Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Satu Malam yang Mencekam

9 Mei 2020   16:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:43 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Husen dan Agas adalah saudara sepupu. Jadi hubungan mereka lebih dekat. Dalam hal berorganisasi juga mereka memiliki kemampuan yang sama. Otak mereka cerdas dalam memutuskan plan B dan C jika plan A tidak terealisasi dengan baik.

Sementara Deffan, jangan ditanya. Ia memang ketua. Tapi jika masalah berjalan dalam kegelapan Widi lebih berani daripada dirinya. Widi adalah anak perempuan pertama yang dibesarkan dengan didikan keras. Walaupun seorang perempuan ia telah dilatih untuk berani oleh ayahnya termasuk berjalan di malam hari dengan keadaan gelap gulita sekalipun.

 **

Cijoho malam hari.

Hujan terdengar berbunyi gemericik membasahi apapun yang dijatuhinya. Tanpa jas hujan dan tanpa payung, ketiga pencari rute jurit malam berjalan menyusuri jalan beraspal. Jalan yang sepi tanpa suara. Semua penduduk yang rumahnya terlewati tampak senyap. Mungkin mereka memang sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing.

Jalan sedikit menanjak. Widi dan Tesha berjalan di sisi sebalah kanan dan kiri Husen. Seniornya itu bercerita dengan suara sedikit tertahan. Berbisik agar tak menimbulkan suara gaduh. Mereka harus berhati-hati menjaga pandangan penduduk. Malam ini mereka berjalan hanya bertiga. Laki-laki dan perempuan.

"Nah... dulu keluarga Abang punya kebun di sini. Cukup luas. Hanya karena ayah dan ibu merasa tak sempat memeliharanya, maka kebunnya dijual dan dibelikan tanah yang dekat dengan tempat tinggal yang sekarang."

Tesha dan Widi keduanya menganguk saja. Mereka mulai gusar. Langkah kaki nya mulai tak seirama dengan hati dan pikirannya. Kakinya memang terus melangkah. Tapi hati dan pikiran mereka ingin rasanya secepatnya kembali ke masjid tempat kawan-kawannya berkumpul tadi.

Langkah mereka semakin melambat. Rumah terakhir sudah terlewati. Sisanya hanya ladang jagung dan ketela pohon.

Lampu senter yang mereka bawa menagkap sesuatu. Tepat di depannya. Widi melihat dengan jelas sesosok tanpa rupa berdiri tegap dipinggir sebuah pilar, entah bangunan apa itu namanya. Hanya tampak samar-samar. Sekilas seperti bangunan rumah tua, sekilas pula di sekelilingnya tampak seperti pekuburan. Sosok hantu itu berdiri tegap berwarna putih hitam ah, entah apa rupanya. Seolah ia terganggu dengan kedatangan mereka bertiga. Namun Widi enggan bicara. Hatinya mencoba menguatkan semangat. Barangkali itu hanya penglihatannya saja.

Namun tiba-tiba Tesha bergumam, "Bang Husen itu apa?" Tangannya merangkul erat lengan sebelah kiri Husen. Widi pun demikian. Ia mulai memegangi tangan kanan Husen lebih erat. Kali itu Husen satu-satunya orang yang mereka andalkan bisa melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimpa.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun