Raden Adya: "baiklah lupakan... aku pergi dulu."
Prajurit: "baik pangeran... hati-hati dijalan."
Kemudian Adya memacu kudanya dan sambil berfikir diperjalanan mengenai burung itu dan berkata "huffhh... memangnya ada apa dengan burung-burung itu?, kenapa semua orang di Wonosari membunuhnya..? aku kira selama ini ayah menyuruhku membunuhnya hanya untuk latihan saja... ternyata dibalik itu ada alasannya. Apakah ini ada hubungannya dengan cerita penyihir itu??."
Sepulangnya dari candi Adya mengunjungi makam ibu dan kakaknya, makam bukan berisi jasad manusia, melainkan hanya abunya saja, karena di Wonosari setiap orang yang meninggal itu akan dibakar. Makam itu berada di kaki gunung dan dibawah rimbunnya pepohonan sehingga terasa sejuk saat datang kesitu, dimakam itu ada sebuah batu yang cukup besar dan terukir nama Wijaya Kumara Radya putra dan Kumara Sri Rahayu.
Adya segera turun dari kudanya dan mengikat kuda itu di sebuah batang pohon sambil memberi makan kuda itu. Dia berkata "kakak... ibu... bagaimana keadaan mu disana?? Apa kalian baik-baik saja???" sambil menaburi bunga ke kedua makam itu. "aku belum sempat bertemu kalian... tetapi takdir memisahkan kita seperti ini. Aku dengar ini semua karena salahku... orang-orang berkata seharusnya aku terlahir menjadi perempuan.. bukan laki-laki." Dia mengatakan itu sambil tersenyum. "ibuu seharusnya kau ubah saja aku menjadi perempuan... pasti aku akan terlihat cantik sepertimu. Aku sangat rindu padamu ibu.. selama ini aku melihat wajahmu hanya dari sebuah lukisan saja." Kemudian Adya pergi meninggalkan makam itu dan kembali ke Keraton.
Satu tahun kemudian kerajaan mengalami kerisis ekonomi yang cukup parah. Hal ini karena keputusan Raja Wijaya yang merugikan sebagian pihak, karena hal ini banyak desa yang memisahkan diri dari Wonosari. Karena keputusan Raja Wijaya terlihat seperti pilih kasih dia hanya memerdulikan desa yang kaya saja dan membagikan hasil pangan hanya kepada desa itu dan sebagian besarnya lagi di timbun di kerajaan untuk alasan stok di Keraton, padahal stok di Keraton masih mencukupi untuk 2 tahun ke depan dan pangan-pangan yang didapatnya itu dari desa-desa yang miskin yang sangat memuja sang Raja dan desa miskin ini hanya kebagian pangan 10 persen dari hasil panennya. Setelah mendengar kabar yang tidak mengenakan itu, Adya langsung menghadap ayahnya yang sedang berada di singgahsananya dan yang terjadi adalah:
Raden Adya: "ayah...!!! jika kau terus seperti ini.. lebih baik aku pergi saja dari istana." Dengan raut muka yang sangat kesal. Kau seharusnya malu ayah... orang yang kau khianati itu adalah orang yang sangat mempercayaimu, mereka tanpa ragu memberikan hasil panen mereka sepenuhnya kepadamu.. mereka menghormati dan mempercayaimu sebagai seorang Raja untuk mengatur dan memberikan kepada mereka yang membutuhkan, bukan hanya kepada mereka yang kaya saja...".
Raja Wijaya: "kau tidak tahu apa-apa nak, aku melakukan ini demi Wonosari... kita harus cepat menyelesaikan pembangunan yang masih dibangun sampai saat ini, apa kau kira membangun itu gratis??" sambil berbicara dengan tatapan mata yang dingin. "aku ingin secepatnya bangkit dan bisa dengan cepat menyerang semua penyihir itu untuk balas dendam."
Raden Adya: "kenapa kau selalu membicarakan penyihir itu?? Kau saja tidak tahu dimana mereka... iya kan??"
Raja Wijaya: "maka dari itu... jika nanti paman mu Meda kembali kita bisa langsung menyerang semua penyihir itu."
Raden Adya: "aku tidak yakin dia bisa kembali ayah... mungkin dia sudah mati dimakan binatang buas, kau selalu bilang padaku dia pergi disaat umurku 1 bulan dan sekarang lihat umurku berapa??? Sampai kapan kau ingin menunggunya??"