Masyarakat Rejang berbicara bahasa Rejang, di daerah Argamakmur, Muaraaman, Curup, Kepahiang dan Rawas. Ada lima dialek utama: Lebong, Musi, Kebonagung, Pesisir dan Rawas. Bahasa Rejang tidak memiliki kaitan yang jelas dengan bahasa Melayu-Polinesia lainnya. McGinn (2009) berpendapat bahwa Bahasa Rejang adalah satu kelompok dengan bahasa Bidayuh dan Melanau di Kalimantan. Bahasa Rejang tidak ada kaitannya dengan bahasa Rejang-Baram yang digunakan di Sarawak dan Kalimantan, yang sama sekali berbeda.Â
Suku Rejang memiliki sebuah abjad, yang merupakan satu kelompok aksara yang dikenal sebagai surat ulu, yang meliputi varian yang terdapat di Bengkulu, Lembak, Lintang, Lebong dan Serawai. Abjad Rejang juga kadang-kadang dikenal sebagai Kaganga, mengacu kepada tiga huruf pertamanya, dan berhubungan dengan abjad Batak dan Bugis. Abjad Rejang adalah istilah adat yang lebih umum digunakan untuk merujuk pada tiga kelompok utama aksara Sumatera Selatan: surat incung di Kerinci, surat ulu di Lebong, Lembak, Lintang, Basemah, Rejang dan Serawai, dan surat Lampung di Lampung, Abung dan Komering.Â
Orang Rejang adalah orang Sumatera yang asli, sedikit dipengaruhi oleh budaya dan adat Melayu dan Jawa (Marsden, 1784). Orang Rejang telah terisolasi dari dunia luar selama berabad-abad. Mereka memegang teguh sejarahnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh budaya lain. Faktor-faktor ini membuat mereka sangat tidak percaya dan berpikiran agak tertutup terhadap orang luar.Â
Nama Rejang berasal dari kata ra dan hyang, yang berarti dewa ("Hyang") yang mulia. "Ra" adalah nama atau sebutan untuk orang yang terhormat dalam sejarah kuno Nusantara. Rahyang juga dapat diartikan sebagai "Dewa Ra". Ra, dewa matahari, mendapatkan tempat yang sangat penting dalam jajaran dewa di Mesir. Sebutan "Tanah Dewata", yang dapat ditafsirkan sebagai "Tanah Suci" atau "Tanah para Dewa/Leluhur" dan mengacu pada Ta Netjer, adalah Tanah Punt. Sejarawan percaya bahwa Tanah Punt dapat disebut sebagai tempat tinggalnya para dewa dan lokasinya terdapat di sebelah timur Mesir, kearah matahari terbit, kearah dewa matahari Ra. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari menyebutkan bahwa Tanah Punt adalah sebagai "Tanah Suci".Â
Budaya Basemah
Dataran tinggi Basemah (atau Pasemah), berada di pegunungan Barisan sebelah barat Lahat, Sumatera Selatan, terkenal dengan batu-batu megalitik yang misterius dan tersebar di seluruh daerah tersebut. Batu-batu tersebut telah berusia sekitar 3600 tahun, tetapi hanya sedikit yang diketahui ataupun peradaban yang membuatnya. Sementara museum-museum di Palembang dan Jakarta telah menyimpan batu-batu tersebut, masih ada banyak yang berada di tempat aslinya.Â
Situs megalitik ini dianggap salah satu situs yang paling terpencil dan misterius di Asia Tenggara. Di daerah antara Lahat dan Pagaralam, terdapat sekitar 26 situs yang meliputi batu kubur, patung megalit dan tempat pemujaan bertingkat. Strukturnya adalah sekumpulan budaya simbolik monumental di Sumatera. Seni batu di daerah ini adalah unik dan terdiri dari tokoh-tokoh heroik dengan ekspresi wajah yang dramatis. Orang-orang Basemah masih menggunakan patung-patung ini sebagai situs untuk pemujaan, dan memohon restu dan perlindungan terhadap bencana alam kepada roh nenek moyang mereka.Â
Beberapa peneliti meyakini bahwa orang-orang Basemah berasal dari Kalimantan sebelum bermigrasi ke Sumatera dan dataran tinggi Basemah. Saat ini, kelompok masyarakat Basemah meliputi suku Basemah dan beberapa suku lain yang terkait, yang terpusat di puncak sebuah gunung berapi, Gunung Dempo. Masyarakat Basemah menyebar dari lereng gunung kearah barat, selatan dan baratdaya di sepanjang pegunungan Barisan. Orang-orang Basemah tinggal di Provinsi Sumatera Selatan di sebagian Kabupaten Lahat dan di seluruh Kota Pagaralam. Beberapa masyarakat Basemah juga tinggal di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan di Kabupaten Kaur Utara, Provinsi Bengkulu.Â
Bukti-bukti yang Mendukung
Perbandingan hal-hal yang digambarkan pada relief di Deir el-Bahari dengan masyarakat Enggano dulu dan sekarang, serta beberapa masyarakat lain di sekitarnya, menunjukkan banyak sekali kecocokan. Gambaran mengenai masyarakat kuno Enggano diperoleh dari buku Modigliani dan artefak-artefak koleksi Rijksmuseum Belanda, Museum Bengkulu dan Museum Palembang.Â
1) Perdagangan barang berharga
Pada awal abad Masehi, orang-orang Barat menyebut Asia Tenggara sebagai Golden Khersonese ("Tanah Emas"), demikian pula orang-orang daratan India menyebutnya sebagai Suwarnadwipa ("Pulau Emas"). Tidak lama setelah itu, daerah ini menjadi terkenal karena lada, hasil hutan, kayu dan getah wangi dan rempah-rempah yang terbaik dan paling langka. Istilah-istilah diantaranya "Jalur Sutera", "Jalur Emas", "Jalur Dupa", "Jalur Gading", "Jalur Kayumanis" dan "Jalur Rempah-rempah" adalah diciptakan untuk menunjukkan jalur ke Timur dan Asia Tenggara. Dari abad ke-7 sampai ke-10, orang-orang Arab dan Tiongkok tertarik dengan emas di Asia Tenggara, serta rempah-rempah yang telah terlebih dulu ada. Dilakukan pula oleh para pelaut abad ke-15 dari pelabuhan-pelabuhan di Samudera Atlantik, di belahan bumi yang berlawanan, dan berlayar ke lautan yang tidak diketahui untuk menemukan Kepulauan Rempah-rempah ini. Mereka semua tahu bahwa Asia Tenggara adalah pusat rempah-rempah dunia. Dari sekitar tahun 1000 Masehi sampai abad ke-19 di "era industri", semua perdagangan dunia kurang lebih diatur oleh pasang surut dan aliran rempah-rempah yang berasal dari Asia Tenggara.Â
Selama tiga ribu tahun, para firaun Mesir telah memperdagangkan barang-barang dengan negara-negara lain, sementara mereka mencoba mengontrol perdagangan tersebut dan untuk memperoleh keuntungan darinya. Barang dagangan tersebut termasuk kayu cedar Lebanon; kayu eboni dan gading dari Afrika; dupa, myrrh dan minyak dari Punt; lapis lazuli dari Afghanistan; emas dari Nubia, dan bahkan logam-logam penting seperti tembaga dan besi dari sekutu dekat mereka. Kadang-kadang, mereka membeli tembikar atau kuda dari masyarakat lainnya.Â