“Ya Pak.” Kata Ratih pelan hampir tak terdengar sambil mendekati sang dosen yang sudah duduk.
“Terima kasih atas cintanya ya?” kata Pak Kamajaya pelan sambil tersenyum.
“Emm…aaa….” Wajah Ratih memerah. Mata sang dosen memandangnya penuh arti.
“Sudah, Bapak cuma mau mengatakan itu.” Katanya kemudian.
***
Satu bulan berlalu.
Hampir tiap malam menjelang tidur, kertas ujian yang namanya salah selalu ia buka kembali. Kadang ia ingin merobek-robek kertas itu, namun tidak berani. Pak Kamajaya melarang membuangnya. Hari-hari berikutnya dosen muda itu tak pernah mengungkit masalah kertas ujian. Ratih pun merasa lega. Hingga yang awalnya diliputi ketakutan, kini menjadi biasa lagi. Kadang-kadang ketika bertemu di kampus, ia mengangguk dan tersenyum. Pak Kamajaya pun membalasnya. Tak ada dialog.Namun suatu kali seusai kuliah ia dipanggil agar menemani berjalan bersama ke kampus lain. Ia tidak tahu apakah benar sang dosen itu punya tujuan ke kampus lain atau tidak.
“Ratih asalnya dari Majalengka ya?” ketika itu sang dosen bertanya. Ratih kaget.
“Bapak tahu dari mana?”
“Kan biodata mahasiswa di database lengkap.”
“Och…”