Onycha adalah salah satu komponen yang digunakan dalam kebaktian Ketoret yang terdapat dalam Kitab Taurat Keluaran (Kel 30: 34-36) dan digunakan didalam kuil Sulaiman di Yerusalem. Bochart, peneliti Alkitab terkenal menyatakan dalam salah satu topik penelitiannya bahwa onycha sebenarnya adalah kemenyan, suatu getah kering yang disadap dari spesies pohon Styrax (Abrahams, 1979), yang kemungkinan didatangkan dari Sumatera. Kemenyan telah didatangkan ke tanah-tanah yang disebutkan dalam Alkitab selama era Perjanjian Lama.
Penulis berkesimpulan bahwa lokasi Tanah Ophir adalah sama dengan Tanah Punt atau berada di wilayah yang berdekatan. Keduanya menjadi perhatian raja-raja di Mesir dan Timur Tengah karena kekayaannya akan logam mulia, kayu, batu mulia, wewangian, binatang dan hasil hutan. Karena Tanah Punt adalah tanah asal orang-orang Mesir, hal yang sama dapat diberlakukan pula untuk Tanah Ophir. Kisah Atlantis yang tercatat dalam dokumentasi Mesir diduga bersumber dari Tanah Punt atau Tanah Ophir, yaitu di Sumatera yang merupakan wilayah Atlantis.
3) Bahasa
Jones-Gregorio pada tahun 1994 melakukan studi dalam tesisnya tentang hubungan antara bahasa Mesir dan Semit Barat dengan bahasa Rejang berdasarkan kamus Rejang yang disusun oleh MA Jaspen (1983). Ia menyimpulkan bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Rejang yang memiliki kemiripan dekat dengan bahasa Mesir kuno dan Fenisia.
Tabel 1. (1) (2) (3) Kaitan silabus Mesir-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
Tabel 2. Kaitan silabus Ibrani-Rejang-Indonesia-Malaysia (Jones-Gregorio, 1994)
4) Lokasi Tanah Punt
Gambar 51. Kemungkinan lokasi pelabuhan Punt
Berdasarkan bukti-bukti diatas, penulis membuat hipotesis bahwa Tanah Punt terletak di sekitar pantai Bengkulu, Sumatera baratdaya. Wilayah ini mudah dicapai dari Samudera Hindia. Lokasi yang mungkin untuk pelabuhan Punt adalah Ipuh, Kota Bengkulu, Mana dan Bintuhan tetapi yang paling mungkin adalah Kota Bengkulu.
Kota Bengkulu sebagai lokasi yang paling mungkin adalah dengan alasan bahwa kondisi pantainya mendukung bagi kapal untuk berlabuh dan berada pada jarak yang terdekat dengan pusat budaya Rejang, habitat pohon kemenyan dan tambang emas kuno Lebong Donok. Sebuah teluk yang terdapat di situ dan lereng pantainya yang landai menjadikannya tempat yang terbaik untuk berlabuh. Sebuah pelabuhan baru telah dibangun di pantai tersebut, yaitu di Pulau Baai, pada tahun 1984.
Perusahaan Inggris, East India Company (EIC) mendirikan pusat perdagangan lada dan garnisun di sekitar Kota Bengkulu (Bencoolen) pada tahun 1685. Pada tahun 1714, mereka membangun Benteng Marlborough, yang sampai sekarang masih berdiri. Pos perdagangan tersebut tidak pernah menguntungkan bagi Inggris, karena terhambat oleh lokasi yang tidak disenangi oleh orang Eropa, dan karena ketidakmampuannya untuk mendapatkan lada yang cukup banyak untuk dibeli. Kemudian hanya menjadi pelabuhan sesekali kunjung saja bagi East Indiaman, kapal yang disewa EIC. Meskipun terdapat kesulitan-kesulitan ini, Inggris tetap bertahan dan berada disana selama kira-kira 140 tahun sebelum menyerahkannya ke Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 dalam pertukarannya dengan Malaka. Bengkulu tetap menjadi bagian dari Hindia Belanda sampai pendudukan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.