"Abang kenal dia?"
"Ya, aku tahu. Beberapa hari yang lalu aku diundang ke rapat persiapan kegiatan pecinta alam. Mereka juga akan mengadakan kegiatan pengambilan syal, tapi mereka masih satu minggu lagi. Selama ini Ahmad memang dianggap cakap dalam menentukan rute pendakian di organisasi mereka."Â
"Tapi Bang, kita PMR. Bukan disiapkan sebagai pendaki," Defan resah.
"Lalu mengapa kau pilih dia jika akhirnya tak percaya?"
Husen menepuk bahu adiknya. "Sudahlah... sekarang pulang, dan siapkan perlengkapan untuk besok berangkat. Yang lainnya sudah siap?"
"Sudah Bang. Besok Mobil truk besar akan menjemput kita di gerbang sekolah jam setengah tujuh," jawab Defan, masih belum yakin.
"Ok, baguslah kalau begitu. Jangan terlalu khawatir, mencoba tempat baru tak ada salahnya kan...? Abang tahu tempat itu. Orangtua Abang punya kebun pisang di sana dulu, tapi sudah dijual kepada penduduk setempat. Memang Abang sudah jarang kesana lagi. Namun setidaknya...."
Husen tidak menuntasan kalimatnya. Ada makna ambigu di sana. Langit mulai cerah. Matahari terasa hangat. Hari ini cuaca cukup baik. Semoga bertahan sampai besok dan lusa.
"Setidaknya apa Bang?" dahi Defan mengernyit heran. Mengapa Husen tampak ragu meneruskan kalimatnya.
"Setidaknya Abang tahu keadaan di sana." Husen tersenyum. "Sudahlah... Sana pulang! Hari ini cerah. Semoga Besok harinya baik ya. Agar anak-anak sehat dan acara berjalan lancar. Optimis saja!" Lagi-lagi Husen menepuk pundak juniornya.
"Iya Bang. Terimakasih. Sampai ketemu besok. Aku pulang dulu."