“Tapi, Ibu jangan berprasangka buruk dulu. Bapak itu orang baik. Saya tak punya hubungan apa-apa dengan Bapak. Saya juga tahu diri, Bu. Saya juga tak pernah berpikir akan jadi istri bapak.”
“Hmm…bapak juga tentu tak akan sudi berhubungan dengan perempuan macam kau!” Sang nyonya mulai kasar.
“Bu…sekali lagi maafkan saya, tapi….”
“Cukup Laila. Saya tak mau lagi mendengar omongamu. Bisa gila saya. Sekarang kau kemas barangmu dan pergi dari sini!”
Laila sepertinya sama sekali tak menyesali ucapan yang baru saja tercetus dari mulutnya. Paling tidak ia lega. Meski ia sadar resiko yang akan ia terima setelah ia menyampaikan semuanya. Dan ia sudah siap dengan itu.
Ia beranjak ke kamarnya. Ia mengambil koper yang tersandar di dinding pintu. Malam sebelumnya ia sudah mengemas pakaiannya dan memasukkanya ke dalam koper itu. Laila memang sudah menyadari resikonya dan ia siap untuk itu. Sesaat kemudian ia kembali ke ruang duduk.
“Bu, saya pamit. Terimakasih atas semuanya.” Laila bergerak mendekati majikannya sedekat yang ia berani. Tangannya menjinjing koper warna merah.
Majikannya bergeming dengan melipat tangan di dada. Rautnya keras. Saat Laila melangkah meninggalkannya, Elis memanggilnya.
“Tunggu Laila! Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan secarik amplop putih tanpa menoleh sedikitpun kepada pembantunya itu.
“Ini gajimu untuk bulan ini, dan selebihnya adalah pesangon dariku.”
Laila tersenyum tipis.