"Menyadarkan anak itu sama juga berhadapan dengan batu."
"Sekeras apa pun, batu juga dapat aus dan hancur bila digerus oleh air yang bersifat lembut."
"Kamu terlalu membelanya, Mulan."
"Demi persaudaraan, dengan mengorbankan jiwa pun saya siap untuk itu."
Apakah patriotisme itu selaksana partitur yang telah tertuangi nada-nada miris, dan dimainkan sitar kematian dedewi atas maharana ini?! Lantas di manakah letak irama keadilan yang senantiasa menyejukkan jiwa-jiwa nan kerontang?!
Itulah yang kerap menghantuinya.
"Jangan marah," sergah Shang Weng separo tertawa, menggugah lintas kenangan silam gadis itu semasa menjadi prajurit wamil dulu. "Fa Mulan memang jelmaan para dewa di langit!"
"Semoga Dewata mau mengampuni pemimpin Kamp Utara, Kapten Shang Weng," Fa Mulan mengatupkan telapak tangannya cepat, memohon seperti sedang berdoa. Matanya memejam dengan mulut kemu. "Bukan maksud dia...."
"Mulan...."
"Kapten Shang Weng!" desis Fa Mulan perlahan, seperti berbisik. "Anda sudah keterlaluan!"
"Kenapa?"