Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Aku Mencintai Dosenku

13 Juni 2014   02:44 Diperbarui: 20 Februari 2016   18:55 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ratih mendesah dalam.

 Kantin kampus yang ramai tak begitu menarik hatinya. Gadis ini masih merasakan kekacauan dirinya yang tiga puluh menit dirasakan dalam hatinya. Semua terabaikan. Termasuk Agung, sahabat sejak SMA-nya yang sejak tadi menemaninya minum, tak dihiraukan.

Pak Kamajaya, dosen Statistika itu begitu mengeruhkan pikirannya. Bagaimana tidak, setengah jam lalu adalah ujian tengah semester. Di tengah keheningan mahasiswa mengerjakan Ratih mencoba melihat ke arah Pak Kamajaya. Sssrrr…..! Hati Ratih berdesir. Dosen muda yang ganteng itu ternyata sedang mengamati dirinya. Muka Ratih memerah. Ia membuang muka. Salah tingkah. Penyelesaian soal berikutnya menjadi kacau. Ia hanya menjentik-jentikkan puplen, kadang diputar-putar di jemarinya.

“Awwww jangan!” tiba-tiba Ratih menjerit mempertahankan kertas ujian yang ditarik seseorang.

“Waktu sudah habis……” kata seseorang dengan suara dalam. Ratih menoleh.

“Och….!” muka Ratih kembali memerah. Ia tidak menyadari melakukan apa saja dengan sisa waktu ujian hingga tidak menyadari Pak Kamajaya telah di sampingnya. Dengan terpaksa ia melepas kertas ujian. Kertas itu dibaca sejenak oleh.

“Namamu belum ditulis!” kata sang dosen mengembalikan kertas.

“Och!” Ratih dengan cepat menulis. Kemudian diserahkannya kembali.

“Kenapa namaku yang ditulis?” tanya Pak Kamajaya heran.

“Och!” Muka Ratih memerah. Kali gadis itu tidak tahan. Ia tertelungkup di meja.

Ratih sama sekali tidak sadar kalau nama dosennya yang ditulis di kertas ujiannya. Kiamat sudah! Pikirnya. Ia tidak tahu berbuat apalagi. Nama itu ditulis dengan pulpen.

“Betulkan…..” Pak Kamajaya meminta gadis itu membetulkan namanya.

Ratih buru-buru menerima kertas itu tanpa banyak kata. Ia kemudian mencoret-coret nama “Kamajaya”.

“Kok namaku dicoret-coret begitu? Itu tidak menghargai!”

“Och!” Ratih kembali tertelungkup.

“Seharusnya pakai tip-exx atau apa…lah”

“Och maaf….maaa….maaf.” kata Ratih terbata-bata. Ia berniat meminjam tip-exx kepada teman lainnya. Namun ia kaget. Semua temannya telah meninggalkan ruang ujian.

“Ya sudah Bapak tahu tak ada teman yang membantu meminjamkan tip-exx.”

“Ya Pak.”

“Siapa namamu?”

“Ratih.”

“Ouuch….. Ratih? Kamaratih?” Pak Kamajaya mencoba menebak.

“Bukan……… “ kata Ratih sambil menuliskan namanya sendiri. Ia tidak sadar kalau menuliskan nama sendiri di depan nama dosennya. Maka tertulislah Ratih Tresna Kamajaya.

“Ooo….oooo….. jadi kamu mencintai Bapak , Ratih?”

“Apa Pak?” tanya Ratih kaget sambil mencoba melihat wajah sang dosen.

“Kamu baca tulisan itu, kamu tahu artinya tresna?”

“Cinta Pak.”

“Nah jadi yang kamu tulis itu artinya Ratih Cinta Kamajaya….. iya kan?”

“Och!” Ratih benar-benar kaget. Buru-buru ia mencoret-coret namanya sendiri.

“Nah dengan begitu impas sudah, klop, nama Ratih dan nama Kamajaya sama-sama dicoret. Kelihatannya seperti orang sedang membayangkan sesuatu, Ratih Tresna Kamajaya, tetapi terus dihapus. Artistik….. bagus….. kesinikan kertasmu.” kata Pak Kamajaya mengulurkan tangannya.

“Jangan Pak…… ini salah.”

“Kan Bapak mau koreksi.”

“Kan namanya masih salah.”

“Sudah benar. Namamu Ratih …… yang penting bapak sudah tahu ini kertasmu?”

“Tapi Pak?”

Pak Kamajaya tidak peduli. Ia memaksa Ratih menyerahkan kertas ujiannya. Akhirnya Ratih mengalah. Namun kemudian gadis itu tertelungkup. Sejenak kemudian terdengar gadis itu terisak. Sang dosen tertegun sejenak. Setelah berfikir sejenak, laki-laki menaruh kertas di meja. Gadis itu dipanggil namanya. Yang dipanggil tidak serta merta menoleh. Ia sibuk membasuh air matanya dengan tissue. Setelah agak reda, Ratih memegang kertasnya. Ia masih diam.

“Kertas itu boleh kamu bawa pulang. Tulis lagi yang bersih. Besok dikumpulkan, tapi ingat, jawaban harus persis, jangan ditambah-tambahi. Tapi ingat, kertas aslinya jangan dibuang. Simpan baik-baik. Siapa tahu sewaktu-waktu Bapak menanyakannya.”

“Iya Pak.”

“Sekarang kamu boleh keluar ruangan.”

“Terimakasih Pak.”

Lega hati Ratih melangkah meninggalkan Pak Kamajaya. Hatinya benar-benar dongkol kepada dirinya sendiri yang bodoh. Tapi bukan bodoh! Sangkal hatinya yang paling dalam. Apa? Kacau. Ia bergegas sambil tertunduk.

“Ratih!” Pak Kamajaya memanggil. Ratih kaget. Belum juga kakinya melewati pintu, sang dosen memanggilnya. Hatinya mengeluh.

“Iya Pak…..” kata Ratih sambil menoleh. Sesekali ia masih menyeka matanya.

“Sini sebentar…..”

“Ya Pak.” Kata Ratih pelan hampir tak terdengar sambil mendekati sang dosen yang sudah duduk.

“Terima kasih atas cintanya ya?” kata Pak Kamajaya pelan sambil tersenyum.

“Emm…aaa….” Wajah Ratih memerah. Mata sang dosen memandangnya penuh arti.

“Sudah, Bapak cuma mau mengatakan itu.” Katanya kemudian.

***

Satu bulan berlalu.

Hampir tiap malam menjelang tidur, kertas ujian yang namanya salah selalu ia buka kembali. Kadang ia ingin merobek-robek kertas itu, namun tidak berani. Pak Kamajaya melarang membuangnya. Hari-hari berikutnya dosen muda itu tak pernah mengungkit masalah kertas ujian. Ratih pun merasa lega. Hingga yang awalnya diliputi ketakutan, kini menjadi biasa lagi. Kadang-kadang ketika bertemu di kampus, ia mengangguk dan tersenyum. Pak Kamajaya pun membalasnya. Tak ada dialog.Namun suatu kali seusai kuliah ia dipanggil agar menemani berjalan bersama ke kampus lain. Ia tidak tahu apakah benar sang dosen itu punya tujuan ke kampus lain atau tidak.

“Ratih asalnya dari Majalengka ya?” ketika itu sang dosen bertanya. Ratih kaget.

“Bapak tahu dari mana?”

“Kan biodata mahasiswa di database lengkap.”

“Och…”

“Dari dulu kamu suka berkata och ya?”

“Och!”

“Naaah itu kan?”

“Maaf Pak, kebiasaan…. memang.”

“Kebiasaan yang mudah diingat orang. Termasuk bapak suka mengingatnya!”

“Och!”

“Nhaaa…. Ya kan?”

“Och! Iya… maaf…maaf…”

“Kapan pulang kampung? Akhir semester ini pulang nggak?”

“Belum tahu.”

“Bapak orang Majalengka juga lho ….. “

“Och! Majalengka?”

“Iya. Kamu belum tahu ya? Bukannya waktu awal-awal kuliah Bapak sudah sampaikan perkenalan?”

“Ohh… maaf Pak, hari-hari awal kuliah saya sakit. Dua perluliahan bapak saya tidak ikut. Jadi tidak tahu Bapak waktu perkenalan.”

“Awas satu kali lagi kamu tidak ikut, tidak boleh ikut ujian lho….”

“Maaf Pak. Mohon jangan begitu Pak.”

“Peraturan harus begitu.”

“Kan sama-sama orang Majalengka.”

“Wah nggak boleh mencampur adukkan primordialisme dalam urusan ini.”

“Ya sudah Pak, empat perlukialah berikutnya saya harus selalu hadir.”

“Makanya harus sehat.”

“Insya Allah Pak. Doakan saya ya Pak?”

“Hey! Masa ke dosenmu minta didoakan?”

“Och! Maaf…. maafff pak, minta maaf Pak.”

“Ya,ya….. bercanda kok. Ya semoga sehat. Tapi Bapak ingin kapan-kapan kita pulang bareng ke Majalengka ya?”

“Emmm….. “

“Sudah, nggak usah dijawab. Bapak sudah tahu jawabannya kok….. Pasati kamu jawab ya. Mahasiswa biasanya takut dosen. Tak berani menolak.... heheheee..."

***

Dua bulan berlalu.

Di hadapan teman-teman Ratih tak ada yang tahu. Antara Ratih dan Kamajaya sering kontak lewat HP. Ratih tahu, dosen muda itu menaruh perhatian kepadanya. Iapun sebenarnya sudah sejak kasus ujian lalu menaruh perhatian juga. Hingga berganti hari rasa yang adalam hatinya tumbuh tidak hanya sekedar perhatian, tetapi menjadi sebuah kekaguman terhadap dosennya itu.

Suatu kali pulang kuliah, Ratih mengajak Agung ke bangku taman kampus. Agung sebagai sahabat yang dikenalnya sejak SMA adalah sahabat yang baik. Mahasiswa yang beda jurusan itu tahu hampir semua kehidupan Ratih.

“Gung, kamu pernah jatuh cinta nggak?” tanya Ratih.

“Pernah, dulu sudah lama. Kesininya bukan jatuh lagi, tapi merasakan cinta.”

“Bagaimana rasanya.”

“Sulit dikatakan Tih. Hanya bisa dirasakan. Tak sepadan kata-kata kita untuk melukiskan cinta.”

“Gung, benar katamu……. aku rasanya sedang jatuh cinta.”

“Bukannya sejak SMA kamu sudah punya itu?”

“Tidak Gung. Baru kali ini aku mengalami kegaguman, dan mungkin cinta, kepada laki-laki. Ia pemberani.”

“Oooohhhh…..”

“Benar Gung, tak terlukis dengan kata-kata.”

“Baru kali ini katamu?”

“Iya.”

“Dari dulu-dulu, bagaimana?”

Aku juga heran. Ketika SMA banyak temanku yang berpasangan, pacaran, atau apalah namanya. Tapi tidak merasakan apa-apa. Aku berfikir aku ini normal apa tidak. Namun baru kali ini ada jawaban. Dadaku bergetar. Hati berdesir. Pikiranku tak tenang. Aku selalu ingat pada Pak Kamajaya. Apalagi ketika aku tahu bahwa beliau orang Majalengka juga.”

“Kau mencintainya?”

“Sepertinya…..”

“Ratih, kamu tidak merasa bahwa sejak SMA ada yang menaruh hati padamu?” tanya Agung perlahan.

“Menaruh hati? Cinta maksudnya?”

“Iya.”

“Tidak Gung.”

“Ratih, kamu tidak merasa bahwa Agung ini mencintaimu?” kata Agung dengan bibir bergetar.

Ratih kaget. Ditatapnya Agung dalam-dalam. Hingga lama keduanya diam.

“Gung, kenapa kamu tak pernah ngomong?”

“Apakah kalau cinta harus dikatakan?”

“Harus. Bagiku harus. Perkataan cinta ibaratnya perjanjian.”

“Apakah perbuatan dan perhatianku selama ini tidak pernah Ratih tangkap sebagai sinyal-sinyal?”

“Manusia bukan mesin Gung. Tak semua perempuan berhati sama untuk menangkap sinyal-sinyal. Nah aku ini sepertinya orang yang tak mengerti sinyal-sinyal. Bolehlah aku kau anggap terlalu bodoh.”

“Pertimbangkanlah kembali Tih. Sejak kelas dua SMA, sekarang semester ke-5. Berapa tahun Tih?”

“Agung…. sahabatku. Aku minta maaf. Ratih memang diciptakan menjadi perempuan yang tidak memahami sinyal. Selama ini aku menganggapmu tulus bersahabat denganku …… “

“Bukannya kamu tahu selama bersama kamu aku tak punya pacar?”

“Akupun selama ini tak punya pacar….”

“Sekarang pertimbangkan Ratih, mudah-mudahan Agung belum terlambat .”

Tak mudah bagi Ratih untuk menjawab. Hingga lama pula Agung membiarkan Ratih diam berfikir. Hatinya penuh harap. Di detik-detik akhir ini ia mengharap ada sebuah keputusan besar dalam hidupnya.

“Gung…….” akhirnya Ratih memecah keheningan, “ maafkan Ratih ya.”

“Apa maksudnya maaf?”

“Aku tidak bisa mengabaikan ini …………….. “ kata Ratih sambil menyorongkan HP di meja depan Agung. Mata Agung melihat pengirim SMS, Aa Kamajaya.

“…… Ratih, aku berasal dari keluarga yang tak mengenal pacaran. Seperti kesediaanmu, bulan depan Aa menghadap Bapak dan Ibu, untuk mengkhitbahmu ….. semoga kesediaanmu menjadi awal kebahagiaan kita. Amin.”

Lemas lutut Agung. Keringat dingin membasahi dahinya. Dalam kekecewaannya ia mengeja nama Ratih Kamajaya, sebuah kombinasi dewa-dewi cinta dalam kitab Mahabharata, Kamajaya-Kamaratih. Ia menyesali dirinya, mengapa sejak dulu tak pernah ia katakan bahwa ia mencintai Ratih. ***

Salam buat A****.

Masih banyak wanita di muka bumi ini

Yang sebaik ****h.

Keterangan kata Bahasa Sunda :

1. Aa dibaca a-a (huruf a-nya dipisah)

2. Aa (Sunda) = Kang (Sunda) = Akang (Sunda) = Mas (Jawa) = Kakang (Jawa) = Kangmas (Jawa)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun