Hari begitu dingin, tak ada cahaya sedikitpun dilangit. Terhalang oleh awan hitam yang makin lama memerah bak darah yang mengalir pada celah kayu. Angin begitu kencang, menerbangkan dedaunan di sekelilingnya. Petir kian menggelegar. Perlahan hujan mengguyur, makin lama makin deras, seakan mendukung suasana hati Nonik.
"Blakk.." Jendela kamar Nonik membelalak. Memecahkan keheningan di kamar yang begitu luas.
Tangisnya seketika pecah, beriringan dengan derasnya hujan. Ia merasakan kesedihan yang begitu dalam, tak ada satupun yang dapat menghentikannya. Di rumah seluas itu tak disangka tersimpan begitu banyak kenangan. Ia tak pernah merasa sesedih ini, dadanya sesak. Membuatnya ingin menangis sekencang-kencangnya.
Tak terasa hari mulai terang, terdengar suara ayam bersahutan. Nonik terbangun dari tidurnya, matanya sembab sulit terbuka. Entah berapa lama ia menangis semalam. Tubuhnya lemas, kekuatannya habis terkuras. Entah apa lagi yang akan ia lakukan.
Ia merasa akhir-akhir ini banyak sekali hal buruk terjadi padanya. Baru saja minggu kemarin ayahnya meninggal sebab sakit jantung menahun yang bertahun-tahun beliau derita. Ibunya telah meninggal tepat seminggu setelahnya melahirkannya. Kini ia sendiri, taka da lagi yang menemaninya bercerita seusai bekerja. Biasanya setiap pagi ayah selalu membangunkannya, mengajaknya ke teras meski hanya sekedar untuk menikmati roti bakar dan teh buatan ayah. Kini ia hanya tinggal bersama nian, sepupunya dari kampung. Mereka sudah tinggal bersama sejak sebulan yang lalu. Sebab ayah mesti bolak-balik periksa ke rumah sakit. Terkadang butik tempat usahanya terlalu ramai, hingga ia tak bisa menemani ayah untuk ke rumah sakit. Ia begitu kewalahan, terutama ketika Pandu, suaminya pergi merantau sejak enam bulan lalu.
Sesekali mereka berkabar lewat panggilan video, bertukar cerita dan sebagainya. Namun, padatnya pekerjaan saat ini membuat mereka berkabar tak sesering dulu. Sebab suaminya telah naik jabatan. Banyak kerjaan yang harus ia selesaikan. Nonik pun tengah sibuk mengurus butik barunya yang baru berjalan dua bulan, butik yang ia impikan sejak lama. Terkadang Nonik merasa lelah, pekerjaanya telah menguras begitu banyak waktu dan tenaganya.
Semenjak ayah tak ada, ia merasa frustasi. Membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan penuh emosi.
"Nik! Apakah kau sudah bangun?" Panggil Nian dari balik pintu kamar.
Nonik membuka pintu.
"Ada seseorang yang akan memesan gaun untuk pernikahannya minggu depan. Aku telah menyimpan nomornya di buku catatanmu."
"Yasudah, nanti aku akan menghubunginya. Kau turun saja, buka toko!"