“Aku,” aku mencoba mengingatnya.
“Aku belum ingat apa-apa.”
“Ya sudah jangan dipaksakan. Lebih baik sekarang kau istirahat saja.” ujarnya.
“Ya.” Aku pun menurutinya. Aku memutuskan untuk istirahat di ruang tengah yang terdapat tempat tidur “raksasa” itu.
***
Waktu terus berlalu. Setiap hari, setiap jam bahkan setiap menit, kecuali jika Rio sedang bekerja, Rio berusaha memulihkan kembali ingatanku. Aku melihat dan pula dapat kurasakan Rio begitu sabar membuatku mengingat kembali masa laluku terutama mengingat cerita cinta kita. Namun, belum bisa kuingat itu semua. Aku tidak ingat bagaimana saat pertama kali aku jatuh cinta padanya, bagaimana kisah asmara kita dan bagaimana akhirnya kita bisa sampai menuju pelaminan; mengikrarkan janji setia di hadapan khalayak untuk membangun bahtera rumah tangga.
Jarum jam mengarah tepat pada angka 01.00 am. Aku masih terjaga. Telah sejam lamanya aku berjalan bolak-balik seperti setrikaan. Kemudian, lelah, aku merebahkan diriku di atas tempat tidur ber-seprei warna putih dengan motif bunga-bunga. Sendiri. Ya, sendiri. Sementara, Rio tidur di sofa, di ruang depan. Selama ingatanku belum pulih, aku memang tak ingin dia menyentuhku. Aku katakan padanya bahwa aku agak risih dengan laki-laki yang terasa asing bagiku, walaupun pada kenyataannya dia bukanlah orang asing atau dia adalah suamiku sendiri. Untungnya dia mengerti keadaanku itu.
Dalam remang-remang cahaya di ruang tengah, kupejamkan kedua mataku; mencoba untuk tidur, tetapi tetap saja aku tak bisa tidur. Jarum pada jam dinding di ruangan ini terus berdetak; tik-tok-tik-tok. Pun terdengar suara jangkrik merdu di luar saling bersahut-sahutan; krik-krik-krik. Hawa malam ini begitu dingin terasa seakan menusuk-nusuk tulang-tulang tubuhku. Aku membolak-balik tubuhku ke kanan dan ke kiri, sesekali aku terlentang dan telungkup. Aku seperti cacing kepanasan di malam hari! Aku mencoba mengingat-ngingat kehidupanku di masa lalu terutama cerita cintaku dengan Rio. Rasa penasaran dan beribu pertanyaan terus menggelayut di otakku mengenai pernikahan aku dengan Rio. Bagaimana ceritanya aku bisa menikah dengannya. Siang tadi aku membaca majalah, kebetulan di sana ada tema tentang cinta. Katanya, cinta itu indah. Kita akan merasa nyaman dan bahagia ketika bersama dengan orang yang kita cintai. Namun, aku tidak merasakannya saat bersamanya. Aku merasa biasa saja. Atau jangan-jangan, aku mengalami perjodohan paksa dari kedua orangtuaku. Menikahi laki-laki yang tidak kucintai. Ah! Kuharap tidak. Oh, ya Tuhan, meski aku belum bisa mengingat apapun mengenai kisah cintaku dengannya – saat-saat cinta itu bersemi, paling tidak aku ingin sekali merasakan cinta saat bersama dengan dirinya. Hoah! Aku menguap, pertanda itu aku mulai mengantuk. Oke, walaupun belum bisa di dunia nyata, semoga rasa itu bisa hadir di dunia mimpi. Hoah! Sekali lagi aku menguap. Dalam hitungan detik, aku terlelap bertemankan sepi dan dinginnya malam. Sepasang mata menatap dari balik sekat pemisah ruang. Ada doa dan harap dalam hatinya; semoga kau dapat mengingat kembali cerita cinta kita yang lalu.
***
Pagi ini hari minggu. Aku membuka kedua mataku setelah kudengar dentingan jam dinding berkali-kali. Pukul 07.00 tepat. Tampak semburat cahaya pagi menelusup masuk melalui ventilasi udara di ruangan ini. Aku bangun, sejenak kuregangkan otot-otot kedua tanganku, lalu menuju cermin rias yang terletak tepat di depan tempat tidur. Kupandang pantulan bayanganku sendiri. Aku dandan seadanya. Kuikat rambutku dibentuk seperti ekor kuda. Setelah dandan, aku menuju ruang depan. Kulihat Rio sedang berbaring di sofa. Kedua matanya memandang langit-langit; entah apa yang dipandangnya di atas sana. Menurutku, tak ada yang menarik selain dari pada debu-debu atap, jaring laba-laba atau seekor atau dua ekor cecak yang menjijikkan sedang berkeliaran. Tapi, tidakkah kulihat rumah ini begitu bersih, rapi dan wangi, tentunya tak ada penampakan itu semua. Mungkin, dia sedang melamun. Hanya Tuhan yang tahu. Dan aku masih berdiri di ambang sekat, memperhatikannya. Sadar sedang diperhatikan, dia melirik juga ke arahku. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi heran melihatku sudah rapi pagi ini. Dia beranjak dari sofa dan berjalan menghampiriku.
“Pagi, sayang.” Sapanya.