Naville (1898) menggambarkan bahwa pondok-pondok di Tanah Punt dibangun diatas tiang dan dilengkapi dengan tangga, dimaksudkan untuk melindungi terhadap binatang buas. Pondok tersebut terbuat dari anyam-anyaman, mungkin daun kelapa; semuanya berbentuk sama.Â
Modigliani (1894) menggambarkan bahwa pondok orang Enggano disebut cacario dan berbeda jauh dengan yang di Malaysia dan sekitarnya. Lantainya biasanya tersusun dari dua atau empat potong kayu besar, dan dipotong membentuk lingkaran; rumah biasa berukuran diameter 3 sampai 4 meter.Â
Rijksmuseum menggambarkan bahwa pondok orang Enggano adalah sangat khas. Sekarang sudah tidak ada lagi, pondok yang terakhir telah rusak sekitar tahun 1903. Pondok jenis ini dipasang hiasan burung dari kayu pada atapnya. Selain itu, pintunya sempit. Pondok jenis ini tidak memiliki tiang tengah. Pondok berbentuk sarang lebah di Enggano ini adalah untuk pria dan wanita, dan kadang-kadang digunakan untuk anak bungsu keluarga. Pondok jenis ini terlalu kecil dan tidak nyaman, dengan tidak ada bukaan untuk pertukaran udara yang digunakan oleh penghuninya. Beberapa pondok sarang lebah tersusun dalam satu lingkaran dan merupakan sebuah pemukiman. Pondok utama berada di tengah dan sedikit lebih besar dari pondok-pondok yang lain. Gambar pondok jenis ini terdapat juga di Florence dan Jakarta.Â
Gambar-gambar pada baris bawah, (f) sampai (j), adalah pondok-pondok yang merupakan pengembangan arsitektur yang mirip pondok Enggano di sekitar wilayah tersebut.Â
Gambar 19. Bingkai pintu pondok Enggano:
(a) Modigliani (1894); (b) RijksmuseumÂ
4) Pohon pinang
Gambar 20. Pohon pinang: (a) Punt, Naville (1898); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) Sumatera; (d) – (f) buah pinang
Seperti yang dijelaskan oleh Neville (1898), rumah-rumah penduduk asli Tanah Punt berada dibawah naungan pohon. Terdapat banyak pohon-pohon ini ditanam di Tanah Punt seperti yang ditunjukkan pada relief-relief di Deir el-Bahari. Pada fragmen yang diilustrasikan oleh Neville, terlihat seekor beruk memanjat pohon palem, yang kemungkinan adalah sejenis dengan pohon-pohon di Tanah Punt yang kemudian ditanam di Wilayah Selatan, dari bijinya yang dibawa dari Tanah Punt.Â
Penulis mengidentifikasi pohon-pohon palem tersebut sebagai pohon pinang, yang merupakan pohon yang sangat dikenal di Sumatera dan di wilayah Asia Tenggara pada umumnya. Pohon pinang (Areca catechu) adalah jenis pohon palem yang tumbuh di daerah-daerah tropis Pasifik, Asia dan Afrika timur. Pohon pinang diyakini berasal dari Filipina, tetapi telah dibudidayakan secara meluas dan dianggap dinaturalisasikan di Tiongkok selatan (Guangxi, Hainan, Yunnan), Taiwan, India, Bangladesh, Maladewa, Sri Lanka, Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Papua, pulau-pulau di Samudera Pasifik bagian barat, dan juga di Samudera Hindia. Spesies ini dikenal sebagai pinang atau penang di Indonesia dan Malaysia, jambi atau jambe di Jawa, Bali dan Melayu Kuno.Â
Pohon pinang ditanam karena buahnya memiliki nilai komersial yang tinggi. Buah yang muda berwarna hijau dan setelah masak berwarna kuning, cokelat muda sampai merah. Tanjungpinang dan Pangkalpinang di Indonesia, Provinsi Jambi dan Pulau Penang lepas pantai barat Semenanjung Malaysia adalah beberapa tempat yang dinamai berdasarkan pohon pinang. Sebenarnya, ada banyak nama kota dan daerah di Indonesia dan Malaysia yang menggunakan kata-kata pinang atau jambe. Hal ini menunjukkan bahwa pinang merupakan bagian yang penting bagi peradaban Austronesia, khususnya Indonesia dan Malaysia.Â
Pinang juga dikenal sebagai bahan untuk makan sirih, sangat populer di beberapa negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Tiongkok (terutama Hunan), Taiwan, Vietnam, Filipina, Myanmar, India dan Pasifik, terutama Papua Nugini. Mengunyah pinang cukup populer di kalangan pekerja di Taiwan.Â