“Iya Bu, saya juga tau diri. Tak mungkin saya berani macam-macam. Saya ini cari kerja untuk makan,” Jawab Imah.
“Nah, bagus kalau begitu.”
Sesungguhnya Elis bukan tipikal majikan yang kasar pada pembantu. Ia kapok, tepatnya trauma dengan kejadian yang lalu. Elis lebih selektif memilih pembantu. Ia tak mau yang muda-muda, apalagi pembantu dengan tubuh yang menggoda.
Usia Imah sudah kepala empat. Janda beranak dua. Dia perempuan kelima yang datang melamar sebagai pembantu yang kemudian bisa diterima Elis.
Sebulan, dua bulan. Elis mulai menerima pembantu barunya sepenuhnya, tanpa ada kecemasan tinggi. Peristiwa Laila pelan-pelan mulai ia lupakan. Hingga suatu hari, saat Elis sedang duduk santai di ruang tamu, sang pembantu datang mendekatinya. Mendekat dengan gaya yang tidak biasa.
Sang pembantu mendekat perlahan, sikap sungkan dan ia segan. Perempuan paruh baya itu terus memilin-milin ujung bajunya. Elis menatap pembantunya dengan tatapan tidak biasa. Penuh selidik dan tafsir. Pembantu tertunduk. Senyap seketika.
“Ada apa, ya?”
“A…a…anu, Bu.” Mulutnya memberengut gugup.
“Kok gugup. Mau ngomong apa, sih?” Elis mulai tidak enak.
Pembantu terlihat gelisah.
Gelagat sang pembantu seketika menghubungkan ingatan Elis ke masa jauh. Serupa dejavu. Peristiwa ini mirip yang ia alami beberapa bulan sebelumnya. Sikap pembantu barunya tidak jauh dengan sikap aneh yang pernah dipertontonkan Laila, pembantu lamanya yang pernah membuatnya hampir mati duduk.