NIK DAN GAUNNYA
"Nik, ini ada nasi goreng, makanlah dulu. Jangan siksa tubuhmu begini!"
"Taruh saja! aku belum lapar."
Nian sedih dengan keadaan Nonik yang sekarang, menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar sepanjang waktu. Ia takut kalau-kalau Nonik melakukan hal gila. Ia duduk di sebelah Nonik yang sedang berbaring di kasur, membelakanginya.
"Nik, sudahlah. Jangan kau buat seolah-olah dunia berakhir hari ini."
Nonik hanya diam mendengar perkataan Nian.
"Nik, sepertinya esok aku cuti. Temani aku liburan, yuk!" Pancing Nian.
"Pergilah! aku tak ingin kemana-mana."
"Ayolahh.. aku akan membelikan apapun makanan yang kau mau. Bukankah kau sangat ingin ke Jogja?"
"Biarkan aku sendiri dulu!"
"Baiklah, Nik. Istirahatlah!"
Hari begitu dingin, tak ada cahaya sedikitpun dilangit. Terhalang oleh awan hitam yang makin lama memerah bak darah yang mengalir pada celah kayu. Angin begitu kencang, menerbangkan dedaunan di sekelilingnya. Petir kian menggelegar. Perlahan hujan mengguyur, makin lama makin deras, seakan mendukung suasana hati Nonik.
"Blakk.." Jendela kamar Nonik membelalak. Memecahkan keheningan di kamar yang begitu luas.
Tangisnya seketika pecah, beriringan dengan derasnya hujan. Ia merasakan kesedihan yang begitu dalam, tak ada satupun yang dapat menghentikannya. Di rumah seluas itu tak disangka tersimpan begitu banyak kenangan. Ia tak pernah merasa sesedih ini, dadanya sesak. Membuatnya ingin menangis sekencang-kencangnya.
Tak terasa hari mulai terang, terdengar suara ayam bersahutan. Nonik terbangun dari tidurnya, matanya sembab sulit terbuka. Entah berapa lama ia menangis semalam. Tubuhnya lemas, kekuatannya habis terkuras. Entah apa lagi yang akan ia lakukan.
Ia merasa akhir-akhir ini banyak sekali hal buruk terjadi padanya. Baru saja minggu kemarin ayahnya meninggal sebab sakit jantung menahun yang bertahun-tahun beliau derita. Ibunya telah meninggal tepat seminggu setelahnya melahirkannya. Kini ia sendiri, taka da lagi yang menemaninya bercerita seusai bekerja. Biasanya setiap pagi ayah selalu membangunkannya, mengajaknya ke teras meski hanya sekedar untuk menikmati roti bakar dan teh buatan ayah. Kini ia hanya tinggal bersama nian, sepupunya dari kampung. Mereka sudah tinggal bersama sejak sebulan yang lalu. Sebab ayah mesti bolak-balik periksa ke rumah sakit. Terkadang butik tempat usahanya terlalu ramai, hingga ia tak bisa menemani ayah untuk ke rumah sakit. Ia begitu kewalahan, terutama ketika Pandu, suaminya pergi merantau sejak enam bulan lalu.
Sesekali mereka berkabar lewat panggilan video, bertukar cerita dan sebagainya. Namun, padatnya pekerjaan saat ini membuat mereka berkabar tak sesering dulu. Sebab suaminya telah naik jabatan. Banyak kerjaan yang harus ia selesaikan. Nonik pun tengah sibuk mengurus butik barunya yang baru berjalan dua bulan, butik yang ia impikan sejak lama. Terkadang Nonik merasa lelah, pekerjaanya telah menguras begitu banyak waktu dan tenaganya.
Semenjak ayah tak ada, ia merasa frustasi. Membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan penuh emosi.
"Nik! Apakah kau sudah bangun?" Panggil Nian dari balik pintu kamar.
Nonik membuka pintu.
"Ada seseorang yang akan memesan gaun untuk pernikahannya minggu depan. Aku telah menyimpan nomornya di buku catatanmu."
"Yasudah, nanti aku akan menghubunginya. Kau turun saja, buka toko!"
"Baiklah." Nian bergegas membuka toko butiknya itu yang sudah lebih seminggu tutup.
"Huhh.." Nonik menghela nafas.
"Tingg.." Sebuah pesan masuk. Matanya menuju kearah handphone tepat disamping bantalnya.
"Ohh,, sayang. Lama sekali kita tak berkabar", gumamnya.
Rupanya ada 1 panggilan tak terjawab dengan satu pesan yang belum ia baca.
"Sayangg,, mungkin gajiku bulan ini akan kuberikan pada mamaku yah. Ia ingin membeli lemari baru." Tulis suaminya.
"Iya sayang, tak apa. Masih ada uang simpanan bulan lalu, masih cukup untuk bulan ini." Balas Nonik.
"Oiya, apa kau jadi pulang bulan depan? Ada beberapa kejutan untukmu nanti," sambung Nonik pada pesan itu.
Ia menunggu balasan dari suaminya, tapi nihil. Mungkin saja suaminya itu sedang banyak kerjaan.
Â
Perlahan Nonik menuruni tangga. Berharap ini menjadi semangat baru untuknya.
"Nian, dimana buku catatan itu?" Tanya Nonik sesampainya di butik yang hanya bersebelahan dengan rumahnya.
Nian menyodorkan buku catatan itu.
"Siapa nama pelanggan baru kita?"
"Ayu," jawab Nian.
Nonik langsung menghubunginya.
"Halo!" Suara perempuan itu tidak asing di telinganya.
"Saya pemilik Butik Nirwana. Bisakah mba datang ke butik pagi ini? Saya butuh beberapa ukuran gaun yang akan mba pesan," ucap Nonik.
"Tentu bisa, nanti saya akan datang"
"Baik,terima kasih."
Nonik berfikir sejenak, ia seperti mengenal suara perempuan yang barusan ia hubungi.
"Ah,, mungkin hanya kebetulan." Ucap Nonik pelan.
"Ada apa, Nik?"
"Tak apa, tolong nanti kabari aku kalau pelangganku sudah datang. Aku mau cari sarapan dulu di depan."
"Baiklah, Nik."
Nonik pergi, ia ingin sekali makan nasi kuning di depan gang. Langganan ayah dulu. Cukup sepuluh menit untuk bisa sampai di warung itu.
"Kringg.." Handphone nya berdering. Nian memberitahu kalau pelanggannya sudah tiba di butik. Untunglah ia sudah hamper sampai.
"Nonik! Sapa perempuan itu ketika Nonik baru sampai pintu butiknya."
"Kau?" Timpal Nonik.
Perempuan itu lantas berdiri, memeluk Nonik.
"Lama sekali kita tak bertemu, Nik." Ucap perempuan itu.
"Benar sekali." Ucap Nonik perlahan melepas pelukan mereka.
"Terakhir kali aku mendengar kabarmu menikah dua tahun lalu. Itupun aku dengar dari Yuni saat aku  di Malinau kala itu."
"Kita pun sudah tak punya kontak satu sama lain ketika lulusan sekolah. Lama sekali, Ayu."
Benar saja, perempuan itu sahabat masa kecilnya, Ayu. Teman ketika mengerjakan tugas, sama-sama menjadi juara kelas bahkan saat mereka sudah tak sekelas kala itu.
"Ini butik mu?" Tanya perempuan itu.
"Iya, sejak lama aku ingin membuka butik ini."
"Aku tak menyangka, kau sudah membangun usaha impianmu sekarang. Butik secantik dan semewah ini. Kau hebat, Nik!"
Nonik tersenyum bahagia,
"Terima kasih, Ayu. Ini berkat doa dari orang tua dan suamiku juga."
"Oh iya, bagaimana denganmu?" Tanya nonik kembali pada perempuan itu.
"Aku pun telah membuka warung makan kecil di sebelah sekolahan SMA kita dulu. Tak begitu besar, tapi syukurlah dapat membantu keluargaku. Aku pun sudah memiliki pekerjaan tetap, meskipun  harus bolak-balik ke luar kota."
"Aku tak heran kalau itu, sejak dulu kan kau suka sekali memasak. Tak ada yang bisa menandingi masakan mu, Ayu."
"Ah, kau ini bisa saja." Gurau mereka
"Oh iya, kau ingin memilih gaun bukan? Silahkan lihat-lihat dulu."
Perempuan itu mengelilingi seisi toko. Ada begitu banyak model gaun yang cantik. Tapi, ada satu gaun yang  begitu memikat dengan model anggun dan elegan. Hiasan nya tak begitu ramai, tapi cukup membuat siapapun yang melihatnya tak berkedip.
"Nik, aku ingin lihat gaun di balik etalase kaca itu bagus. Bisakah aku mencobanya?"
Nonik terdiam, perempuan itu ingin mencoba gaun pribadinya. Ia sengaja menyiapkan gaun itu untuk anniversary-nya bulan depan. Bahkan ia pun belum pernah memakainya.
"Itu gaun pribadi ku, Ayu."
"Tapi aku suka sekali dengan gaun itu, Nik. Kau bisa membuatnya lagi, bukan?"
Nonik menghela nafas, "Baiklah," ucapnya.
"Tenang saja, Nik. Aku akan membayar mahal gaunmu itu," rayu perempuan itu. Nonik hanya tersenyum dan mengangguk.
"Oiya, bagaimana dengan calonmu?"
"Dia anak buah ayahku, Nik. Mas Ari namanya.  Aku pun baru mengenalnya sebulan. Entah kenapa kami sudah saling  cocok dan akan menikah dua minggu lagi."
"Benarkah? Aku ikut senang mendengarnya."
"Iya, nik. Aku pasti akan mengundangmu. Jangan lupa ajak suamimu untuk hadir yah!" Ucap perempuan itu dan pamit untuk pulang.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Nik." Sambungnya.
Ia tak menyangka, sahabat kecilnya itu kini menemukan tambatan hatinya. Ia berniat ingin menambah hiasan gaunnya guna memberikan gaun terindah untuk sahabatnya itu, sebelum ia benar-benar tak bisa bertemu denganya nanti.
Hari demi hari berlalu, tak terasa tiga hari lagi pernikahan sahabatnya itu digelar.
"Yes! Sedikit lagi selesai." Ucap Nonik bersemangat. Gaun itu ia hias khusus untuk sahabatnya. Pun tak ada kepastian dari suaminya disana.
"Nik, ada kiriman surat dari pos," ucap Nian di sela-sela semangatnya.
"Iya, taruh saja di meja! Aku ingin selesaikan gaun ini dulu."
Tak terasa hari makin gelap. Nonik segera menyimpan gaun yang sudah hampir selesai  dan menutup butiknya.
"Ah lega sekali pinggangku." Ucap Nonik berbaring di kasur.
Ada beberapa gaun pesanan bulan ini. Salah satunya gaun untuk sahabatnya, Ayu. Ia lelah sekali, tetapi ia sangat senang. Sedikit demi sedikit usaha butiknya itu mulai dikenal banyak orang.
"Tok..tok.." Â Pintu kamarnya diketuk.
"Iya, masuklah! Ada apa?"
"Nik, ini ada undangan untukmu."
"Dari perempuan itu?"
"Iya, Nik."
Nian meletakkan udangan itu di meja riasnya. Nonik ingin membukanya, tapi ia terlalu lelah hari ini.
Ia tertidur pulas, seolah tak ada beban di kepalanya.
Keesokan harinya nonik bangun pagi-pagi sekali. Ia bergegas pergi menuju butiknya. Menyelesaikan gaunya. Ia hanya tinggal memasang resleting saja. Sebab Ayu akan mengambil gaun hari ini. Tak berapa lama gaun itu benar-benar siap pakai. Begitu lihai tangan Nonik.
Tepat pukul 7 pagi Ayu tiba di butik,
"Nik, apa gaunku sudah selesai?"
"Sudah, kau bisa membawanya pulang. Ambillah!" Ucap nonik tersenyum.
"Apa kau sudah terima undanganku, Nik?"
Seketika Nonik teringat kalau ia belum membaca undangan dari sahabatnya itu.
Sudah, nanti aku akan datang yah. Jaga kesehatanmu!" Ucap Nonik, meyakinkan.
"Pasti. Terima kasih banyak, Nik. Aku sudah transfer upah gaun untukmu. Pakailah!" Balas perempuan itu sembari melaju dengan mobil putihnya.
"Terima kasih banyak, Ayu."
Nonik bergegas masuk kembali, menuju ke meja pribadinya.
Ia mengambil amplop cokelat yang belum sempat ia baca kemarin,
"Apa ini? Surat dari pengadilan?" Ia terkejut.
Ia membaca seluruh isi surat itu. Air matanya menetes, kian deras agaknya. Tubuhnya lemas, surat itu jatuh dari genggamannya. Tak ada angin tak ada hujan, ia diceraikan secara sepihak. Nonik tak percaya, ia menangis begitu hebat.
"NIK!" Teriak Nian, bergegas memeluk Nonik yang tubuhnya hampir menghantam lantai.
Tagisannya memenuhi ruangan yang luas itu, tak ada siapapun kecuali mereka berdua.
"Ni..an,," Ucap Nonik terbata. Nampaknya kesedihan berhasil menguasai seluruh tubuhnya. Mungkin hanya secuil tenaga yang tersisa.
"Ayu Lestari & Pandu Ari Wibawa." Tulis undangan pemberian perempuan itu.
"Tenangkan dirimu, Nik! Sabar!" Ucap Nian berusaha menenangkan Nonik yang menangis tak berdaya.
 "Dia bukan suamiku, Nian." Ucap Nonik yang masih menangis sesegukan.
"Tidak! Kita butuh penjelasan darinya." Balas Nian.
Nian mencoba menghubungi Pandu.
"Dia tidak mengangkat telponku," ucap Nian.
Entah berapa kali Nian menelpon nya. Tak ada jawaban sama sekali.
"Tunggu!" Nian mengirim pesan pada Pandu.
"Sudah, tenangkan dirimu! Aku akan mengantarmu ke kamar untuk istirahat." Pungkasnya sembari memapah Nonik.
"Nian, hanya kau seorang yang aku punya. Tak ada yang mau menemaniku lagi kecuali kau. Jangan biarkan aku sendiri, Nian!"
"Tenang, Nik. Sudahi sedihmu!" Jawab Nian.
Tingg ... sebuah pesan suara masuk di handphone Nonik.
Nian langsung membuka dan memperdengarkan pada Nonik,
"Nik, maaf aku mungkin sudah keterlaluan karena menceraikanmu. Aku menyayangimu, tapi maaf. Mungkin kita sudah tak bisa bersama lagi. Lusa aku akan menikah dengan Ayu. Oh iya, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Doakan saja agar aku, calon istri dan calon anakku baik-baik saja. Kuharap kau bisa menerima keputusannku, Nik." Isi pesan suara itu.
Seketika Nonik kembali menangis histeris. Nian yang berada di sampingnya ikut meneteskan air mata sembari memeluk Nonik yang berteriak tak karuan. Ia benar-benar tak menyangka, ternyata calon yang dimaksud Ayu waktu itu adalah suaminya. Lusa pandu dan sahabat masa kecilnya itu akan menikah dan segera mempunyai anak. Ia kaget tak karuan. Hancur sudah harapannya untuk memberikan kejutan kecil pada Pandu, yang kini sudah milik orang lain.
***
Tak terasa sebulan berlalu, sebuah kompleks perumahan kian sepi dari warga. Rumahnya tampak kosong tak terurus, senasib pula dengan butik di sebelah rumah itu. Pun dengan rumah di sekelilingnya. Hanya tinggal beberapa rumah yang berpenghuni. Mereka banyak yang memilih pindah, takut. Sebab sebulan lalu terdengar kabar seorang perempuan muda nekat melompat dari jendela rumahnya. Bahkan tak ada satupun keluarga yang turut hadir dalam pemakamannya. Entah kemana keluarganya. Sungguh malang, perempuan itu, Nonik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H