Selama dalam perjalanan pula, kami banyak bertukar pengalaman. Tentang segala hal. Khususnya dunia yang kami geluti masing-masing. Dia menanyai tentang dunia kepenulisan yang tengah saya aktifi. Sementara, saya lebih banyak bertanya soal akting dan status yang disandangnya kini, yang lebih lazim disebut selebritis.
"Ya, sudalah. Mau ributin apa lagi?! Mami toh telah marah!" ujar Viona, lalu bangkit berdiri, dan mengibas-ibaskan tangannya seperti menggebah domba. "Sudah, sudah! Bubar sana! Besok subuh kita mesti berangkat ke puncak Bromo."
Anak-anak manut. Berlarian ke kamar mereka masing-masing. Robby baru kembali tepat ketika jarum panjang jam dinding menunjuk angka sebelas. Untung Viona sudah meringkuk di kamarnya beserta Mami. Kalau tidak, anak itu pasti kena damprat!
Jam sebelas lewat dua puluh menit, kami memutuskan untuk rehat. Sama halnya dengan kami yang cowok, bidadari-bidadari peserta tur berbagi dalam beberapa kelompok untuk satu kamar. Berjejal dalam satu ranjang seperti ikan dalam panggangan.
Suhu lima derajat celsius seperti membekukan kami di dalam kamar. Saya lihat Aditya belum berbaring, masih menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah di atas ranjang ketika saya hendak mematikan lampu.
"Kok belum tidur sih, Dit?!"
"Belum ngantuk."
Saya urung mematikan lampu.
"Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Ayo, tidur sana! Besok subuh kita mesti ke Bromo."
Dia mengangguk. Menelentang, lalu menarik selimut perca tebal sampai menutupi kepala. Saya matikan lampu dengan sekali sentuhan pada saklar meja.
Tidur menikmati dinginnya dingin.