28) Belati dan golok
Gambar 48. Belati dan golok: (a), (c) dan (e) Punt, Naville (1898); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) – (i) Enggano, Modigliani (1894); (j) – (l) Enggano, (m) – (o) Indonesia dan Malaysia; (p) tari golok Betawi (Jakarta)
Tetua Punt hanya mengenakan cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Dalam salah satu adegan, tangan kirinya memegang senjata melengkung mungkin dengan selubung. Sebagian besar orang-orang Tanah Punt memegang senjata seperti ini pada setiap adegan. Tulisan pada prasasti di Deir el-Bahari juga menyebutkan bahwa senjata ini adalah produk yang disebut ảamu dari Punt (Naville, 1898). Melihat bentuknya, senjata melengkung ini menyerupai sebuah parang yang dikenal dengan "golok" di Indonesia dan banyak digunakan untuk pekerjaan di rumah, pertanian dan hutan serta sebagai senjata.
Modigliani (1894) menyebutkan bahwa nama belati Enggano adalah eohoári. Ia juga memberikan daftar senjata lainnya: epèiti cacuhia, yaitu pisau besar, yang lainnya epèiti canohè, pisau yang indah karena banyak hiasannya. Epacamáio, epochipò dan afÃia, digunakan untuk memotong kayu di hutan dan untuk bekerja dan memiliki bilah yang lebar dimana cacuhia tidak dapat digunakan. Pisau kecil lainnya yang digunakan untuk keperluan memotong sayuran dan untuk pekerjaan kecil lainnya disebut eachiebára dan eo. Helfrich (1891) menyebutkan bahwa istilah Enggano untuk "pisau" adalah pakamai.
Epacamáio (Modigliani) dan pakamai (Helfrich) adalah istilah yang sama yang berarti "parang" atau "pisau", atau secara umum alat kerja atau senjata yang terdiri dari sebuah bilah tajam yang terpasang pada tangkai kayu. Epacamáio adalah gaya penulisan Itali untuk pakamai, sehingga pakamai adalah istilah aslinya. Jika kita menghapus awalan pa maka kata dasarnya adalah kamai. Prasasti di Deir el-Bahari yang bertuliskan  ảamu (baca kh·a·mu) untuk menyebutkan senjata dari Punt adalah lidah Mesir dan tulisan hieroglif untuk kata kamai. Bahasa Enggano adalah secara khusus telah terisolasi dari ekspansi bahasa di Indonesia bagian barat. Nothofer (1986, 1994) menyebut bahasa ini sebagai "Paleo-Hesperonesia".
Karambit (Sumatera Barat kurambik atau karambiak) adalah pisau genggam, melengkung kecil di Asia Tenggara yang menyerupai sebuah cakar. Dikenal sebagai kerambit di Indonesia dan Malaysia, pisau ini juga disebut karambit di Filipina dan di sebagian besar negara-negara Barat. Jika kita menghapus sisipan ar maka kata dasarnya adalah kambit, kata dasar yang sama dengan bahasa Enggano kamai, yang menyerupai ảamu seperti tertulis pada prasasti di Mesir.
Vegetasi yang khas di Asia Tenggara adalah hutan dan oleh karena itu parang dioptimalkan untuk memotong kayu dengan kuat dimana pisau tidak dapat digunakan dan bagian pemotong utamanya lebih maju dari pegangannya; bilahnya juga diasah dengan sudut lebih tumpul untuk mencegah tertancap dalam potongan kayu. Parang adalah istilah kolektif untuk pedang, pisau besar dan golok yang berasal dari seluruh Nusantara.
Golok adalah alat pemotong, mirip dengan parang yang terdiri dari banyak variasi dan terdapat di seluruh Nusantara. Golok digunakan sebagai alat pertanian serta senjata. Istilah "golok" (kadang-kadang dieja dalam bahasa Inggris menjadi "gollock") adalah istilah asli Indonesia tetapi juga digunakan di Malaysia dan dikenal sebagai gulok dan bolo di Filipina.Â
Di Malaysia istilah ini biasanya dipertukarkan dengan parang yang lebih panjang dan lebih lebar. Di wilayah Sunda di Jawa Barat dikenal sebagai bedog. Badik atau badek adalah pisau atau belati yang terdapat dalam masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan.
29) Orang-orang Naga
Pada masa Dinasti ke-12, Tanah Punt diabadikan dalam literatur Mesir Tale of the Shipwrecked Sailor ("Kisah Pelaut yang Terdampar") dimana seorang pelaut Mesir berbicara dengan seekor "naga agung" yang menyebut dirinya sebagai "Penguasa Punt" dan mengirimkan pelaut tersebut kembali ke Mesir dengan membawa banyak emas, rempah-rempah, dupa, gading gajah dan hewan yang berharga. Penulis menafsirkan bahwa "naga agung" yang dijumpai oleh orang-orang Mesir tersebut adalah dari masyarakat Naga, yang mungkin adalah pemuja ular, yang secara historis mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara. "Naga agung" adalah berarti tetua masyarakat Naga yang menyebut dirinya sebagai Penguasa Punt, karena istilah "agung" yang diterjemahkan dari tulisan hieroglif Mesir berarti "tetua", seperti halnya "Punt agung" yang dimaksudkan adalah "tetua Punt".
Tale of the Shipwrecked Sailor menyebabkan berubahnya pemahaman masyarakat Mesir tentang Tanah Punt menjadi sebuah mitos karena munculnya tokoh mitologi naga yang berbicara dengan manusia. Namun, kisah tersebut adalah bersumber dari sebuah papirus sehingga penulisnya mungkin telah membumbui kisahnya dengan hal-hal yang berbau mitos.