"Nia adalah satu-satunya!" Cahyo memenggal ucapan Prio. "Dia tak akan tergantikan. Aku pernah ingin membujang seumur hidup kalau tak bisa mendapatkannya, tapi aku pikir itu tak cukup! Lebih baik mati dan mencintainya di alam lain."
Prio menarik nafas dalam-dalam.
"Yo...masih ingat kan," Prio duduk di rel yang sama dengan Cahyo, cuma agak jauh.
"Dulu kita sering pulang bareng habis sekolah. Aku jalan di rel kiri kamu yang kanan. "
"Kamu pasti juga masih ingat waktu kita jalan di rel, trus dari arah timur ada dua orang waria yang juga berjalan di rel yang sama. Trus aku suruh kamu jangan menepi biar dikira kita gentleman, dada lawan dada. Ternyata mereka juga ga mau mengalah. Dikira mo nglawan, kita malah dikejar."
Tak disangka, seulas senyum sekilas nampak di bibir Cahyo.
"Ingat Yo, orang yang bunuh diri itu sama aja keluar agama. Neraka Yo!"
Cahyo menerawang langit dini hari. Bintang masih keliatan jelas disana.
"Hidup ini banyak solusinya Yo.
Dari pada mati, mending minggat dari rumah trus keluar jogja, beres kan? Semua cerita sedih biar terkubur mati di kota ini"
Cahyo setengah menoleh. Prio kembali berpikir sejenak