“Sudah benar. Namamu Ratih …… yang penting bapak sudah tahu ini kertasmu?”
“Tapi Pak?”
Pak Kamajaya tidak peduli. Ia memaksa Ratih menyerahkan kertas ujiannya. Akhirnya Ratih mengalah. Namun kemudian gadis itu tertelungkup. Sejenak kemudian terdengar gadis itu terisak. Sang dosen tertegun sejenak. Setelah berfikir sejenak, laki-laki menaruh kertas di meja. Gadis itu dipanggil namanya. Yang dipanggil tidak serta merta menoleh. Ia sibuk membasuh air matanya dengan tissue. Setelah agak reda, Ratih memegang kertasnya. Ia masih diam.
“Kertas itu boleh kamu bawa pulang. Tulis lagi yang bersih. Besok dikumpulkan, tapi ingat, jawaban harus persis, jangan ditambah-tambahi. Tapi ingat, kertas aslinya jangan dibuang. Simpan baik-baik. Siapa tahu sewaktu-waktu Bapak menanyakannya.”
“Iya Pak.”
“Sekarang kamu boleh keluar ruangan.”
“Terimakasih Pak.”
Lega hati Ratih melangkah meninggalkan Pak Kamajaya. Hatinya benar-benar dongkol kepada dirinya sendiri yang bodoh. Tapi bukan bodoh! Sangkal hatinya yang paling dalam. Apa? Kacau. Ia bergegas sambil tertunduk.
“Ratih!” Pak Kamajaya memanggil. Ratih kaget. Belum juga kakinya melewati pintu, sang dosen memanggilnya. Hatinya mengeluh.
“Iya Pak…..” kata Ratih sambil menoleh. Sesekali ia masih menyeka matanya.
“Sini sebentar…..”