Mohon tunggu...
Fajar Nugroho
Fajar Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis dan Pemerhati Desa

migunani tumraping lian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Serial Detektif: Hilangnya Bulan Hitam

31 Maret 2011   02:59 Diperbarui: 19 Mei 2024   22:33 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Jumat pagi tanggal 27 Juli, Johan ngeSMS aku, kalau sorenya akan ke warung koran. Aku pun diajak untuk ikut berdiskusi. Kali ini Johan mengajak dua orang temannya yang juga polisi reserse.

"Aku kemarin sudah ke Semarang, Sri." kata Johan.

"Sudah beres?"

"Beres! Begitu aku ceritakan kehidupan Cahyo serta rencana untuk mengembalikan masa depannya, dia lalu menceritakan proses perginya Cahyo serta kisah cinta yang ia dengar sendiri dari sahabatnya itu.

Awal kisahnya adalah saat Cahyo sering hotspotan setiap Hari Sabtu atau Minggu. Kegiatan rutin ini dilakukan di kampusnya karena gratis. Suatu hari dia penasaran untuk mencoba hotspot Perpustakaan Kota Yogyakarata. Disana ia bertemu dengan seorang mahasiswi bernama Nia. Seorang wanita yang bicaranya pelan dan santun. Pakaiannya sangat sederhana tapi rapi dan nampak keibuan. Wanita seperti itulah yang ia sukai.

Entah apa yang membuatnya begitu tertarik terhadap Nia. Setelah pertemuan itu dia mengadd Nia di Facebook lalu memberikan perhatian dengan mengomentari status Nia dan mengajak chating bila kebetulan sama-sama online.

Suatu ketika, Cahyo mengungkapkan isi hatinya dengan menanyakan sesuatu yang berat dirasa bagi sebagian wanita termasuk Nia,"apakah engkau mau jadi isteriku kelak". Tentu saja pertanyaan ini sangat berat jawabannya apalagi kalau hubungan belum jelas terjadi.

Akhirnya suatu hari, mungkin Nia sudah kehilangan jawaban yang jernih, dia menjawab kalau sudah dijodohkan oleh orang tua dan dia juga menyukai orang yang telah melamarnya itu. Itulah kehancuran hati yang paling dalam dirasakan Cahyo.

Cahyo, merasa tak punyai harapan hidup lagi. Sebagai orang yang pendiam dan tertutup ia tak pernah menyatakan perasaan itu kepada siapapun. Segala siksa batin ia tanggung sendiri. Hingga akhirnya tak tertahankan lagi ketika ia tiba-tiba ingat Prio di Facebooknya dan mengiriminya direct massage yang intinya "Sebelum aku mati temui aku di 'batu gowokan'. Nanti sebelum azan subuh!"

"Cahyo, kamu bercanda? " Prio mereplay, namun pertanyaannya ini ga ditanggapi oleh Cahyo. Sebenarnya saat itu Prio ingin mengontak orang tua Cahyo, namun karena ponselnya baru, nomer telpon rumah Cahyopun hilang. Merasa khawatir, Prio segera meluncur dari Semarang dengan motornya. Ia tahu bahwa setiap yang Cahyo sampaikan, 90% serius.

Tempat yang dimaksud Cahyo yakni 'batu gowokan', adalah batu buatan yang terletak di samping rel kereta api di Desa Caturtunggal Depok Sleman. Batu itu memiliki sejarah yang spesial bagi mereka. Dulu sepulang dari sekolah, mereka sering bersama menyusuri rel kereta api, lalu duduk di batu itu untuk sejenak rehat dan ngobrol-ngobrol. Saking seringnya mereka berhenti di batu itu, akhirnya mereka menamai batu itu dengan 'batu gowokan'. Nama Gowokan sendiri adalah nama dusun disekitar situ.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun