia-siakan Bapak. Dia orang baik.

Salam saya,

Laila

Elis mengerutkan dahi membaca surat itu lalu menggeleng-gelengkan kepala. Ia menjadi makin panas.

Hem, dasar pembantu sinting!

Ia tak habis pikir kenapa Laila bisa seaneh itu dan sedemikian nekat mengatakan itu padanya. Tangannya meremas kertas tersebut lalu mengempaskannya ke tong sampah. Ia masuk ke kamar sang pembantu. Mencari-cari sesuatu yang barangkali bisa menjadi bukti bahwa di rumahnya mungkin saja sudah berlangsung perselingkuhan gila. Ia mulai menaruh curiga kepada sang suami. Apalagi, bagi Elis, Laila tidak jelek-jelek amat. Mungkin saja suaminya tergoda.

Ia mengacak-acak tempat tidur, mengais-ngais tumpukan kertas seperti seekor tupai, mengaduk-aduk laci, dan membongkar isi lemari. Ia tak menemukan apapun, kecuali debu dan handuk Laila. Handuk putih harta peninggalan Laila satu-satunya.

Bel berbunyi. Ia berlari kecil menuju pintu lalu membukanya kasar. Sang suami berdiri di luar dengan seulas senyum, senyum yang masih sama seperti sebelumnya. Si perempuan menyambutnya dengan sikap tak ramah. Ia butuh secepatnya penjelasan dari lelaki-nya itu.

“Ma…tolong suruh Laila buatkan es teh, papa haus sekali,” kata Hendro sambil melonggarkan dasinya.

“Papa tak usah lagi cari dia.” Wajah istrinya kaku. Ia sedang jengkel.

Hendro menoleh cepat ke arah istrinya. Ada nada heran.

“Dia sudah pergi.”

“Kenapa…Mama mengusir dia? Tanya Hendro tak sabar menunggu penjelasan.

“Iya.”

“Kenapa, Ma, kenapa dengan Laila?

“Kenapa…sepertinya Papa takut sekali kehilangan dia?” Sang istri menoleh sinis dengan tatapan curiga.

“Papa juga suka dia, ya?

“Apa? Ya ampun.” Sang suami seperti tersengat lebah.

“Ma… apa apaan ini. Mama jangan ngawur begitu. Berpikir waraslah sedikit. Mana mungkin Papa suka sama dia. Dia itu kan cuma pembantu di sini, Ma. Aduh…ini ada apa, sih, Kok pulang-pulang papa langsung disambut begini?”

Kalimat Hendro membuat pikiran Elis meloncat jauh ke masa lalu. Sepertinya Hendro melupakan sesuatu. Tapi ia segera membuang pikiran itu. Elis lantas menceritakan semuanya. Ia mengulang kalimat Laila yang tadi mampir menusuk telinganya.

“Oalah…ada-ada saja Laila itu. Mungkin dia sedang banyak masalah atau lagi teler sampai bicara ngawur begitu…he-he-he.” Suaminya menggelengkan kepala pelan. Rasa heran dan bingung seketika menguap.

“Ya, sudah dulu, Ma. Itu tak usah dibahas lagi, tak penting. Aku sedang tidak mau mendengar cerita konyol itu. Papa mau istirahat dulu. Besok Papa suruh Pak Icim cari pembantu lagi.” Ia melepas sepatunya lalu membungkuk di depan istrinya kemudian mendaratkan satu kecupan yang jatuhnya tepat di dahi. Istrinya tak bereaksi manis seperti biasa. Ia masih menyimpan curiga terhadap suaminya. Apalagi sang suami tidak memberikan bantahan serius, yang menurut Elis, itu seharusnya suaminya lakukan.

Maka, hari-hari setelah itu, Elis mulai bertindak ibarat detektif. Ia terus berusaha mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi dalam rumah tangganya. Kenapa Laila sampai berani mengatakan itu semua. Tentang perasaannya terhadap suaminya. Ia tak ingin lelaki yang menikahinya sepuluh tahun lamanya itu berani bermain-main di belakangnya. Jangan-jangan suaminya telah memberikan perhatian dan porsi yang lebih terhadap Laila, pikirnya.

Laila sudah bekerja di rumah itu selama satu tahun. Elis mengenalnya dari kawan lamanya. Usia Laila hampir sama dengannya. Mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun saja. Untuk ukuran pembantu, Laila menarik. Ia manis. Tubuhnya padat berisi. Bahasanya pun tertata tidak seperti pembantu kebanyakan.

***

“Kau boleh jadi pembantu di rumah ini, tapi jangan pernah coba-coba berani jatuh cinta pada majikan!”

Sebuah syarat sekaligus peringatan keras meluncur dari mulut Elis.

“Iya Bu, saya juga tau diri. Tak mungkin saya berani macam-macam. Saya ini cari kerja untuk makan,” Jawab Imah.

“Nah, bagus kalau begitu.”

Sesungguhnya Elis bukan tipikal majikan yang kasar pada pembantu. Ia kapok, tepatnya trauma dengan kejadian yang lalu. Elis lebih selektif memilih pembantu. Ia tak mau yang muda-muda, apalagi pembantu dengan tubuh yang menggoda.

Usia Imah sudah kepala empat. Janda beranak dua. Dia perempuan kelima yang datang melamar sebagai pembantu yang kemudian bisa diterima Elis.

Sebulan, dua bulan. Elis mulai menerima pembantu barunya sepenuhnya, tanpa ada kecemasan tinggi. Peristiwa Laila pelan-pelan mulai ia lupakan. Hingga suatu hari, saat Elis sedang duduk santai di ruang tamu, sang pembantu datang mendekatinya. Mendekat dengan gaya yang tidak biasa.

Sang pembantu mendekat perlahan, sikap sungkan dan ia segan. Perempuan paruh baya itu terus memilin-milin ujung bajunya. Elis menatap pembantunya dengan tatapan tidak biasa. Penuh selidik dan tafsir. Pembantu tertunduk. Senyap seketika.

“Ada apa, ya?”

“A…a…anu, Bu.” Mulutnya memberengut gugup.

“Kok gugup. Mau ngomong apa, sih?” Elis mulai tidak enak.

Pembantu terlihat gelisah.

Gelagat sang pembantu seketika menghubungkan ingatan Elis ke masa jauh. Serupa dejavu. Peristiwa ini mirip yang ia alami beberapa bulan sebelumnya. Sikap pembantu barunya tidak jauh dengan sikap aneh yang pernah dipertontonkan Laila, pembantu lamanya yang pernah membuatnya hampir mati duduk.

“Saya mau ngomong, Bu.” Ucapan ini akhirnya meluncur juga dari mulut si babu setelah cukup lama menahannya.

Emosi Elis pelan-pelan naik. Ia mulai menebak apa yang ada di kepala pembantunya itu.

“Kalau mau ngomong tentang bapak, lebih baik gak usah,” katanya lalu dengan cepat memalingkan wajah dari pembantunya itu.

“Iya, kok, Ibu tau.” Pembantu mulai mengumpulkan keberanian.

Mata Elis menyala.

“Cukup. Cukup. Kamu ternyata sama saja dengan Laila sinting itu.” Bentaknya.

Pembantu terperangah dengan reaksi majikannya.

“Tapi, Bu.”

“Cukup!”

Palu sudah diketuk. Elis memutuskan mengakhiri karir sang pembantu di rumahnya saat itu juga. Meski ia belum tahu apa sesungguhnya yang hendak disampaikan Imah. Elis tak mau sakit untuk yang kedua kali.

Emosi Elis membuncah. Hatinya robek dan terbakar. Tak sabar ia ingin menumpahkannya di depan sang suami. Elis meremas tangannya kuat-kuat. Amarahnya langsung naik ke pucuk kepala.

***

“Pa, jelaskan. Jangan lagi ada yang ditutup-tutupi. Saya sudah capek dengan semua ini.”

“Ada apa lagi, Ma?”

“Dulu Laila, sekarang Imah. Emang kenapa dengan Imah?”

“Hah, sama saja dengan Laila sinting itu!” Mungkin dia sudah berasumsi lebih daripada yang sebenarnya terjadi.

Hendro menoleh ke istrinya seperti menagih penjelasan.

“Tadi pagi Imah datang ke Mama. Ya, dia mau ngomong tentang Papa.”

“Tentang Papa, memang dia mau ngomong apa?”

Gak tau.”

Kok gak tau?”

“Ya…apalagi kalau bukan suka sama Papa.”

“Memang Imah ngomong begitu?”

Elis diam lalu menelengkan kepala

“Ma?”

“Ya, pastilah.” Wajah Elis cemberut

“Belum tentu juga kan, Ma? Tidak baik berprasangka buruk.”

Tiba-tiba Elis diserang rasa bersalah. Betul juga kata Mas Hendro. Pikirnya. Tapi sudah terlanjur basah. Elis sudah mengusir Imah dari rumah.

Setelah kejadian itu, Elis lebih suka merenung di dalam kamar. Persisnya menangis. Laila dan Imah telah membangkitkan memorinya. Dalam dan jauh. Sesungguhnya ia takut ditinggalkan sang suami. Lelaki yang sangat ia cintai.

Elis sadar selama 10 tahun pernikahanya ia belum bisa memberikan anak kepada Hendro. Apakah gara-gara ini Papa lantas berpaling? Pa, mama sayang kamu. Jangan tinggalkan mama. Tapi, maafkan mama yang belum bisa memberikan kamu keturunan. Pikiran Elis berkecamuk penuh tanda tanya, hatinya kacau. Tangisnya pecah lagi. Ia membasuh wajahnya dengan air mata.

Elis juga sadar telah bersikap kasar kepada dua pembantunya. Padahal, ia tahu ia juga pernah ada dalam posisi itu. Elis masih ingat betul bagaimana ia memendam rasa cemburunya terhadap seorang lelaki yang kini menjadi suaminya. Ia sadar kalau dulu ia juga seorang babu di rumah Hendro. Babu yang kemudian masuk dalam kehidupan Hendro dan berubah status menjadi majikan. Ia resmi menjadi istri Hendro setelah istri pertama Hendro memilih kabur dengan lelaki lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun