"Aku tahu kalau tempat ini angker. Termasuk rumpun bambu itu," dagu Widi digerakkan untuk menunjuk tempat diamana bambu itu berada.
"Semalam kami ketakutan. Bersembunyi di bawah rumpun bambu itu," Joko menimpali. Mengenang kejadian semalam.
"Ketakutan kenapa?" Kening Siti Mengernyit. "Takut sama angin topan?"
"Bukan. Ada segerombol srigala menghampiri tenda kita tepat setelah tenda-tenda runtuh oleh angin besar. Kami tak ada pilihan lain. Rumpun bambu itu satu-satunya pilihan untuk kami berlindung dari hujan." Ahmad menjelaskan.
"Benar, Srigala tak akan mau mendekat ke sana," ucap Widi.
"Kenapa Wid?" Siti heran.
"Karena ada sesuatu yang membuat mereka takut di sana. Kalian beruntung selamat malam ini. Mungkin yang ada di sana takut karena semalam kalian ngumpet bertujuh. Ha ha ha ..."
Widi tertawa di akhir kalimat. Ia sudah lebih tenang sekarang. Bayangan kejadian semalam sudah perlahan sirna. Widi memang bukan pertama kali mengalami kejadian seperti itu. Di kampungnya ia sempat beberapa kali merasakan ketakutan yang luar biasa, melihat sosok yang serupa, mendengar lolongan srigala, lengkingan suara gagak, dan cahaya yang menyerupai lampu sekalipun.
Cahaya yang sesungguhnya adalah berasal dari ekor harimau yang keluar malam hari. Kakeknya bilang itu adalah harimau jadi-jadian. Mahluk halus yang menyerupai harimau. Berbeda dengan harimau yang ada di kebun binatang. Widi percaya kepada hal yang gaib, tapi ia tak mau terlalu memjadikannya momok yang menakutkan. Anggap saja mereka sial tertangkap mata manusia. Karena itu Widi tak mau mengingat-ingat kejadian semalam, agar lekas lupa dan tak merasa ketakutan lagi. Walaupun jujur, tadi malam itu rasanya takut sekali sampai-sampai Widi menangis sambil memacu kakinya berlari sekencang mungkin.
"Tempat ini memang angker, tapi aku tak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Sejak dulu aku sudah tahu. Itulah alasan mengapa orangtuaku menjual tanah di tempat itu. Itu pun lama sekali lakunya. Tidak ada orang yang mau membelinya. Lalu, yang tadi malam kamu lihat itu Widi, di sana tak ada rumah. Hanya ada beberapa pekuburan yang dulu jumlahnya tak sampai 10. Abang juga tak tahu mengapa sekarang begitu banyak. Sudah sangat lama pula Abang tak kesini." Husen membagi cerita.
"Kenapa Abang menyetujui kami melaksanakan perkemahan di tempat ini?" Defan seolah menyalahkan persetujuan Husen.