Gambar 50. Perbandingan aksara Fenisia Kuno, Nusantara dan India
Seperti dapat kita lihat dari perbandingan diatas, aksara Lampung, Rejang dan Rencong adalah lebih mendekati aksara Fenisia Proto-Sinai daripada aksara India Brahmi. Dalam sejarahnya, ketiga wilayah Sumatera tersebut sangat sedikit dipengaruhi oleh budaya India. Abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir dan menjadi salah satu sistem penulisan yang paling banyak digunakan, disebarkan oleh pedagang Fenisia ke seluruh Laut Tengah, dimana ia berkembang dan diasimilasi oleh banyak budaya lainnya.
Velikovsky (2006) mengaitkan nama Fenisia dengan pontifex, yang berarti "pendeta besar". Kata "pontiff" bukan berasal dari bahasa Latin, bukan berasal dari "pons", tapi mungkin dari "Punt". Dikisahkan bahwa Ratu Hatshepsut, setelah ekspedisinya mengunjungi Tanah Punt, kemudian membangun sebuah "Tanah Punt" yang baru untuk dewa Amon dan menjadikannya tempat suci untuk pemujaan. Dengan mendirikan sebuah "Punt" di Mesir, Ratu Hatshepsut juga memperkenalkan lembaga kependetaan yang besar dengan menyalinnya dari kuil di Yerusalem yang dibangun dengan model Fenisia.
Aliansi Raja Sulaiman dengan Hiram, raja Fenisia, menunjukkan pengaruh Fenisia yang kuat dalam kehidupan kerajaan Yehuda dan Israel. Pengaruh ini juga terlihat jelas dalam Alkitab dalam kisah pembangunan kuil yang dibangun dengan bantuan Raja Hiram, yang memberi Raja Sulaiman bahan bangunan dan seorang kepala tukang keturunan Ibrani-Fenisia (Kitab Raja-raja 7: 13-14). Ekspedisi ke Tanah Ophir dan pemindahan wilayah dari raja yang satu dengan yang lain secara damai (Kitab Raja-raja 9: 11) juga mungkin telah menjadikan seluruh Palestina pada waktu itu disebut Fenisia. Ekspedisi Mesir ke Tanah Punt dalam periode akhir adalah besar kemungkinannya juga dibantu oleh orang-orang Fenisia.
Dari studi genetik, sebagian besar garis turunan haplogroup K2, juga dikenal sebagai K-M526, saat ini berada di Asia Tenggara dan Oseania (Karafet et al 2014). Anggota kuno haplogroup K2 tersebar di seluruh Mediterania. Mereka melakukan perjalanan ke barat di sepanjang pantai Afrika Utara dan juga di sepanjang garis pantai Mediterania Eropa selatan. Gerakan-gerakan ini menunjukkan kemungkinan menarik bahwa penanda M70 mungkin telah dibawa oleh bangsa Fenisia (Spencer Wells 2007).
Dapat diduga bahwa asal-usul bangsa Mesir serta Fenisia adalah Tanah Punt, yaitu Bengkulu. Kita bisa mengandaikan bahwa orang Mesir dan kemudian orang Fenisia sebelumnya adalah orang Punt. Dalam masa Periode Akhir Mesir banyak perdagangan Mesir berpindah tangan ke orang-orang Fenisia dan Yunani. Sejarah panjang kontak dengan orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt (atau Bengkulu) belajar dari orang Mesir cara-cara berlayar dan berdagang barang mewah produk mereka. Hal itu wajar bahwa produsen selalu tertarik untuk menjual produk mereka langsung ke konsumen untuk mendapatkan keuntungan mereka sendiri. Diduga, mereka memiliki kerjasama dengan orang Bugis di Sulawesi untuk membangun kapal. Pedagang Bugis sering mengunjungi Bengkulu dan Pulau Enggano di zaman kuno untuk memperdagangkan kelapa berkualitas tinggi (Helfrich, 1891). Aksara Rejang juga memiliki kaitan yang erat dengan aksara Bugis. Orang Bugis memiliki kapal Phinisi, yang mirip dengan nama "Phoenicia" (Fenisia), dan telah terbukti terampil untuk berlayar di lautan yang luas.
Kelimpahan kayu dengan kualitas tinggi di Sumatera dapat memfasilitasi mereka untuk membangun kapal yang lebih canggih daripada kepunyaan orang Mesir. Sumber barang yang diperdagangan oleh orang Fenisia, yaitu antara lain siput murex, dupa dan permata adalah barang-barang yang asli Asia Tenggara. Orang-orang Tanah Punt bersama dengan orang-orang Bugis yang berhasil melakukan perdagangan ini kemudian disebut orang Fenisia, dari asal kata "Punt", "Pwene" atau "Phinisi". Agar dapat memonopoli barang-barang dari Asia yang diperdagangkan di Mediterania, bangsa Fenisia terus merahasiakan asalnya sampai pada abad ke-18 ketika Belanda dan Inggris berhasil mengeksplorasi sumber daya dalam jumlah yang besar. Orang-orang pesisir Samudera Hindia di Sumatera serta orang-orang Bugis adalah terkenal dengan keterampilan mereka dalam berdagang. Legenda dan lagu-lagu mereka juga bercerita tentang perdagangan keluar dari daerah mereka (merantau). Masyarakat Bugis, begitu juga Dayak Barito di Kalimantan, telah ditelusuri melakukan hubungan dengan masyarakat Madagaskar pada zaman kuno.
Juga, sejarah panjang kontak dengan orang-orang Mesir membuat orang-orang Tanah Punt dan Bugis (dan yang kemudian menjadi Fenisia) belajar menulis hieroglif, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi aksara abjad. Abjad Lampung, Rejang, Rencong dan Bugis adalah warisan dari aksara ini seperti yang telah dibahas diatas.
2) Tanah Ophir
Keterampilan maritim bangsa Fenisia yang terkenal membuat kagum Raja Sulaiman (antara 973 dan 33 SM) sehingga ia meminta Raja Tirus untuk mengirim para tukang kayu dan veteran pelaut Fenisia untuk bergabung kedalam armadanya untuk menuju ke Tanah Ophir pada 945 SM (Kitab Raja-raja 1: 9-26). Meskipun demikian, sampai saat ini belum diketahui dimana lokasi tepatnya Tanah Ophir. Secara geografis, Tanah Ophir digambarkan dengan cara yang sama persis dengan Tanah Punt. Keduanya berada "amat jauh, ke tenggara"; kapal Raja Sulaiman berlayar dari sebuah pelabuhan di Laut Merah dan sekali putaran pelayaran berlangsung selama tiga tahun. Barang-barang yang dibawa dari Tanah Ophir kurang lebih sama dengan yang dibawa oleh orang Mesir dari Tanah Punt dan pelabuhan-pelabuhannya yang lain. Raja Sulaiman menerima satu kapal penuh muatan yang berupa emas, perak, kayu "algum", batu mulia, gading, kera dan burung merak setiap tiga tahun.
Keberadaan Eldorado di Tanah Ophir (Kitab Raja-raja 10: 11, Kitab Tawarikh 09: 21) diyakini adalah merupakan salah satu Suku Hilang Israel. Dalam Kitab Kejadian 10 (Daftar Bangsa-bangsa) disebutkan bahwa Eldorado adalah nama salah satu anak-anak Yoktan. Yoktan adalah anak kedua dari dua anak Eber, cicit Sem -- anak Nuh. Dalam literatur-literatur pra-Islam, Tanah Ophir disebutkan dalam tiga sumber Arab dan Ethiopia pra-Islam: Kitab al-Magall, Gua Harta Karun dan Pertentangan Adam dan Hawa dengan Setan. Kitab al-Magall menyatakan bahwa pada hari-hari Reu, seorang raja Negeri Saba bernama "Firaun" menggabungkan Ophir dan Hawila kedalam kerajaannya, dan "membangun Ophir dengan batu emas, karena batu dalam gunung-gunungnya adalah terdiri dari emas murni".