"Kau mimpi buruk?"
Ibu menatapku. Tangannya meraih kepalaku. Mengelus rambutku. Wanita yang kupanggil Ibu, berusaha tenangkanku dalam dekapnya.
"Jika kau tak mengantuk, bantu Ibu mengupas bawang-bawang ini."
Aku memang tak mengantuk, tepatnya setelah bayang-bayang Miranda menjelma mimpi buruk. Seolah aku mendengar Miranda tertawa dekat telingaku. Keras sekali. Aku berusaha mengusir suara itu, menutup telingaku. Jariku terasa basah dan itu darah.
"Ibu, telingaku berdarah."
"Sini Ibu obati. Mungkin kau sedang panas dalam."
"Bu, Miranda sedang mencangkul di gendang telingaku. Dug...dug..dug..."
Aku berbisik pada Ibu, berharap Miranda tak mendengarnya.
"Miranda tak akan pernah ada, Nak. Dia sudah mati. Tak mungkin ia menjelma kutu lalu memasuki telingamu."
"Percayalah, Bu. Miranda ada di dalam telingaku. Jika ia berhasil melobangi gendang telingaku, ia akan naik lalu menguasai otakku. Miranda kemudian akan memakan otakku, seperti kata Ibu."
Ibu mengantarku ke kamar. Memaksaku berbaring. Menyelimutiku. Bibir Ibu komat-kamit, tapi tak sedang merapal doa. Telapak tangannya menekan-nekan dahiku. Mungkin Ibu sedang berusaha mencegah Miranda memasuki otakku.