Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepenggal Kenangan Edelweiss

3 Maret 2021   23:42 Diperbarui: 4 Maret 2021   00:59 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel Sepenggal Kenangan Edelweiss. (peakpx.com)

Bromo, 1995

Ini memori biru
rangkuman kebersamaan
dalam hari-hari yang singkat
kesederhanaan alur kisah,
dan saling mengasihi merupakan euforia

Semuanya tumbuh seiring kenangan
sehingga sang waktu pun
tak mampu memupusnya 

 -- Catatan Kecil Perjalanan

Bromo, 10:15 PM.

Saya baru saja mengedipkan mata ke arah Aditya ketika Mami sudah berdiri di belakang kami dengan muka butek. Terlambat. Anak itu memang lamban selambat kura-kura. Slow motion-nya bikin celaka. Dia lebih gemulai ketimbang balerina.

"A-Adit! Apa-apaan sih kalian ini?!" Wanita gemuk itu menjerit dengan suara semirip lengkingan knalpot bajaj.

"Sa-saya mau ke toilet!"

Robby sudah mengambil jurus langkah seribu begitu Mami melototkan mata sebesar ikan maskoki. Dia terbang segesit walet. Aditya nyaris kelengar. Gagal menyembunyikan botol miras. Prahara tidak dapat dielakkan!

Saya menepuk dahi. Dan mengaduh dalam hati. Kesal. Anak itu selalu bikin ulah. Kali ini Mami pasti akan mengeluarkan petuah-petuah bijaknya yang sepanjang tujuh halaman folio ketik dua spasi. Seperti syarat penulisan cerpen pada sebuah majalah remaja.

Tentu saja. Sebagai orang yang dituakan dalam rombongan tur  -- Mami yang merupakan peserta dengan usia terlanjut --tentu ingin menunjukkan eksistensi sebagai pemimpin yang baik. Mami adalah ibu dari Viona. Satu-satunya siswi yang memboyong ibunya ke acara tur perpisahan kelas kami. Hah, cengeng banget memang. Tapi kalau tidak begitu, katanya sih doi tidak diperbolehkan ikut. So, jadilah sang idola itu membawa bodyguard!

"Apa itu?!" Mami merampas botol yang disembunyikan Aditya di belakang punggungnya.

"Itu wiski, Mami," saya menjawab menyergah amarahnya yang sudah mengubun.

"Astaga!" Mami mendesis, menolehkan kepalanya ke arah saya.

"Udara dingin sekali, anak-anak cuma ingin menghangatkan badan dengan wiski itu, Mami."

"Tapi itu bukan alasan untuk bermabuk-mabukan?!"

"Maaf, Mami. Tentu saja bukan untuk bermabuk-mabukan...."

"Adit!" Wanita berwajah bundar itu kembali mengarahkan pandangannya yang tajam ke arah Aditya yang masih kemekmek seperti patung orang setengah kelar. "Kamu yang beli, ya?"

"Maaf. Saya yang membelinya, Mami."

Mami mengibaskan tangannya. Diputarnya tumit dengan pelepah bibir separuh mencibir. Bersungut-sungut seperti kebiasaannya. Dia masuk ke kamar loteng tanpa bilang apa-apa lagi. Memarahi kami dengan diam sampai dua kali dua puluh empat jam seperti biasa!

Mami tidak melanjutkan amarah konservatifnya. Setelah saya berkorban mengambil alih tanggung jawab, sontak dia memafhumi keadaan yang tidak mengenakkan itu.

Dia tahu saya pasti melindungi anak-anak!

***

Bromo. 10:31 PM.

Dalam perjalanan ke Bromo pagi tadi, bis yang kami tumpangi singgah untuk mengisi bahan bakar di Mojokerto. Robby iseng membeli wiski di sebuah swalayan. Katanya, bekal untuk penghangat badan di daerah dingin itu nantinya. Tanpa sepengetahuan Mami, beserta Aditya dia memboyong sebotol air api itu secara gerilya. Sembunyi-sembunyi.

Sayang nasib tak berpihak. Malang tak dapat dielakkan. Aditya dan Robby kedapatan sedang meneggak miras. Kontan saja Mami mencak-mencak. Saya segera mengambil langkah darurat untuk menyelamatkan situasi. Dan mengaku sebagai pemilik miras itu.

"Terima kasih, Wong."

"Untuk apa?"

"Kalau bukan karena kamu, kami pasti sudah kena gampar."

"Mami tidak segalak itu."

"Tapi...."

"Pengalaman kena gampar dari Mami, ya?"

"Belum pernah, sih. Tapi...."

"Jangan berasumsi kalau belum terbukti."

Aditya menundukkan kepalanya. Dipandanginya botol minuman berakohol yang menjadi biang kemarahan Mami. Robby sudah melarikan diri entah ke mana. Anak itu memang reseh. Sudah lempar batu malah sembunyi tangan. Asam!

"Hai, guys!"

Saya mengedarkan mata ke arah asal suara. Viona dan Vicky -- hm, mereka baru saja jadian, cinlok! -- berdiri di bawah bingkai pintu seperti sepasang Ninja. Pakaian hangat yang mereka kenakan sampai menutupi wajah. Hanya menampakkan sepasang mata saja. Saya tahu mereka berdua baru pulang dari warung sebelah bungalo kami. Minum wedang jahe sekaligus 'ehem'.

"Lho, kok pada diaman sih?" Herlina nyeletuk dari belakang sepasang 'Ninja' itu.

"Sariawan, ya?" Naroh dan Yanthi kompakan, seperti melafalkan dialog skenario. Mereka muncul serempak, seperti anak kembar.

Aditya duduk tepekur, masih menatapi botol bening berisi cairan berwarna teh di atas meja. Saya berdiri. Mengambil botol itu. Lalu mengangsurkan botol itu ke arah mereka.

"Gara-gara ini!"

"Hei, ini kan parfum dari Paris?" Naroh berteriak girang.

"Ini bukan parfum, Goblok!" Yanthi menjitak kepala 'kembaran'-nya itu. "Ini miras! Baca baik-baik! Wiski Cap Topi Miring!"

Naroh nyengir. Mengelus-elus kepalanya yang kena jitak.  "Habis, warnanya mirip...."

Yanthi mencibir. "Huh, dasar mata rabun!"

Anak-anak peserta tur tertawa terbahak.

"Mami marah." Saya menjawabi penyebab biang masalah sehingga suasana bungalo mendadak sepi seperti kuburan.

Viona cemas, spontan duduk merapat di samping saya. Vicky mengikutinya dari belakang seperti pitik.

"Kenapa?" tanyanya.

"Mami tidak suka lihat anak-anak minum miras."

"Astaga! Jadi kalian...?" Viona menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. "Ya iyalah, Wong. Orang tua mana sih yang suka melihat kalian, anak-anaknya minum miras?!"

"Bukan kami. Tapi, dua orang yang bernama Aditya dan Robby."

"Lalu, Mami...?"

"Yah, seperti biasa. Diaman."

"Hei, Robby ke mana?" Herlina bertanya dengan mata celingak-celinguk. Cewek bermata bola merapatkan jaketnya. Duduk merangkul lutut di atas sofa.

"Sudah terbang bersama UFO!" Saya jawab sekenanya karena jengkel.

Herlina terkekeh.

"Dasar anak itu!" gusar Viona.

"Nanti kalau membeku jadi es, dia juga akan pulang sendiri!"

Saya menyegarkan suasana kebekuan dengan mengurai kalimat guyon tadi. Nadya sontak cekikikan. Yanthi ikut-ikutan tertawa. Viona cuma tersenyum, tidak ikut tertawa karena masih jengkel --saya yakin senyumnya cuma pura-pura, sama sekali tidak terpengaruh oleh kalimat penyegar suasana tadi. Buktinya, tidak lama kemudian dia malah memberengut, dan sesekali mengembuskan napas kesal.

"Anak itu selalu bikin gara-gara ya, Wong!"

"Iya, tuh. Reseh banget!" timpal Herlina ringan.

"Ngapain coba dia beli miras segala macam. Nyari penyakit saja kan, Wong?!"

Viona menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mengumpat barusan. Apa-apa juga dia selalu mengarahkan topiknya ke arah saya. Selama dalam perjalanan, mulai dari Jakarta, Viona memang paling dekat dengan saya.

Anak-anak malah menyangka kami pacaran, soalnya di dalam bis, doi selalu duduk di samping saya. Namun saya hanya menganggapnya teman biasa, dan memberi kesempatan kepada Vicky untuk mendekatinya, sedari dulu saya sudah tahu kalau Vicky memang naksir anak itu, jauh sebelum doi dilirik oleh sebuah production house (PH) untuk memerankan Mantili dalam sinetron Brama Kumbara.

Selama dalam perjalanan pula, kami banyak bertukar pengalaman. Tentang segala hal. Khususnya dunia yang kami geluti masing-masing. Dia menanyai tentang dunia kepenulisan yang tengah saya aktifi. Sementara, saya lebih banyak bertanya soal akting dan status yang disandangnya kini, yang lebih lazim disebut selebritis.

"Ya, sudalah. Mau ributin apa lagi?! Mami toh telah marah!" ujar Viona, lalu bangkit berdiri, dan mengibas-ibaskan tangannya seperti menggebah domba. "Sudah, sudah! Bubar sana! Besok subuh kita mesti berangkat ke puncak Bromo."

Anak-anak manut. Berlarian ke kamar mereka masing-masing. Robby baru kembali tepat ketika jarum panjang jam dinding menunjuk angka sebelas. Untung Viona sudah meringkuk di kamarnya beserta Mami. Kalau tidak, anak itu pasti kena damprat!

Jam sebelas lewat dua puluh menit, kami memutuskan untuk rehat. Sama halnya dengan kami yang cowok, bidadari-bidadari peserta tur berbagi dalam beberapa kelompok untuk satu kamar. Berjejal dalam satu ranjang seperti ikan dalam panggangan.

Suhu lima derajat celsius seperti membekukan kami di dalam kamar. Saya lihat Aditya belum berbaring, masih menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah di atas ranjang ketika saya hendak mematikan lampu.

"Kok belum tidur sih, Dit?!"

"Belum ngantuk."

Saya urung mematikan lampu.

"Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Ayo, tidur sana! Besok subuh kita mesti ke Bromo."

Dia mengangguk. Menelentang, lalu menarik selimut perca tebal sampai menutupi kepala. Saya matikan lampu dengan sekali sentuhan pada saklar meja.

Tidur menikmati dinginnya dingin.

***

Lautan pasir menenggelamkan aku
dalam kata-kata tanpa suara
Ia hadir menghampar
mengeksistensi keberadaan Isvara 

Bromo
sekuntum edelweiss
sepasang kuda hitam dan putih
jejak-jejak kaki para sakai
adalah embusan lafaz
yang ditiupkan dari Svargaloka
kita memang hanya setitik pasir

-- Karya Isvara 

Bromo, 09.07 AM.

Wanita yang kami sebut dengan Mami itu sekarang sudah mulai melunakkan amarahnya. Sekarang dia tidak lagi ngambek diaman. Banyak hal bagus terlewatkan bila sepanjang perjalanan hanya membatu. Di gigir puncak Bromo, dia malah mulai berkelakar.

Pranata yang membentang tergebah jauh-jauh. Interaksinya sebagai seorang ibu yang bersahabat telah merajut ikatan dalam lembar keharmonisan. Sebagai tetua, pemimpin, sekaligus teman yang menyenangkan. Dan dengan cepat mengadaptasi dengan peserta tur yang didominir sembilan puluh sembilan persen kaum muda.

"Pemandangan di sini bagus dijadikan lokasi untuk cerpen-cerpenmu, Wong," usul Mami begitu dia melihat saya mulai mencatat nama lokasi di buku catatan kecil saya. Kami berjalan beriringan bersama.

"Ya, Mami. Semua keindahan ini merupakan karya agung Isvara!"

"Isvara? Apa itu?"

"Oh, itu Tuhan, Mami. Dalam Veda agama Hindu, Isvara itu berarti Tuhan Yang Maha Esa."

"Duh, pengarang. Apa-apa juga tahu."

"Ah, tidak juga. Saya masih amatir kelas mading SMA kok, Mami. Tapi, bukankah penduduk asli Bromo memang penganut agama Hindu!"

"Ah, iya. Seperti di Bali ya?"

"Iya."

"Nah, judul cerpen yang bakal kamu tulis apa?"

"Pastinya sih, belum Mami. Saya masih menulis draf-nya. Tapi mungkin, Sepenggal Kenangan Edelweiss."

"Wah, judulnya indah sekali, Wong."

"Ah, tidak juga, Mami. Saya hanya mereplikasi alam sekitar."

"Ah, ya, ya. Itu tidak soal. Yang pasti kalau dimuat di majalah, honornya buat traktir makan Mami dan Nonon, ya?"

Saya tersenyum menanggapi. Nonon yang dia sebut tadi adalah nama panggilan kesayangan Viona. Saya kembali tersenyum. Mami sebenarnya kocak. Anak-anak peserta tur semuanya akrab dengannya. Hanya sayang insiden miras semalam merecoki perjalanan tur kami yang cerah ceria.

Kemarin Robby bikin ulah. Beserta Aditya, mereka menenggak miras di dalam bungalo. Sebenarnya tidak apa-apa, sih. Sebab saya yakin kedua anak itu minum miras bukan untuk mabuk. Tapi Mami tentu saja tidak dapat menerima dalih tersebut. Miras ya miras! Dan anak muda semacam kami memang belum pantas menenggak air api itu. Dengan alasan dan atas nama apa pun!

Tapi untung pagi ini amarahnya sudah padam. Saya lega. Anak-anak biang kerok sudah pula mengakrabi wanita empat puluhan itu.

Keceriaan datang kembali.

***

Perjalanan ke lautan pasir Bromo sudah dimulai fajar tadi. Asep Suparman, pemimpin tur -- salah seorang karyawan biro travel yang menyertai rombongan tur sekolah kami -- sudah menyipakan keperluan perjalanan plus sedikit wejangan agar tidak tersesat di rimba pasir malam kemarin.

Dan begitu weker berisiknya berdering pukul tiga, peserta tur yang asyik meringkuk dalam buain mimpi terpaksa harus bangun. Bergegas masuk ke dalam bis sebelum ditinggal sendiri. Para bidadari sudah on time pukul setengah empat pagi. Telah membungkus diri dengan sweater dan jaket setebal kasur!

Tiba di tujuan, Viona mulai beraksi dengan kudanya -- perjalanan ke tempat tujuan memang lebih aman dan cepat dengan menunggang kuda yang disewakan sekaligus dituntun sang kusir. Tanpa kesulitan, dia menapaki sanggurdi dan langsung duduk di pelana punggung kuda dengan entengnya.

Dipacunya kuda berlari tanpa dituntun oleh kusir penyewaan kuda. Agaknya gadis manis itu memang sudah terbiasa menunggang kuda. Dalam salah satu perannya di sinetron laga Brama Kumbara, Viona yang berperan sebagai Mantili memang diharuskan dapat menunggang kuda.

Nadya dan Yanthi masih seiring sejalan. Naik kuda juga beriringan. Tapi karena seumur-umur belum pernah naik kuda selain kuda troya, maka pagi itu juga mereka nyaris bikin stori. Kuda yang mereka tunggangi melompat karena kekangan yang kekencangan. Persis serupa kuda pacuan di arena lomba rintangan berkuda.

Untung mereka dituntun oleh kusir sehingga kuda tersebut menjinak. Manut oleh satu tepukan lembut sang kusir di kepala.

***

Bromo, 11.35 AM.

Vicky masih mengekor seperti pitik di belakang Viona. Berhenti di Horse's Camp karena dia tidak berminat menunggang kuda ke gigir kawah. Viona sudah melaju di atas kuda seperti pendekar dalam sinetron.

Selain mengekor, cowok jangkung itu hanya mengambil gambar lanskap alam Bromo yang indah sepanjang perjalanan ke gigir kawah. Jarang bicara apa-apa. Saya mendekatinya setelah berpisah dengan Noerdin -- wartawan dari majalah Anita Cemerlang yang kami undang untuk meliput kegiatan tur perpisan -- dan Asep Suparman yang memilih tinggal di Horse's Camp di perbatasan dusun Bromo. Tidak ikut menunggang kuda seperti peserta tur lainnya.

"Pemandangannya indah sekali ya, Vic." Saya buka suara setelah dia sedari tadi terdiam. Hanya asyik dengan kameranya.

"Iya, Wong. Tapi katanya...."

"Apa?"

"Katanya, kawah Bromo ini suka memakan korban."

"Masa iya, sih?"

"He-eh. Makanya, setiap tahun penduduk sini mengadakan upacara semacam selamatan begitu."

"Namanya apa?"

"Tidak ngerti. Tapi, sesajiannya bisa berupa kepala kerbau segala macam. Ih, serem ya, Wong?"

"Masing-masing daerah memiliki upacara maupun ritual kepercayaan khas tersendiri, Vic. Ngaben di Bali, misalnya. Atau, upacara ritual pemakaman mayat yang khas di Toraja. Nah, itu merupakan khazanah budaya bangsa kita yang majemuk ini. Jadi, hal tersebut jangan dianggap takhayul.

"Tapi, sudah banyak kejadian lho, Wong. Setiap tahun ada saja yang meninggal di kawah Bromo."

"Itu insiden, Vic. Kecelakaan. Human error. Siapa saja bisa menjadi korban kalau lengah dan tidak berhati-hati. Tebing curam, longsor, badai pasir, dan banyak faktor alam lain lagi yang bisa jadi penyebab jatuhnya korban. 

"Tapi legenda itu...."

"Legenda bukan merupakan aktualita. Sementara aktualita memerlukan pembenaran. Seperti halnya budaya, legenda merupakan khazanah. Banyak kearifan lokal yang tersirat, yang memerlukan pencernaan nurani ketimbang logika di dalam legenda. Jadi, betapa piciknya kita kalau menerjemahkan legenda di dalam bahasa nalar."

Namun Vicky tidak menggubris ulasan saya. Tetap menganggap legenda itu sebagai sesuatu yang hakiki. Kami berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Bertemu beberapa bidadari yang sudah sedari tadi tiba di gigir puncak Bromo. Mengabadikan gambar sebagai pemajang kenangan.

***

Denpasar, 01.22 AM.

Setelah dua malam di Bromo, trip dilanjutkan ke Bali. Tiba di Bali, rombongan tur langsung diboyong ke Sanur. Sudah pukul satu lebih dua puluh dua menit ketika rombon-an tiba, dan menginap di salah satu hotel kecil tapi asri.

Anak-anak sudah kelengar. Jadi, tidak ada yang berniat kelayapan di tengah malam kecuali untuk mengisi perut di warung-warung kecil yang berseliweran di sepanjang pantai Sanur.

Saya, Vicky, Robby, dan Aditya memilih makan di luar, warung Padang. Sementara para bidadari ada yang sudah tidak kuat jalan, lebih memilih tidur atau makan di hotel saja. Noerdin, Asep Suparman, dan Wayang masih mengurus administrasi hotel.

Sehabis mengisi perut, Vicky mengeluh sakit pada lehernya. Sampai besok pagi pun, ketika kami sudah asyik mengelilingi objek wisata di Pulau Dewata, cowok itu masih mengeluh kesakitan.

"Saya disambar benda halus, Wong."

"Astaga, Vic!"

Saya sudah tidak tahan. Vicky kelewat terobsesi dengan kisah-kisah legenda sehingga membutakan akal sehatnya. Sejak di Bromo, anak itu selalu ngomong yang ngawur-ngawur seputar dunia gaib.

"Mungkin hantu barong para cenayang," tebaknya.

"Hus, sembarangan kamu!"

"Tapi...."

"Kamu cuma keseleo!"

Ta-tapi...."

"Sekali lagi kamu ngomong ngawur, disambar Leak baru tahu rasa!"

Saya ngomong sekenanya. Jengkel dengan seliweran dunia klenik dalam benaknya. Dia meringis. Takut dengan ancaman itu.

"Sudahlah, Vic. Lebih baik kamu pergi urut leher di massage daripada ke dukun!"

"Tapi...."

Saya tidak menanggapi keluhannya lagi. Lebih memilih berkumpul dengan peserta tur lainnya. Mungkin ada bahan dan ide yang dapat dijadikan tema dalam cerpen.

***

Kuta di senja itu
menjingga dalam kenangan
sayang indah urung mengurai senyum sang jelita   

Aku terempas
adakah pendar horizon serupa lentera
sebagai penerang temaram hati?

Tak tahu!
begitu katanya
lalu kutengok edelweiss dalam bisu
ia telah berdialog dengannya
tentang dua hati nan terkoyak
aku terlentang mati karenanya 

 -- Nita pada Suatu Senja 

Malam di Denpasar sudah mengembuskan atmosfer sedingin es ketika Asep Suparman datang membisiki saya. Katanya, gadis itu kelewat introver. Gadis berkulit putih itu merupakan salah satu bidadari. Namanya Nita, Nita Vega Pramana. Dan setelah tujuh hari bersama menyusuri trip asyik Jawa-Bali bersama anak-anak satu kelas, saya baru menyadari kalau gadis teman sekelas saya itu memang sering menyendiri dengan wajah murung.

Dalam rombongan tur perpisahan kelas kami, memang ada dua puluh tiga bidadari. Bidadari di sini tentu meru-akan artifisial. Bukan para dayang dari istana langit seperti yang termaktub dalam serangkaian dongeng kanak-kanak. Yang memiliki kecantikan paras seindah berlian dan permata berkilau dari nirwana. Sama sekali bukan. Tapi yang dimaksud adalah dua puluh tiga siswi biasa SMA Regina Pacis yang masing-masing, memiliki kepribadian, karakter, dan watak sendiri-sendiri.

Sepasang mata indah itu tampak menekuri lantai hotel. Seperti mengamati alur-alur lantai, menghitung partikel garis akibat gesekan sepatu pada ubin porselen bermotif kembang keramik.

Asep Suparman sang Koordinator tur juga sempat bilang, kalau dia kasihan melihat anak itu. Ekstrim dia bilang, takut terjadi apa-apa dengan gadis berwajah pucat itu. Pembawaannya diam melulu. Bicaranya hemat energi. Hanya, ya dan tidak. Plus gelengan atau anggukan!

Dan tentu Asep Suparman punya alasan untuk mengkhawatirkan kondisi yang tidak 'ngenakin' itu. Tentu saja. Bukan apa-apa sebenarnya. Tapi, seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada salah satu rombongan peserta tur, maka dialah yang pertama-tama digorok oleh pimpinan pihak travel di Jakarta!

Makanya, dia mendekati dan menceritakan perihal kelakuan ganjil Nita kepada saya. Saya langsung mengangguk paham. Untuk menyelami dasar hati gadis serupa arca itu, Asep Suparman tentu angkat tangan. Dan dia menyerahkan tugas moral itu kepada saya. Katanya, masalah gadis itu adalah level kawula muda. Sebab dia yang nyaris berkepala empat itu sudah tidak sinkron lagi kalau masuk ke dalam dunianya remaja.

"Saya serahin Nita sama kamu, Wong. Kamu kan ketua kelas. Ya, paling tidak kamu bisa mimpin anak-anak!"

Setelah menyerahkan tugas itu kepada saya, dia tampak sumringah dan dapat tertawa lagi seperti biasa. Bercanda dengan peserta tur cowok lainnya, yang saat itu sedang asyik bermain gitar dan gaple.

***

Saya dekati gadis pendiam itu. Duduk di sampingnya. Berdeham untuk menarik perhatian. Dia hanya mengangkat muka sekilas. Lalu mulai menundukkan kepalanya lagi.

"Tidak gabung sama teman-teman?"

Saya bertanya, lebih sekadar berbasa-basi. Entah harus ngomong apa dengan gadis serupa arca ini. Tentu sulit mencari kalimat yang tepat untuk mengajaknya berdialog. Jadi saya hanya melantunkan kalimat klise tadi.

Dia menggeleng.

Saya lihat sekuntum edelweiss berpot wadah bekas sabun colek di atas meja tamu kamarnya. Pasti miliknya. Bunga yang tumbuh di daerah dingin itu sebenarnya tidak terlalu indah di mata saya. Lain halnya kalau mawar atau anggrek. Tapi meski tidak seindah bunga-bunga hias, edelweiss merupakan bunga langka yang banyak diminati orang. Selain karena jarang, bunga tersebut juga memiliki nilai histori sendiri di kalangan pencinta bunga.

"Punya kamu?"

"He-eh."

"Dapat dari mana?"

"Beli sewaktu di Bromo."

"Kamu suka edelweiss, ya?"

Dia mengangguk.

"Padahal, gadis-gadis sih biasanya senang sama mawar."

Dia membisu. Masih duduk di sofa hotel dengan wajah menekuk. Saya sedikit rikuh dengan kelakuannya yang laten serupa arca. Saya menggaruk kepala tanpa sadar. Mencari kalimat tepat untuk tetap mengajaknya buka suara.

Saya tidak ingin dia berkubang sendiri seperti muno. Padahal, kedua puluh dua bidadari lainnya sudah berkumpul seperti biasa. Menebar jala gosip khas nona-nona metropolis. Apa lagi kalau bukan soal dunia lawan jenis pemikat sukma alias cowok-cowok keren, yang bisa dijadikan tongkrongan kebanggaan suatu waktu.

"Ada stori dengan edelweiss, mungkin?"

"Tidak juga. Tapi...."

"Apa?"

"Kata orang, edelweiss merupakan lambang kelanggengan cinta ya, Wong?"

Saya tersenyum. Gadis 'bisu' itu sudah mulai buka suara. Saya cepat-cepat mengangguk, mengiyakan kalimatnya barusan. Tentu saja. Sebelum dia kembali mengikat mati simpul bibirnya. Diam dan membisu sejuta bahasa.

"Kata orang pula, kalau seseorang menyimpan beberapa helai bunga edelweiss di dompet, maka biasanya mereka akan enteng jodoh. Juga awet dengan pasangannya sampai tua."

"Mungkin."

"Kok mungkin sih, Wong?"

"Memangnya kenapa?"

Saya pancing dia untuk melontarkan kalimat.

"Maksud saya, edelweiss ini kan...."

Kena!

Saya sudah berhasil menggetarkan pita suaranya untuk melantunkan dialog. Dia menatap saya dengan rupa heran. Sepasang alisnya bertaut, menggambarkan keingintahuan.

Memang itulah yang saya harapkan!

***

"Saya kira hal itu hanya sugesti."

"Sugesti?"

"Ya."

"Maksud Wong, sugesti...."

"Sugesti adalah metafora, di mana sesuatu hal atau benda dianggap dapat memberikan nilai makna atau tujuan pada seseorang. Misalnya jimat, bebatuan bertuah, mantra-mantra, dan lain sebagainya. Nah, termasuk edelweiss ini juga."

"Oya?"

"Ya. Penggambaran edelweiss sebagai bunga keabadian kisah asmara, tidak terlepas dari persepsi yang melgenda. Soalnya, bunga edelweiss tidak mudah ditemukan di sembarang tempat. Edelweiss tumbuh di tempat yang paling terpencil. Biasanya di lereng-lereng bukit yang terjal. Tidak mudah digapai tangan-tangan jahil. Nah, kalau kita bicara soal kata terpencil, di mana sih daerah terpencil pada manusia selain hati?"

"Hm, maksud Wong...."

"Edelweiss itu hanya simbol penggambaran cinta sejati. Cinta abadi seseorang kan berasal dari lubuk hati -- mirip dengan tempat tumbuhnya edelweiss di lereng-lereng terpencil."

"Oo, jadi hanya sugesti ya, Wong?"

"Tentu saja. Kalau bukan sugesti, setiap orang yang menyimpan edelweiss di dompetnya pasti memiliki pacar yang tidak bakal ngelaba -- selingkuh. Bapak-bapak tidak ada yang berpoligami. Hahaha...."

Saya terbahak.

Gadis itu tersenyum.

"Eh, Nita kok pendiam sekali sih? Apa yang dipikirin, sih?"

"Ti-tidak." Dia menggeleng dengan leher getas. "Tapi, sayang dong kalau edelweiss itu hanya sugesti!"

"Maksudmu?"

"Sebetulnya, dengan edelweiss ini saya berharap Papa dan Mama saya bisa rujuk kembali di Jakarta!"

"Ya ampun, Nit! Jadi...."

"Orang tua saya baru saja bercerai, Wong!"

"Pantasan kamu...."

Saya terkesiap. Sedikit merasa menyesal telah secara tidak langsung menguakkan kembali kisah suram keluarganya yang lantak. Tapi saya memang tidak sengaja. Saya prihatin. Sangat prihatin. Pantas gadis itu seperti tidak memiliki semangat hidup.

"Saya memang bodoh ya, Wong! Mau percaya...."

"Tidak, Nit!"

"Tapi...."

"Kamu jangan bilang begitu."

"Sa-saya...."

"Kamu tidak salah berbuat begitu demi kebaikan orangtua kamu. Tapi alangkah baiknya kalau setiap hari ka-mu berdoa, supaya orangtua kamu dapat rujuk kembali. Itu lebih bagus ketimbang bersugesti dengan legenda edelwe-iss."

"Saya...."

"Saya turut prihatin atas prahara yang menimpa keluargamu. Tapi, saya harap kamu jangan terlalu sedih. Saya kira semua itu hanya cobaan hidup buat kamu!"

Saya lihat mata gadis itu berkaca-kaca. Sepasang ta-ngannya yang lampai menyentuh bunga-bunga edelweiss di atas meja. Seperti mengusap helai-helai berwarna putih ga-ding edelweissnya.

"Ta-tapi bunga-bunga ini...."

"Simpan di kamarmu sekembali ke Jakarta. Saya yakin, edelweiss itu pasti akan membuat ruang kamar kamu jadi lebih cantik."

***

Denpasar tujuh pagi. Masih terlalu pagi sebenarnya untuk memulai perjalanan. Saya lunglai. Berdiri di hadapan taksi dengan sikap gugu. Perjalanan ini merupakan pertemuan terakhir saya dengan teman-teman sekelas lainnya. Tiga tahun kami bersama dalam suka dan duka. Ada saatnya memang kami harus berpisah. Memilih jalan hidup kami masing-masing setelah menamatkan pendidikan di SMA Regina Pacis.

"Wong, mampir-mampir ke rumah ya?" Yanthi menjabat tangan saya.

"Jangan lupain Lina ya Wong kalau sudah di negeri orang!" Herlina berteriak dari dalam bis.

"Awas lho Wong, kalau tidak mampir ke rumah saat pulang ke Jakarta!" teriak Viona menongolkan kepalanya keluar jendela, lalu melambai antusias. "Sering-sering pager-an, ya?"

Saya mengangguk. Langkah saya memberat ketika Asep Suparman sudah mendesak agar segera berangkat ke Bandara Ngurah Rai. Telat satu jam berarti saya harus ketinggalan pesawat.

Pagi itu semuanya seperti membisu. Saya melambai sebelum akhirnya naik ke dalam taksi yang akan mengantar saya ke bandara. Di halaman hotel, bis pun sudah siap mengantar rombongan tur kembali ke Jakarta. Saya tidak ikut pulang ke Jakarta, karena via udara langsung ke Singapura untuk mengikuti tes masuk ke Katon Convention High School -- salah satu perguruan tinggi jurnalistik di sana.

Saya lihat Nita masih menundukkan kepalanya seperti biasa. Dia tidak berkata apa-apa tanda pamit. Saya hanya lihat matanya yang membasah. Saya tahu dia sedih. Sedih sekali. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk menghiburnya. Saya hanya bisa berdoa, semoga prahara keluarganya lekas berlalu.

"Wong, jaga diri baik-baik!" teriaknya akhirnya dengan suara parau.

Saya mengangguk. Nyaris meneteskan airmata haru. Tapi saya cepat-cepat berbalik, lalu masuk dan duduk ke dalam taksi.

Perjalanan dan singkat hari-hari kebersamaan memang membawa kenangan yang dalam. Di dalam taksi yang melaju kencang menuju bandara, saya sudah tidak kuasa menahan airmata yang menyeruak. Barangkali saya terlalu cengeng dengan akhir euforia ini. Barangkali juga saya telah jatuh hati kepada Nita.

Ah, entah kapan saya dapat bertemu, dan merangkai cerita indah bersama gadis itu lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun