***
Lautan pasir menenggelamkan aku
dalam kata-kata tanpa suara
Ia hadir menghampar
mengeksistensi keberadaan IsvaraÂ
Bromo
sekuntum edelweiss
sepasang kuda hitam dan putih
jejak-jejak kaki para sakai
adalah embusan lafaz
yang ditiupkan dari Svargaloka
kita memang hanya setitik pasir
-- Karya IsvaraÂ
Bromo, 09.07 AM.
Wanita yang kami sebut dengan Mami itu sekarang sudah mulai melunakkan amarahnya. Sekarang dia tidak lagi ngambek diaman. Banyak hal bagus terlewatkan bila sepanjang perjalanan hanya membatu. Di gigir puncak Bromo, dia malah mulai berkelakar.
Pranata yang membentang tergebah jauh-jauh. Interaksinya sebagai seorang ibu yang bersahabat telah merajut ikatan dalam lembar keharmonisan. Sebagai tetua, pemimpin, sekaligus teman yang menyenangkan. Dan dengan cepat mengadaptasi dengan peserta tur yang didominir sembilan puluh sembilan persen kaum muda.
"Pemandangan di sini bagus dijadikan lokasi untuk cerpen-cerpenmu, Wong," usul Mami begitu dia melihat saya mulai mencatat nama lokasi di buku catatan kecil saya. Kami berjalan beriringan bersama.
"Ya, Mami. Semua keindahan ini merupakan karya agung Isvara!"
"Isvara? Apa itu?"
"Oh, itu Tuhan, Mami. Dalam Veda agama Hindu, Isvara itu berarti Tuhan Yang Maha Esa."