Selain bukti fisik tersebut, terdapat cerita, legenda dan laporan tertulis yang menunjukkan bahwa emas memainkan peran penting dalam sejarah awal Sumatera. Berikut adalah beberapa contoh. Pada abad ke-14, penguasa Sumatera, Adityawarman, yang mendapat gelar kehormatan Kanakamedinindra ("Penguasa Tanah Emas"), diduga telah memindahkan ibukotanya dari pantai Sumatera Barat yang terkena wabah malaria, ke pedalaman yang kaya akan emas. Banyak cerita turun-temurun di kawasan Lebong tentang Sultan Daulah Mahkuta Alamsyah, seorang "keturunan Alexander Agung", yang pernah memerintah kerajaan besar Pagaruyung, mengirim penjelajah menuju pegunungan untuk mencari logam mulia. Kapten William Dampier (1651 – 1715), seorang navigator Inggris, naturalis dan penulis terkenal, yang telah melakukan tiga kali perjalanan ke seluruh dunia, melaporkan pada tahun 1689 bahwa sejumlah besar emas ditambang di Aceh.
Kegiatan pertambangan emas di Sumatera yang pertama kali didokumentasikan adalah pembukaan kembali tambang emas kuno Salido yang kaya akan perak di Sumatera Barat pada tahun 1669 oleh VOC, perusahaan dagang Belanda yang selama dua abad memonopoli perdagangan antara Eropa dan Asia. Pemerintah Hindia Belanda memulai penyelidikan geologi bersamaan dengan eksplorasi mineral pada tahun 1850 dan industri swasta mengikutinya 30 tahun kemudian. Antara 1899 dan 1940, 14 tambang emas telah dikembangkan, termasuk dua pekerjaan pengerukan aluvial, yang sebagian besar berumur pendek dan tidak ekonomis.
Saat ini Indonesia adalah negara pertambangan terkemuka di Asia sebagai penghasil timah, nikel, tembaga, emas dan batubara, dengan bantuan perusahaan dan investasi asing.
Seperti dijelaskan oleh Naville, emas dari Punt bukanlah emas murni tetapi paduan emas dan perak, tertulis sebagai åsem. Hal yang sama juga disebutkan dalam ekspedisi Firaun Sahure. Bahan limbah yang ditemukan di sekitar tambang kuno Lebong Donok, Sumatera Barat, mengandung campuran emas dan perak, bisa jadi adalah tambang emas di Tanah Punt yang disebut dalam prasasti. Secara fonetis, istilah åsem atau åsemos memiliki kemiripan dengan kata "emas" dalam bahasa Melayu. Lebong Donok terdapat dalam kawasan masyarakat suku Rejang yang diduga memiliki budaya yang sama dengan masyarakat Mesir seperti yang akan dibahas setelah ini.
22) Orang Tanah Punt
Gambar 39. Orang Tanah Punt: (a) dan (b) Punt, Mariette (1877); (c) – (e) Punt, Deir el-Bahari; (f) – (j) Enggano, Modigliani (1894); (k) Enggano, lukisan (1855)  (l) Nias (1854); (m) dan (n) Mentawai; (o) Jawa, relief candi Borobudur (abad ke-9)
Gambar 40. Tetua Punt dan istrinya: (a) dan (c) Mariette (1877); (b) dan (d) Deir el-Bahari
Orang-orang Tanah Punt, tidak seperti orang Mesir kuno, memiliki rambut panjang dan sedikit bulu muka. Pada gambarnya, mereka dicat berwarna merah, tetapi tidak segelap orang Mesir. Prianya adalah tinggi, berpostur baik, rambutnya lebih terang dan dipotong rapi; hidungnya lurus, jenggotnya panjang dan runcing tumbuh di dagunya saja; ia hanya memakai cawat dengan sabuk dimana sebuah belati diselipkan. Tulisan di depannya menjelaskan bahwa ia adalah "Punt agung, Parehu", yang maksudnya adalah tetua Tanah Punt. Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Dalam salah satu penampilan, tangan kirinya memegang sebuah senjata melengkung. Istrinya, orang yang bertubuh janggal dan tidak cantik, dijelasakan sebagai "istrinya, Ati". Ia mengenakan gaun kuning, tanpa baju pada penampilan pertama, gelang pada pergelangan tangan dan kakinya, dan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Rambutnya, seperti halnya putrinya, diikat dengan ikat kepala sampai ke alis. Posturnya kurang enak dilihat, dan pipinya banyak kerutan. Ia amat gemuk, anggota badan dan tubuhnya penuh dengan lipatan daging.
Warna kulit yang merah terang pada relief menunjukkan warna kulit yang lebih terang daripada orang Mesir yang diwarnai merah tua. Warna kulit, bulu muka sedikit, hidung lurus dan jenggot yang hanya tumbuh pada dagu adalah ciri orang mongoloid. Rambut dan jenggotnya abu-abu, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria tua, seperti dalam tradisi Melayu bahwa yang tua adalah lebih bijak, sehingga disebut "tetua". Berasal dari hal tersebut, saat ini "ketua" di Indonesia dan Malaysia adalah panggilan untuk seorang kepala meskipun ia masih muda. Sikapnya, baik dalam adegan pertemuan dengan utusan kerajaan maupun dalam penawaran barter barang, adalah dengan sedikit membungkuk, mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan, melipat tangannya tepat didepan dadanya dengan ibu jari menunjuk ke depan dan jari-jari lainnya dilipat, titik berat tubuhnya sedikit ke depan, posisi kaki dan ekspresi wajahnya menunjukkan ia adalah orang yang bijaksana, dan ini adalah gerakan khas tradisi Melayu dalam menghadapi orang lain secara hormat dan sopan. Yang wanita bersikap sama tetapi dengan lebih membungkuk, dan dalam adegan penawaran barter lengan kirinya lurus kebawah dengan telapak tangan menghadap kedepan, juga tradisi khas Melayu bagi seorang wanita untuk bersikap sopan dan menghormati orang lain, terutama laki-laki, jadi ia bukan memiliki kelainan penyakit seperti yang dituduhkan oleh beberapa penulis. Kerutan wajah dan lipatan daging pada tubuh dan anggota badannya, serta jalannya yang harus menaiki kuda, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita tua yang gemuk.
Catatan Charles Miller (1771) bahwa pria Enggano pada umumnya memiliki postur baik dan bertubuh tinggi sekitar 5 kaki 8 – 10 inci (173 – 178 sentimeter) sedangkan wanitanya lebih pendek dan tubuhnya lebih bungkuk juga mendukung gambaran diatas.
Masyarakat Tanah Punt, seperti halnya tetuanya, hanya mengenakan cawat dengan ikat pinggang, rambutnya terikat dengan ikat kepala dan kalung di lehernya; mereka mengenakan kain pinggang dengan cara yang sama seperti yang dikenakan oleh orang Mesir tetapi selendangnya berada didalam untuk menutupi alat kelaminnya. Cara berpakaian seperti ini adalah khas orang Melayu kuno yang terdapat di Kepulauan Halang (Enggano, Mentawai, Nias, Andaman, Nicobar dan beberapa orang lain). Cawat orang-orang Kepulauan Halang adalah berupa sabuk yang diselipkan kain untuk menutupi alat kelamin, ditulis oleh Modigliani sebagai eapi. Cawatnya bervariasi dari ukuran kecil yang hanya cukup untuk menutupi alat kelamin sampai yang sepenuhnya menutupi pinggul dan paha.